Teori Sastra


RESEPSI SASTRA
I.     Pendahuluan
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta yakni shastra, yang berarti ‘teks yang mengandung arti’ atau ‘pedoman’. Namun, pada bahasa Indonesia, sastra merujuk pada kesusastraan yakni tulisan yang memiliki keindahan dan makna. Sementara menurut KBBI (Edisi ketiga), sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).
Dewasa ini telah banyak karya sastra yang telah diciptakan baik karya sastra klasik maupun karya sastra modern. Karya sastra tersebut tidak hanya dinikmati tetapi juga dijadikan bahan penelitian. Penelitian sastra memiliki banyak aliran sesuai dengan zaman yang telah dilalui oleh sastra itu sendiri. Setiap aliran sastra, baik disadari atau tidak, juga telah mewarnai lahirnya berbagai model dan pendekatan penelitian sastra. Aliran yang tergolong klasik ataupun tergolong modern seringkali mewarnai arah penelitian sastra. Seorang peneliti yang dihadapkan pada suatu aliran, cenderung bahkan secara otomatis akan mengikuti aliran tersebut dalam penelitiannya. Oleh karena itu, peneliti akan menciptakan sisi pandang tertentu dalam pemahaman karya sastra yang sering dinamakan pendekatan.
Penelitian sastra secara umum lebih menjelaskan makna karya sastra dari aspek permukaan saja yang melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna atau pemberi makna dalam karya sastra itu sendiri. Hal inilah yang memicu lahirnya cabang penelitian sastra baru yakni penelitian pragmatik dan resepsi. Penelitian pragmatik dan penelitian resepsi memiliki keterkaitan. Penelitian pragmatik sastra merupakan penelitian sastra yang berorientasi pada kegunaan karya sastra bagi pembaca. Sementara itu, penelitian resepsi sastra merupakan penelitian sastra yang berorientasi pada penikmatan karya sastra dan penanggapan karya sastra bagi pembaca. Kedua penelitian ini memiliki keterkaitan yakni untuk mengungkap aspek kegunaan dalam karya sastra harus melaluio penelitian resepsi pembaca terhadap cipta sastra. Berdasarkan paparan tersebut kami sebagai penulis tertarik untuk membahas mengenai penelitian sastra dalam makalah ini dari aspek pembaca. Kami sebagai penulis juga membatasi pembahasan kami  yakni membahas mengenai penelitian resepsi sastra sesuai dengan judul makalah ini yakni ‘Resepsi Sastra’.





















II.  PEMBAHASAN
A.  Pengertian Resepsi Sastra
Resepsi berasal dari bahasa Latin, ‘recipere’, dan bahasa Inggris, ‘reception’, yang berarti ‘menerima’ atau ‘penyambutan’ pembaca. Jadi, resepsi sastra berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Respons yang dimaksud tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu. Resepsi sastra merupakan pendekatan penelitian sastra yang tidak berpusat pada teks. Resepsi sastra sebenarnya wilayah telaah pragmatik sastra. Hal ini dikarenakan pragmatik sastra merupakan kajian sastra yang berorientasi pada kegunaan karya sastra bagi pembaca. Aspek kegunaan sastra yang dikaji oleh pragmatik sastra dapat diungkap melalui penelitian resepsi pembaca terhadap cipta sastra.

B.  Dasar Penelitian Resepsi Sastra
Resepsi sastra adalah pendekatan penelitian sastra yang tidak berpusat pada teks. Ini dikarenakan teks sastra bukan satu-satunya obyek penelitian, pendekatan, ini tidak murni meneliti sastra. Resepsi sastra justru meneliti teks sastra dalam kaitan tertentu. Teks sastra diteliti dalam kaitannya dengan pengaruh, yakni keberterimaan pembaca. Oleh karena dasar pemikirannya adalah teks sastra ditulis untuk disajikan kepada sidang pembaca.
Hal inilah yang menyebabkan resepsi pembaca merupakan cabang penelitian sastra yang memusatkan pada proses hubungan teks dan pembaca, yang sebagian besar diarahkan pada fase interpretatif proses pembacaan. Proses tersebut berkaitan erat dengan evaluasi ketika pembaca memberikan value judgement kepada teks tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian tidak diarahkan pada aspek sosiologis dan psikologis, seperti hubungan antara penilaian teks sastra dengan kepribadian pembaca, melainkan difokuskan pada studi sastra dengan menggunakan konsep Wienold (Sagers dalam Endraswara, 2008: 118)- yaitu tentang pemrosesan teks; yang meliputi hubungan ciri-ciri tekstual dan ciri-ciri perilaku pembaca.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui apakah pengaruh pada saat membaca karya sastra dapat menunjukkan karya sastra mampu atau tidak menggerakkan pembaca. Karya sastra yang sugestif akan mampu mengobarkan keinginan pembaca sehingga karya sastra baik langsung atau tidak langsung akan dianut sari patinya oleh pembaca. Karya sastra yang kental daya estetikanya secara otomatis memiliki daya gerak yang luar biasa terhadap pembaca.
Teori resepsi dikembangkan oleh RT Segers (1978) dalam bukunya ReceptieEsthetika. Buku receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi sastra ditentukan ada tiga dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca sebagi berikut.
1.    Norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca.
2.    Pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya.
3.    Pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik secara  horison “sempit” dari harapn-harapan sastra maupun dalam horison “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Berikut pertimbangan penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam penelitian resepsi sastra.
1.    Perlu memerhatikan nilai informasi atau teks.
Seberapa jauh sebuah teks membawa informasi kepada pembaca, bergantung pada pengetahuan pembaca menguasai kode-kode yang dipakai dalam teks itu. Jadi, sebuah teks sastra, seperti teks lain, memberikan informasi yang berbeda bagi pembaca yang pengetahuan tentang kodenya berbeda.
2.    Perlu dicermati bahwa sering ada kode sastra yang ditempatkan di atas kode linguistik.
Kode sastra bersifat abstrak dan memerlukan penafsiran yang jeli. Kode sastra merupakan konstruksi pemikiran yang hanya dapat diterima dalam tradisi kultural tertentu. Kode ini merupakan ‘unit kultural’ dan juga fakta sosial. Oleh karena itu, kode sastra ini dapat dimanfaatkan untuk penelitian sastra secara empirik. Biasanya kode sastra memiliki ciri konotatif sehingga memungkinkan kelahiran pesan lebih dari satu. Berdasarkan hal tersebut, perlu diperhatikan konsep ‘”teks sastra”, yaitu sebuah perangkat verbal yang eksplisit, terbatas, terstruktur, dan fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca.
3.    Dalam kaitannya dengan penelitian teks sastra yang berkonteks pembaca, sebenarnya merupakan ladang strategis bagi penelitian eksperimental.
Penelitian semacam ini dapat memanfaatkan paradigma penelitian sosial budaya.

C.  Aspek Penelitian Resepsi Sastra
Penelitian resepsi pembaca pada dasarnya merupakan peyelidikan reaksi pembaca terhadap teks. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Mukarovsky (Fokkema dalam Endraswara, 2008: 119) bahwa peranan pembaca amat penting yaitu sebagai pemberi makna teks sastra. Karya sastra hanya artefak yang harus dihidupkan kembali dan diberi makna oleh pembaca sehingga menjadi objek estetik. Reaksi terhadap teks sastra tersebut dapat berupa sikap dan tindakan untuk memproduksi kembali, menciptakan hal yang baru, menyalin, meringkas, dan sebagainya. Sebaliknya reakasi yang bersifat negatif mungkin pembaca akan sedih, akan jengkel, bahkan antipati terhadap teks sastra.
Berdasarkan reaksi pembaca terhadap karya sastra, kemungkinan pembaca akan menilai sebuah teks sastra. Aneka watak sastrawi teks sastra akan menjadi bahan penilaian pembaca. Pada saat itu, peneliti dapat menanyakan langsung pada pembaca setelah membaca teks sastra. Tigkat pertanyaan resepsi dapat bergerak pada kesan-kesan pembaca sampai ke tingkat reaksi terhadap mutu teks sastra.
Penelitian mengenai reaksi pembaca ini dapat golongkan menjadi dua kelompok sebagai berikut.
1.    Peneliti menanyakan langsung tentang reaksi pembaca terhadap teks. Penelitian ini termasuk penyelidikan eksperimental dan juga bisa dilakukan model survei. Penelitian ini dapat diaplikasikan pada pembaca awam atau pembaca sastra yang sekadar hobi. Pembaca ini mungkin tidak mereaksi melalui penciptaan, hanya sekadar untuk mengisi waktu luang dan mengisi kesenangan tertentu. Namun, kelompok ini tak dapat diabaikan dalam penelitian mutu teks sastra karena kelompok inilah yag menjadikan teks sastra dicetak berlipat ganda.
2.    Peneliti dapat menyelidiki resepsi pembaca melalui lahirnya teks-teks baru yang sejenis. Kajian ini sebagian besar menarik bidang filologi dan sastra perbandingan. Inti dari penelitian ini yakni mencari transformasi teks sastra dari waktu ke waktu. Penelitian ini diarahkan pada pembaca reproduktif yang memiliki hobi mencipta. Pada kelompok ini, estetia resepsi sering bermain dan perlu mendapat perhatian khusus oleh peneliti. Penelitian ini didasarkan pernyataan Wienold (Segers dalam Endraswara, 2008: 120) bahwa teks original sedikit saja signifikansinya bagi sarjana, karena pembaca, pengarah teater, penerjemah, dan kritikus semuanya menciptakan teks mereka sendiri, yakni interpretation text (‘teks interpretasi’). Dalam interpretasi demikian, Peter Demet (Endraswara, 2008: 120) memberiakan saran bahwa yang terbaik adalah menempatkan bacaan untuk dieksplikasi oleh seseorang, tetapi mereka tidak menawarkan bukti yang meyakinkan. Formulasi penafsiran lebih baik dilakukan oleh sekelompok orang daripada oleh seseorang semata.
Iser (Segers dalam Endraswara, 2008: 120) menyatakan bahwa karya sastra adalah sebagai performative utterances dan bukan sebagai contative utterances. Sebagai performative utterances, karya sastra harus didasarkan pada tiga kriteria sebagai berikut.
1.    Konvensi yang berlaku juga bagi penerima dengan istilah repertoire, yaitu seperangkat norma-norma sosial, historis, dan budaya yang diungkapkan dalam teks yang berasal dari ide filosofis dan sosial yang berlaku dalam masyarakat pada waktu karya itu diciptakan.
2.    Konvensi harus diarahkan oleh prosedur yang dapat diterima dengan istilah strategis, yang berupa ciri-ciri yang bertalian dengan bangun strukturnya dan berfungsi menyusun bahan sedemikian rupa sehingga dapat dikomunikasikan kepada pembacanya.
3.    Partisipasi pembaca, dengan istilah realisasi teks. Dengan demikian, teks tidak sekadar menyajikan sarana retoris saja atau teknik naratif saja, tetapi juga foreground dan background serta tema dan horison.
Penelitian resepsi sastra adalah telaah sastra yang berhubungan dengan keberterimaan pembaca. Sebagaimana teks sastra akan menyangkut dua kutub yang lain, yaitu pembaca dan pengarang, resepsi pembaca menduduki peran amat penting. Asumsi dasar resepsi sastra adalah karya sastra diciptakan untuk dibaca. Karya sastra merupakan media komunikasi yang efektif antara pengarang dengan pembaca. Pembaca yang paling tepat dijadikan sasaran penelitian adalah real reader. Pembaca yang demikian seyogiyanya dipilih pembaca yang homogen dan memiliki kemampuan setaraf.
Penelitian resepsi sastra merupakan kecenderungan ilmu sastra modern. Orientasi penelitian ini akan mengungkap: (1) apa yang dilakukan pembaca dengan karya sastra, (2) apakah yang dilakukan karya sastra dengan pembacanya, (3) apa tugas batas pembaca sebagai pemberi makna. Permasalahan tesebut menandakan bahwa pembaca merupakan faktor hakiki yang menentukan makna karya sastra.

D.  Analisis Resepsi Sastra
1.    Pendekatan yang digunakan
Pendekatan yang sering digunakan oleh peneliti resepsi sastra adalah fenomenologi. Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani ‘phaenomenon’ yang berarti gejala yang tampak. Peneliti resepsi dapat mencermati gejala yang tampak pada si pembaca teks sastra. Mungkin pembaca akan merasa tergila-gila, senang, sedih, dan atau tertawa terbahak-bahak. Hal ini telah dilakukan oleh Roman Ingarden (Iser dalam Endraswara, 2008: 122) secara fenomenologis ia mengungkap keberterimaan karya sastra. Menurut Ingarden, setiap karya sastra secara prinsip belum dikatakan lengkap karena hanya menghadirkan bentuk skematik dan sejumlah “tempat tanpa batas” yang perlu dilengkapi secara individual menurut pengalamannya akan karya-karya lain (yang dikenal dengan model sastra perbandingan) dianggap belum sempurna. Yang dapat dilakukan untuk melengkapi struktur karya sastra itu adalah melakukan konkretisasi (penyelarasan atau pengisian makna oleh pembacanya). Maka, pembaca akan berusaha menafsirkan atau memaknai sejauh pengalaman yang dimilikinya.
Dalam pandangan Junus (Endraswara, 2008: 122), kajian resepsi sastra dapat menggunakan pendekatan elektik dengan kajian sastra yang lain. kajian yang dimaksud adalah berhubungan dengan resepsi secara semiotik, sosiologi sastra, psikologi sastra, interteks, demitefikasi defamiliarisasi, dan dekonstruksionisme. Dari berbagai pedekatan ini, orientasinya ke arah pembaca atau penikmat sastra. Dalam kaitan ini, Jauss (Endraswara) juga mengemukakan bahwa penting mempertimbangkan pembaca dalam pemahaman karya sastra. Namun, tanggapan tersebut hendaknya difokuskan pada perubahan-perubahan, interpretasi, dan evaluasi pembaca terhadap teks yang sama atau berbeda pada kurun waktu yang sama atau berbeda. Oleh karena itu, menurut Jauss (Endraswara, 2008:122) karya sastra lama merupakan produk masa lampau yang memiliki kaitan dengan masa sekarang. Dari sini tumbuh rentangan transformasi teks oleh pembaca. Transformasi dapat dari aspek bentuk maupun nilai-nilai yang diwariskan.
Penelitian resepsi hadir karena teks sastra bersifat tidak stabil, berubah-ubah sesuai pembacanya. Hal ini memberikan gambaran bahwa teks sastra bersifat dinamis. Teks sastra akan bermakna tergantung pembaca atau penerimanya. Oleh karena itu, makna tergantung bagaimana penerima melakukan konkretisasi teks sastra. Dalam melakukan konkretisasi, pembaca biasanya menerapkan sejumlah pengetahuannya. Pengetahuan ini akan membentuk “horison harapan” pembaca pada saat berhadapan dengan teks sastra. Horison penerimaan pembaca akan mengarahkan kesan, tanggapan, danpeerimaan teks sastra.
2.    Horison pembaca dan kategori pembaca
Menurut Jauss (Endraswara, 2008:123) horison pembaca (horizon of expectations) memungkinkan terjadinya penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap teks sastra. Horison harapan pembaca terbagi menjadi dua sebagai berikut.
a.    Bersifat estetik
Berupa penerimaan unsur-unsur struktur pembangunan karya sastra, seperti tema, alur, gaya bahasa, dan sebagainya
b.    Bersifat tidak estetik (di luar teks sastra)
Berupa sikap pembaca, pengalaman pembaca, situasi pembaca, dan sebagainya.
Melalui penelitian resepsi serupa, Jauss (Endraswara, 2008:123) ingin merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra. Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra diterima sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan selanjutnya. Bagi Jauss (Endraswara, 2008:123), karya sastra memiliki implikasi estetik dan historis. Implikasi estetis muncul apabila sebuah teks dibandingkan dengan teks lain yang telah dibaca, dan implikasi historis muncul akibat perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan atau resepsi sebelumnya.
Dalam bukunya yang berjudul “Toward an Aesthetic of Reception”, Jauss (Endraswara,2008:123) mengungkap tujuh tesis sebagai berikut:
a.    Karya sastra bukanlah monumen yang mengungkap makna yang satu dan sama, seperti anggapan tradisional mengenal obyektivitas sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Karya sastra selalu memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menghadirkan resonansi yang baru yang membebaskan teks itu dari belenggu bahasa, dan menciptakan konteks yang dapat diterima pembaca masa kini. Sifat diagonal teks sastra itu yang memungkinkan pembaca meniru, mengabaikan, dan atau menolak.
b.    Sistem horison harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya mome historis karya sastra, yang meliputi suatu pra-pemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema karya sastra yang sudah diakrabi sebelumnya, dan dari pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari. Sekalipun sebuah karya sastra tampak baru sama sekali, sesungguhnya ia tidak baru secara mutlak, seolah-olah hadir dari kekosongan. Sastra telah mempersiapkan pembacanya dalam sebuah sistem penerimaan yang khas melalui tanda-tanda dan kode-kode perbandingan dengan hal yang sudah dikenal sebelumnya. Jadi ada interaksi antara teks dan konteks pengalaman penerapan estetik yang bersifat trans-subyektif itu.
c.    Jika ada jarak estetik antara horison harapan dengan sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah horison harapan baik melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal, atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru. Di sini dituntut penerimaan sastra yang selalu memenuhi horison harapan sesuai dengan cita rasa keindahan, sentimen-sentimen, dan emosi-emosi yang sudah dikenal.
d.   Rekonstruksi mengenai horison harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan dan disambut pada masa lampau hingga masa kini, akan menghasilkan berbagai varian resepsi sesuai dengan semangat zaman yang berbeda. Dengan demikian pandangan platonis mengenai makna karya sastra yang obyektif tunggal, dan abadi untuk semua penafsir perlu ditolak.
e.    Teori estetika penerimaan tidak sekadar mengenai makna dan bentuk karya sastra menurut pemahaman historis. Teori ini menuntut agar kita memasukkan sebuah karya sastra individual ke dalam rangkaian sastra, agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman sastra.
f.     Apabila pemahaman dan pemaknaan karya satra menurut resepsi historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan estetik, maka seseorang dapat menggunakan perspektif sinkronis untuk menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan ataupun hubungan antara sistem seni se-zaman dengan seni dalam masa lampau.  Sebuah sejarah sastra menjadi mantap dalam pertemuan perspektif sinkrois sebagai elemen struktural yang tidak dapat dipisahkan.
g.    Tugas sejarah sastra tidak menjadi lengkap dengan hanya menghadirkan sistem-sistem sastra secara sinkronis dan diakronis, melainkan harus dikaitkan dengan sejarah umum. Kedudukan khas dan unik dari sejarah sastra perlu mendapat kepunahannya dalam sejarah umum. Hubungan ini tidak berakhir dengan sekadar menemukan gambaran mengenai situasi sosial yang berlaku di dalam karya sastra. Fungsi sosial sastra hanya sungguh-sungguh terwujud bila pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam horison harapan mengenai kehidupannya yang praktis, membuat dirinya semakin memahami dunianya, dan akhirnya memiliki pengaruh kepada tingkah laku sosialnya.
Iser (Endraswara, 2008: 125) mengemukakan masalah resepsi sastra dengan pandangannya bahwa resepsi sastra hendakya terfokus pada resepsi pembaca implisit dan bukan pada pembaca konkret.
Pembaca implisit merupakan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi teks dan pembacanya. Iser (Endraswara, 2008:125) mengemukakan teorinya dalam buku “The Act of Reading: A Theory oa Aesthetic Response” bahwa tak seorang pun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra, sekalipun orang berbicara megenai otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca merupakan studi yang esensial. Melalui fenomenologi, Jauss telah mengungkap bahwa pembacaan karya sastra tidak sekadar melibatkan teks sastra saja, melainkan juga aksi pembaca dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri hanya aspek skematik yang diciptakan pengarang, yang akan digantikan (dikonkretkan oleh pembaca) pada saat memaknai.
Iser (Endraswara, 2008:125) menyebutkan bahwa karya sastra memiliki dua kutub yakni kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah kutub pengarang dan kutub estetik adalah realisasi yang diberikan pembacanya. Aktualisasi yang benar akan terjadi pada saat ada kontak antara teks sastra dan pembacanya. Penelitian sastra seharusnya menjangkau sampai interaksi penerimaan pembaca terhadap teks sastra. Aspek-aspek verbal dalam sastra belum lengkap jika tidak dikaitkan dengan resepsi pembaca.
Selanjutnya, Iser (Endraswara, 2008:125) juga mengungkapkan bahwa makna teks sastra tidak tetap melainkan bersifat dinamik, sesuai dengan pengalaman pembaca. Hal ini sekaligus mengimplikasikan bahwa pembaca karya sastra sesungguhnya berbeda-beda yang tentu saja akan menerima teks dengan sikap yang berbeda pula. Perbedaan pengalaman akan sangat menentukan pemaknaan dan keberterimaan teks sastra. Dalam kaitan ini, ada beberapa kategori pembaca, antara lain:
a.    Riffartere (Endraswara, 2008:125) memperkenalkan super reader, yakni pembaca yang berpengalaman. Pembaca semacam ini kemungkinan yang disebut pembaca akademik dan atau kritis. Mereka akan mampu memahami hubungan semantik dan pragmatik terhadap teks sastra. Bahkan terjadinya degresi cerita serta pemanfaatan stilistika yang keliru pun, pembaca demikian akan mengetahuinya. Pembaca semacam itu biasanya banyak membaca pula teori-teori sastra. Pembaca semacam ini oleh Segers (Endraswara, 2008:125) disebut juga pembaca ideal.
b.    Fish (Endraswara, 2008:125) mengajukan istilah informed reader, yakni pembaca yang tahu, yang berkompeten. Pembaca ini biasanya memilki kemampuan bahasa, semantik, dan kode sastra yang cukup. Kategori ini sejalan dengan istilah pembaca implisit yaitu pembaca yang mampu menggunakan kode-kode tekstual secara menyeluruh.
c.    Wolf (Endraswara, 2008:126) mengusulkan intended reader, yaitu pembaca yang telah berada pada benak penulis ketika merekonstruksikan ideya. Model pembaca semacam ini tela terbayangkan oleh penulis. Pembaca ini, meskipun sifatnya masih meraba-raba, mungkin akan lebih komunikatif. Sekurang-kurangnya pemahaman aspek bahasa dan psikologis sastranya telah terpenuhi. Kategori ini sejalan dengan istilah real reader, actual reader, yaitu manusia yang benar-benar melaksanakan tindakan pembacaan.
Ketiga pembagian tersebut tidak sama sekali menyinggung pembaca awam. Padahal, pembaca awam sesungguhnya memiliki peranan penting terhadap makna teks. Pembaca awam kadang-kadang juga lebih obyektif dan polos, sehingga menilai karya sastra menurut pengetahuan dan visinya. Mereka lebig orisinal dalam membaca sastra karena belum terkontaminasi denga teori-teori.
Penelitian resepsi sastra dalam kaitannya dengan pembaca di lapangan atau pembaca awam, bisa bersifat eksperimental terhadap pembaca sastra. Metode eksperimen ini biasanya menggunakan model statistik untuk memeroleh gambaran tanggapan pembaca terhadap teks sastra. Dari kajian pendekatan empirik ini sering dipandang lebih memenuhi standar ilmiah.
Tugas pembaca dalam setiap aktivitas resepsi memang tidak mudah. Pembaca sering dihadapkan pada teks-teks sastra yang relatif pelik. Hal ini akan dipengaruhi juga oleh sering terjadinya penyimpangan-penyimpangan sistem sastra. Oleh karena itu, pembaca hendaknya mampu mengembalikan segala yang menyimpang itu kepada yang jelas, yang terang, yang dapat dipahami. Kiatan ini menurut Culler (Endraswara, 2008:126) dinamakan: recupepration, naturalitation, dan vraisemblablisation. Peneliti resepsi hendaknya mampu mengungkap berbagai hal tentang upaya pembaca menyikap teks sastra itu. Peneliti sastra hendaknya berusaha megupas, menyingkapkan, dan mempertanggungjawabkan sistem itu.
Proses kerja analisis resepsi sekurang-kurangnya menempuh dua langkah: (1) kepada pembaca baik perorangan maupun kelompok disajikan karya sastra. Mereka lalu diberi pertanyaan baik  lisan maupun tertulis tetang kesan dan penerimaan. Jawaban pertanyaan ditulis dapat ditabulisasikan, jika menggunakat angket. Jika penggunaan metode wawancara, maka hasilnya dapat dianalisis secara kualitatif; (2) pembaca juga diminta menginterpretasikan karya sastra. Interpretasi tersebut dianalisis secara kualitatif. Dari dua langkah ini, yang penting diperhatikan  adalah pelaksanaan penelitian bersifat eksperimental. Penelitian ini bersifat sinkronis. Sedangkan penelitian diakronis, untu melihat penerimaan sejarah resepsi, digunakan strategi dokumenter melalui kepuasan media massa. Hasil kupasan itu dikaji oleh peneliti.
Analisis resepsi pernah dilakukan oleh Sarumpaet (Endraswara, 2008:127) dalam kajian sasra anak-anak. Dalam analisisnya, peneliti ini dapat menampilkan tingkatan buku sastra yag digemari oleh anak. Meskipun cerita anak yang digunakan masih terbatas, ternyata dia telah mampu memaparkan bahwa setiap anak memilki selera yang berbeda-beda. Kesan merupakan minat serta kecenderungan seoarang anak terhadap bacaan yang dihadapinya.
Minat pengkajian sastra anak di atas selanjutnya juga dikembangkan oleh beberapa peneliti di perguruan tinggi. Di universitas Indonesia, bahkan telah ada seorang pengkaji khusus sastra anak-anak, yaitu Murti Bunanta, dan Universitas Gadjah Mada ada Sugihastuti. Dua orang peneliti tersebut banyak memperhatiakan eksistensi sastra anak-anak, baik yang telah berwujud buku maupun yang masih berserakan di majalah-majalah.
3.    Metode penelitian resepsi sastra
a.    Penelitian metode resepsi sastra sinkronis
Penelitian resepsi sastra yang menggunakan tanggapan pembaca sezaman. Hal ini berarti pembaca merupakan responden yang berada dalam satu periode waktu.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penelitian sinkronis sebagai berikut.
1)   Penentuan sumber data penelitian, berupa teks yang akan diteliti dan pembaca yang akan diminta tanggapannya.
2)   Pengumpulan data dapat dilakukan dengan teknik wawancara, maka peneliti harus menentukan terlebih dahulu responden penelitian, sejumlah populasi dan sampel yang akan digunakan.
3)   Pengolahan data (hasil wawancara) dengan cara mengurai dan menganalisisnya sesuai dengan rumusan masalah.
Kekuatan atau kelebihan penelitian metode resepsi sastra sinkronis sebagai berikut.
1)   Reponden dapat ditentukan tanpa harus mencari artikel kritik sastranya terlebih dahulu.
2)   Penelitian resepsi sinkronis dapat dilakukan secara langsung tanpa menunggu kemunculan kritik atau ulasan mengenai karya sastra.
3)   Dapat dilakukan pada karya sastra populer .
Adapun kelemahan dari penelitian metode resepsi sastra sinkronis sebagai berikut.
1)   Karena tergolong penelitian eksperimental dapat mengalami beberapa kendala saat pelaksanaannya di lapangan, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihn teks sastra, dan penentuan teori.
2)   Hanya dapat digunakan untuk mengetahui tanggapan pembaca pada satu karun waktu sehingga apabila diterapkan untuk karya sastra yang terbit beberapa tahun yang lalu, akan sulit membedakan antaratanggapan yang dulu dan masa sekarang.
b.    Penelitian metode resepsi sastra diakronis
Penelitian resepsi sastra yang menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa periode yang berada pada satu rentang waktu.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penelitian diakronis sebagai berikut.
1)   Penentuan sumber data penelitian, berupa teks yang akan yang diteliti dalam rentang waktu tertentu.
2)   Pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan dan referensi yang mendukung penelitian, baik diperpustakaan atau media massa .
3)   Pengelolahan data dengan cara mengurai dan menganalisisnya sesuai dngan rumusan masalah.
Kekuatan atau kelebihan penelitian metode resepsi sastra sinkronis sebagai berikut.
1)   Peneliti dapat melakukan penelitian atas hasil-hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun penerjemah, yang berupa karya sastra turunan.
2)   Peneliti juga dapat menerapkan teori laain, seperti teori intertekstualitas, teori sastra bandingan, teori filologi, dan beberapa teori lain yang mendukung.
3)   Peneliti dengan mudah mencari data, yaitu tanggapan pembaca ideal terhadap suatu karya sastra.


Adapun kelemahan dari penelitian metode resepsi sastra diakronis sebagai berikut.
1)   Umumnya peneliti pemula akan mengalami kesulitan dalam menentukan karya sastra yag dijadikan objek penelitian. Hal ini dikarenakan umumnya karya sastra yang dikenal banyak orang telah diteliti resepsinya oleh peneliti-peneliti terdahulu.
2)   Selain itu dalam penelitian terhadap karya sastra turunan, khususnya hasil intertekstual, peneliti aka kesulitan dalam menemukan teks asal dari karya sastra turunan tersebut.

E.  Contoh Analisis Resepsi Sastra
1.    Analisis Resepsi Sastra Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” Karya HAMKA oleh Aini Rokhmawati.
Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya HAMKA tentang percintaan yang penuh dengan pertentangan adat istiadat hingga berakhir pada kematian.
a.    Zainuddin dan Hayati
Tokoh utama dalam novel ini adalah Zainuddin dan Hayati, mereka adalah sepasang remaja yang tidak bisa bersatu karena adat. Zainuddin adalah orang keturunan Minang namun dibesarkan di kalangan Bugis, sedangkan Hayati adalah perempuan keturunan Minang asli yang kental dengan peraturan adat setempat.
Zainuddin adalah seorang yang terdidik lemah lembut, baik hati, alim dan suka menolong orang banyak. Hayati adalah seorang gadis cantik yang menjadi korban dari kekjaman peraturan adat yang ada di daerahnya. Hal ini tampak pada saat Zainuddin melamar Hayati melalui sebuah surat yang akhirnya dibalas oleh keluarganya yang isinya amat dingin dan ringkas sebagai berikut :
Kepada orang muda Zainuddin, di Padang Panjang.
Surat orang muda telah kami terima dan mafhum kami apa isinya. Tetapi karena negeri Minangkabau beradat, bulat kata dengan mufakat, maka kami panggillah kaum keluarga Hayati hendak memusyawarahkan hal permintaan orang muda itu. Rupanya bulat belum segolong, picak belum setapik di antara kami semuanya, artinya belum sepakat. Oleh sebab kayu yang becabang tidak boleh dihentakkan, maka kami tolaklah permintaan orang muda, dengan mengatakan terus terang bahwa permintaan ini tiada dapat kami kabulkan.  (hlm. 114).
Surat itu adalah sebuah penolakan di atas nama adat. Disinalah peran pembaca untuk memberikan penilaian. Terkait dengan kutipan di atas mungkin pembaca yang ada di masa kini menilai bahwa tindakan tersebut merupakan kekejaman peraturan adat, atau mungkin mereka beranggapan bahwa adat ini merupakan suatu tradisi yang egoistis tanpa mementingkan perasaan. Berbeda dengan pembaca yang ada di masa lalu, mungkin mereka menilai bahwa kejadian seperti ini tidak asing lagi. Karena orang-orang pada zaman dahulu masih mematuhi dan menekankan adat-adat yang berlaku. Namun kejadian seperti itu hanya ada di daerah-daerah tertentu yang dilatar belakangi oleh peraturan adatnya.
b.    Konflik dalam kisah Hayati dan Zainuddin
Surat pada kutipan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, merupakan sebuah surat yang berupa letusan yang tepat pada dadanya, maka sebuah surat yang kedua dari khadizah, yang mengaku sebagai temannya Hayati laksana sebuah bom yang meletus di tentang kepalanya. Ini adalah sebagian kutipan surat dari khadizah :
“ Hayati kini telah menjadi keluarga kami, telah diterima oleh kaum kerabatnya permintaan kami, dia telah bertunangan dengan abang saya Aziz, yang sekarang tengah bekerja pada suatu kantor di Padang”  (hlm.119).
Dari kutipan di atas, pembaca akan menilai bahwa benar peraturan adat itu menjadi tolak ukur sesorang untuk mendapatkan sesuatu yang yang sesuai dengan adat kebiasaan. Pembaca akan memberikan tanggapan bahwa bagaimana perasaan Zainuddin ketika mendengar kabar tersebut, terlebih ketika dia mendapat surat tolakan dari keluarga Hayati. Sedih memang sedih, hancur,  sakit hati itulah yang dirasakan Zainuddin.
Dua bulan lamanya Zainuddin sakit. Sakit yang boleh dikatakan penutup dari zaman angan-angan remaja dan pintu zaman yang baru untuk penghidupannya. Rupanya Allah masih mengizinkan dia hidup, padahal sudah beberapa kali di dalam sakitnya dia meminta mati. Namun, kini Zainuddin telah bangkit dari keterpurukannya. Zainuddin sekarang menjadi seorang pengarang termahsyur. Hingga setiap orang mengetahui dan memuji karangannya. Namun tak disangka Zainuddin kini bertemu dengan Hayati dan suaminya Aziz. Zainuddin merasa dekat, tetapi berjauhan. Karena Hayati telah bahagia dengan orang lain. Tapi Zainuddin tak mengetahui bahwa sebenarnya perkawinan mereka hanyalah perkawinan akad saja bukan perkawinan hati. Aziz kini telah mengalami kemunduran hingga dia tak tau harus tinggal dimana. Hingga pada saat itu dia tampak kebingungan. Ini terlihat pada percakapan Aziz dan Hayati sebagai berikut :
“ kemana kita akan pergi lagi?” kata Hayati ( hlm.180).
Akhirnya Aziz memutuskan untuk pergi ke rumah Zainuddin, dan berbincang-bincang tentang rumah tangganya. Dengan senang hati Zainuddin mengajak mereka untuk tinggal bersama.
Ketika membaca cerita di atas, pembaca maka akan terbawa suasana dimana ada sesuatu yang membuat mereka ikut merasakan kesedihan dan bertanya-tanya mengapa cintanya Zainuddin dan Hayati tidak pernah menyatu? Apa karena adat? padahal Zainuddin sendiri adalah oarang keturunan Minang. Pembaca juga akan menilai bahwa harta bukanlah segalanya. Ini terbukti ketika Aziz mulai bangkrut dan akhirnya Zainuddinlah yang  mendapat gelar sebagai pengarang ternama. Meskipun demikian Zainuddin tetap menolong mereka yang sedang mengalami kesusahan dengan senang hati dibalik beban derita.
c.    Pengharapan dalam air mata penghabisan
“ Saya kembalikan Hayati ke tangan saudara, karena memang saudaralah yang lebih berhak atas dirinya. Hampir dua tahun kami bergaul, ternyata pergaulan kami tidak cocok, karena dia saya dapat dengan jalan tipuan, meskipun berkulit nikah kawin. Akan lebih beruntung saudara mendapat dia, sebab dia seorang perempuan yang amat tinggi budinya. Dan dia pun akan lebih puas beroleh suami yang cocok dengan aliran jiwanya. Adapun saya sendiri telah memberikan Vonis atas diri saya “. (hlm. 193).
Pembaca dapat memberikan respon melalui kutipan surat dari Aziz yang dikirim untuk Zainuddin. Surat ini merupakan surat cerai yang dia tulis. Bahwa Aziz kini menyadari, dirinya tidak sesuai dengan Hayati. Hayati adalah perempuan yang tinggi budi, sedangkan ia adalah seorang yang rendah. Pembaca pun akan menilai bahwa tokoh Zainuddinlah yang cocok untuk Hayati. Inilah kesempatan Zainuddin untuk meraih cinta tulusnya yang sempat terpendam karena faktor-faktor tertentu di masa lalu.
Ketidakberdayaan Aziz berujung kepada kematian. Kabar ini dimuat dilembar kedua dari salah satu surat kabar harian yang dikirim oleh reporter dari Banyuwangi, demikian bunyinya :
“ MEMBUNUH DIRI DI HOTEL “
kemarin pagi, pelayan-pelayan di Hotel... telah ribut lantaran kamar yang ditumpangi oleh seorang tetamu yang hampir seminggu menumpang disana, sudah lewat pukul 9 belum juga terbuka. Kira-kira pukul 10 dengan bersama-sama mereka mereka membuka pintu dengan kekerasan. Setelah terbuka, telah didapati di dalamnya suatu keadaan yang amat ngeri.
Penumpang itu tidang bangun lagi buat selama-lamanya, rupanay dia telah membunuh dirinya dengan jalan memakan Adali, obat tidur yang mahsyur itu lebih dari sepuluh buah. Tube obat itu terdapat di atas meja telah kosong.
Polisi lekas diberi tahu. Dalam pemeriksaan polisi ternyata bahwa orang yang membunuh diri itu datang dari Surabaya, berasal dari Sumatera.
Sore itu juga setelah diselidiki oleh dokter, mayat itu telah dikuburkan di pusara orang islam di kota ini.. (hal. 195).
Pembaca, pada kutipan surat kabar di atas  beranggapan bahwa peristiwa yang terjadi pada Aziz adalah tindakan yang memang sengaja dilakukan oleh Aziz, karena ia tidak dapat menanggung malu atas perbuatan yang pernah dilakukan. Atau bahkan ada yang memberikan komentar bahwa Aziz hanya ingin mencoba menenangkan pikirannya dengan meminum obat tidur yang akhirnya menyebabkan dosis tinggi dan meninggal. Banyak sekali tanggapan yang dapat kita bandingkan antara pembaca A, B, C, D dan sebagainya.
Pasca meninggalnya Aziz, Hayati kini menaruh harapan banyak kepada Zainuddin agar mereka bisa bersatu dalam sebuah ikatan suci. Namun Zainuddin menolaknya. Misalnya dapat dlihat pada percakapan Zainuddin dan Hayati dibawah ini  :
“Saya akan berkata terus terang kepadamu, saya akan panggilkan kembali namamu sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan, Zainuddin! Saya akan sudi menanggungkan cobaan yang menimpa diriku itu. Asal engkau sudi memaafkan segenap kesalahanku.”
 “Maaf?”kau regas, segenap pucuk pengharapanku kau patahkan, kau minta maaf?”
“Mengapa engkau telah menjawab sekejam itu kepadaku, Zainuddin? Lekas sekalilah pupus dari hatimu keadaan kita? Jangan kau jatuhkan kepadaku hukuman yang begitu ngeri! Kasihanilah seorang perempuan yang ditimpa celaka berganti-ganti ini”
“Lupakah kau,” katanya pula,“ siapakah di antara kita yang kejam? Bukankah kau telah berjanji, seketika saya diusir ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang dina hina, tidak tulen Minangkabau. Ketika itu kau antarkan daku ke simpang jalan. Kau berjanji menunggu kedatanganku, meskipun akan berapa lamanya. Tapi kemudian kau beroleh gantiyang lebih gagah, kaya raya, berbangsa beradat, belembaga berketurunan.”
“Zainuddin... itukah keputusan yang engkau berikan kepadaku. Bukankah engkau telah termahsyur di mana-mana, seorang yang berhati mulia? Tidak!  Saya tidak akan pulang, saya akan tinggal dengan engkau disini. Biar saya kau hinakan, biar kau pandang sebagai babu yang hina. Saya tak perlu kau beri belanja berapapun banyaknya, saya perlu dekat kau!”
“ Tidak Hayati! Kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkanlah saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Jangan hendak ditumpang hidup saya, orang tak tentu asal.. Negeri minangkabau beradat!.” (hlm. 196, 197, 198 dan 199).
Dari percakapan di atas, pembaca dapat memberikan makna bahwa Zainuudin tengah emosi karena ia teringat masa lalu akan kejamnya adat Minangkabau. Dan Hayati kini dilanda sedih dan terluka oleh perkataan Zainuddin. Harapan Hayati telah menjadi sebuah angan-angan belaka. Pembaca juga berpendapat bahwa yang dilakukan Zainuddin adalah hal yang wajar karena cintanya yang utuh pernah dipatahkan lantaran Zainuddin adalah orang miskin.
Hayati pun bergegas untuk pulang ke Negeri asalnya dengan menumpangi kapal.Namun, ketika diperjalanan kejadian yang tak disangka-sangka menimpa Hayati. Kapal yang ia tumpangi mengalami kecelakaan. Berita ini kemudian tersebar di berbagai surat kabar. Akhirnya Zainuddin pun membaca koran tersebut dengan badan yang gemetar, 59 penumpang dari kapal tersebut belum  ditemukan.Zainuddin terlihat cemas dan sedih. Kemudian  Zainuddin tanpa banyak kata mulai mencari Hayati dan alhamdulillah telah ditemukan dan di rawat di Rumah Sakit. Hayati kini tersadar dari pembaringanya dilihatnya wajah Zainuddin tenang-tenang, maka timbullah dari matanya, sekejap saja, pengharapan.
                       
“ kau.... Zain...”
“  Ya, Hayati! Allah rupanya tak izinkan kita bepisah lagi, bila telah berolek keizinan dari dokter, kita segera brangkat ke Surabaya.”
“ Zainuddin, saya dengar perkataan.... Tuan Dokter... saya tahu bahwa waktu... saya.. telah dekat.”
“ Tidak Hayati, kau akan sembuh, kita akan kembali ke Surabaya menyampaikan cita-cita kita, kita akan hidup beruntung, berdua! Tidak Hayati.. tidak!”
“ Sabar.. Zain, cahay kematian telah terbayang dumukaku! Cuma, jika kumati, hatiku telah senang, sebab telah ku ketahui bahwa engkau masih cinta kepadaku!”
“Hidupku hanya buat kau seorang Hayati!”
“Aku pum!..”
Beberapa menit kemudian dibuka matanya kembali, diisyaratkannya pula Zainuddin supaya mendekatinya. Setelah dekat, dibisikinya,“Bacakanlah..dua kalimat suci.. ditelingaku.”
Tiga kali Zainuddin membacakan kalimat syahadat itu, diturutkannua yang mula-mula dengan lidahnya, yang kedua dengan isyarat matanya, dan yang ketiga.. dia sudah tak ada lagi!. (hal. 215, 216 dan 217).
Kini pembaca mulai menemukan tema cinta tak sampai dalam novel HAMKA ini. Dimana sebuah cinta murni yang penuh dengan harapan harus berujung pada kematian. Pembaca pula akan memberikan makna bahwa cinta memang tidak bisa dipaksa. Karena dalam cinta hatilah yang berbicara. Selain itu pembaca yang lain juga akan memberikan tanggapan bahwa betapa menyesalnya tokoh Zainuddin yang telah menyembunyikan perasaanya. Hingga ajal menjemput barulah dia mengatakan bahwa hidupnya hanya untuk Hayati seorang.
Setahun kemudian, Zainuddin pun meninggal karena sakit .
2.    Analisis Resepsi Sastra Warna “Lokal” pada Cerpen “Sri Sumarah” dalam Kumpulan Cerpen “Seribu Kunang-Kunang di Mahattan” Karya Umar Kayam oleh Dian Nuzulia Ar.
Berikut disajikan tanggapan pembaca  yang terbagi menjadi pihak pro dan pihak kontra.
a.    Tanggapan Pembaca Kritis yang Pro kepada Warna “Lokal” dalam Cerpen “Sri Sumarah”
Ada beberapa tanggapan pembaca kritis pada tahun 1970-an ini dikutip dari Mujiningsih (2003:15—20) yaitu sebagi berikut.
1)   Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1970-an
a)    Satyagraha Hoerip, “Kisah Dua Orang Wanita Jawa Korban Pemberontakan Gestapu PKI”, Sinar Harapan, April, 1976.
Hoerip setuju terhadap hadirnya warna lokal. Ia menyatakan bahwa pengarang yang berasal dari Jawa telah berhasil menggambarkan “cara” Jawa dalam karyanya sebagaimana dikehendaki cerita. Adapun isi tanggapannya adalah mengupas kesuksesan Umar Kayam sebagai penulis prosa yang berasal dari Jawa dalam melukiskan cara orang Jawa dalam terlibat dalam situasi yang dikehendaki cerita.
b)   Asruchin T. Sam, “Wanita Jawa versi Umar Kayam”, Salemba; 26 Mei 1976.
Hal yang ditanggapi adalah makna nama tokoh yang sesuai dengan budaya Jawa. Asruchin juga setuju dengan adanya warna lokal yang dilihat dari pernyataan bahwa makna nama tokoh sudah menunjukkan karakter budaya Jawa. Adapun isi tanggapannya adalah telaah terhadap tokoh Sri Sumarah yang apabila ditinjau dari segi namanya telah menunjukkan kepasrahan dan penyerahan diri. Ia juga mengaitkannya dengan karakter budaya Jawa yang mengajarkan sikap kepasrahan perempuan.
c)    Korrie Layun Rampan, “Tiga Cerpen Umar Kayam”, Suara Karya, 11 Agustus 1977.
Hal yang ditanggapi adalah struktur cerpen berupa penokohan, latar dan perbandingan tokoh. Korrie setuju dengan hadirnya warna lokal dapat dilihat dari pernyataan bahwa karya Umar Kayam dapat dijadikan referensi sosio-kultural. Adapun isi tanggapannya bahwa budaya Jawa yang menjadi latar sosial karya ini berhasil membentuk karakter tokoh utama
2)   Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1980-an
a)    Tirto Suwondo, “Sri Sumarah Cermin Wanita Jawa”, 14 April 1985.
Hal yang ditanggapi adalah tokoh utama Sri Sumarah. Tirto setuju dengan hadirnya warna lokal dengan mengungkapkan bahwa sikap tokoh Sri Sumarah memperlihatkan citra seorang wanita Jawa. Isi tanggapannya adalah Tirto menafsirkan dan menentukan makna Sri Sumarah berdasarkan karya itu sendiri. Makna yang termuat dalam karya ini mengesankan karena struktur alur tokoh dan penokohannya. Sikap Sri Sumarah yang “sumarah” akan selalu sadar dan rela menerima segala yang menimpa dirinya.
b)   Sundari Maharto (1987) dikutip B. Rahmanto (2003:18—19).
Umar Kayam menunjukkan dominasi pria dalam masyarakat Jawa. Sebagai isteri, wanita Jawa dituntut mengabdikan diri kepada suami. Sebagai ibu, wanita harus bersedia mengorbankan diri dan menderita bagi anak-anaknya sesuai dengan tokoh pewayangan Sembrada dan Kunti.
c)    Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1990-an
Tanggapan pembaca kritis pada tahun 90-an yang dikutip Mujiningsih (2003:21) hanya berjumlah satu orang, yaitu: Puji Santosa, dalam refleksi Sri Sumarah dan Bauk, terbit 15 September 1990. Hal yang ditanggapinya adalah refleksi kehidupan yang ada dalam karya ini. Isi tanggapannya bahwa Sri Sumarah adalah potret wanita Jawa yang selalu aktif mengakrabi apa yang memang harus terjadi.
b.    Tanggapan Pembaca Kritis yang Kontra kepada Warna “Lokal” dalam Cerpen “Sri Sumarah”
1)   Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1970-an
Tanggapan pembaca kritis pada tahun 1970-an yang dikutip Mujiningsih (2003:21) hanya berjumlah satu orang, yaitu: Jakob Sumardjo, dalam artikel yang berjudul Umar Kayam dengan lagam Jawa itu dimuat dalam Pikiran Rakyat, 8 September 1976. Hal yang ditanggapinya adalah masalah gaya pengarang. Penganggap tidak setuju terhadap warna lokal dengan menunjuk kekurangan cerpen ini, yaitu dalam soal bahasa berupa pemakaian kata Jawa yang terlalu banyak sehingga dikhawatirkan tidak komunikatif, terutama untuk pembaca non-Jawa.


2)   Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1980-an
Pada tahun 1980-an hanya berhasil ditemukan satu penanggap, yaitu Ida Sundari Husein yang mengemukakan bahwa untuk dapat menikmati cerpen “Sri Sumarah”, pembaca bukan penutur bahasa Jawa akan menghadapi masalah-masalah berikut.
a)    Penggunaan istilah dan ungkapan bahasa Jawa.
b)   Latar belakang sosial budaya berupa peranan nama bagi orang Jawa, filsafat Jawa tentang sikap mensyukuri keadaan bagaimanapun jeleknya dan sikap menahan emosi, pendidikan anak perempuan, sikap seorang isteri dan ibu, dan tirakat.

3.    Analisis Resepsi Sastra Novel “Ranah Tiga Warna” Karya A. Fuadi oleh Tim Penyusun Makalah.
Berikut analisis resepsi sastra novel “Ranah Tiga Warna” karya A. Fuadi melalui pendekatan fenomenologi pembaca dalam beberapa kutipan teks.
a.    Tertawa
Pembaca saat membaca kutipan teks dalam novel “Ranah Tiga Warna” mengeluarkan respon berupa tertawa karena menganggap hal yang digambarkan dalam novel tersebut lucu. Berikut beberapa kutipan teks dalam novel “Ranah Tiga Warna” yang dimaksud.
1)   Pembaca tertawa akan sikap yang ditonjolkan oleh tokoh Memet.
Aku mencium pertumpahan darah. “Kurang ajar, anak baru lancang!” Kali ini para senior benar-benar melabrak kami. Di tegah hiruk pikuk aku merasa keningku dihantam sebuah tangan. Panas dan benjol. Keadaan semakin riuh dan aku khawatir akan banyak korban fisik.
Sekonyong-konyong, seseorang menyeruak dari belakangku sambil berteriak melengking-lengking. Nyaris seperti menangis. “Da... da... damai... damai... Akang... Teteh... te... te... teman... da... damai!”Dia menyibak kerumunan, berlari seorang diri menyeruak di antara barisan senior dan barisan kami. Beberapa temanku mencoba menariknya kembali ke barisan, karena khawatir dia dihajar oleh para senior.
Aku melongo. Ya tuhan, anak yang berperawakan gembul ini berlari terus berputar-putar dengan lucunya. Bukan putaran-putaran aneh yang membuat kami takjub, tapi karena dia mencopot baju putihnya dan mengibar-ngibarkan kain putih itu tinggi-tinggi. “Da... da... mai... damai... Ini be... bendera pu... putih... artinya damai!” teriaknya berulang-ulang dengan bertelanjang dada. Lemaknya bergelambir di perut dan dada. Melihat adegan buka baju ini, kedua belah pihak yang sedang emosi menjadi terdiam. Ada yang bingung, tapi beberapa orang terbahak-bahak melihat adegan ini. Kawanku yang bertelanjang dada ini adalah Memet, si pecinta damai sejati.(halaman 57-58)
2)   Pembaca tertawa akan sikap yang ditonjolkan oleh tokoh Rusdi.
Rasanya aku baru terlelap sekejap ketika aku terlonjak oleh suara bel yang sangat keras. Kilatan-kilatan cahaya merah berpijar-pijar menembus jendela cabin kami. Aku semakin kalang kabut melihat Franc langsung meloncat dari ranjang. Comforter-nya melayang ke lantai. Dia berteriak-teriak tidak jelas dalam bahasa Prancis dan langsung lari ke luar. Lalu dia kembali berbalik cepat, menarik selimutku dan menarik tanganku. “Vite...vite... Ayo cepat, ada api. Ayo cepat keluar!” katanya tersengal-sengal.
Dengan pandangan masih nanar, aku ikut lari dengan panik. Rusdi sudah lebih dulu bangun dengan wajah terkejut dan rambut berantakan. Di lapangan rumput sudah banyak orang berkerumun. Bel masih berdering-dering dan lampu merah tadi masih mengerjap-ngerjap dari atas pintu setiap cabin. Ada apa? Kenapa seheboh ini? Mana api yang membuat semua orang seheboh ini?
Yang paling heboh adalah Robert. Dengan rambutnya yang panjang awut-awutan, dia terbirit-birit lari ke halaman. Di tangannya ada dua alat pemadam kebakaran. Matanya liar mencari sumber api. Begitu tahu tidak ada api, dia menendag dan memukul tiang totem kayu. Mulutnya seperti menyumpah-nyumpah.
“Kami telah dilatih kalau mendengar alarm kebakaran, harus segera keluar gedung dan bersiap memadamkan api,” kata Franc.
“Tapi mana apinya?” tanyaku polos sambil bersedekap kedinginan. Setiap angin berembus gigiku gemeletuk. Franc menjawab dengan muka bingung.
Sebastian dan beberapa anak bule berkeliling dari cabin ke cabin dan tetap tidak menemukan sumber api. “False alarm, go back to sleep guys. Alarmnya palsu, silakan tidur lagi,” kata Sebastian antara lega dan kesal. Dengan menggerutu kami kembali masuk cabin.
“Ssst... Alif, masih bangun?” bisik Rusdi dari ranjang tingkat dua di atasku, ketika kami telah selamat kembali ke kamar.
“Udah mau tidur, ngantuk, nih.”
“Kenapa bel dan lampu tadi hidupnya pas sekali dengan aku keluar toilet tadi ya?”
“Emang kenapa?”
“Di dekat WC ada tombol merah dan pengungkit yang bikin penasaran. Lalu aku iseng menarik pengungkitnya. Eh, tiba-tiba bel berbunyi dan lampu merah hidup dan heboh seperti ini.”
Aku bangkit dengan kesal. “Masya Allah, kok iseng banget, itu kan alarm kebakaran.”
“Bukan salahku,. Semua tulisannya bahasa Prancis, aku kan nggak ngerti,” bela Rusdi dengan polos.
Aku hanya bisa bergumam, “Iseng kamu itu mengganggu tidur orang satu kamp.”
“Tapi...” (halaman 281-283)
b.    Sedih, menangis
Kutipan berikut membuat pembaca terbawa suasana dan merasa mengalaminya atas peristiwa meninggalnya ayah Alif terutama saat Alif tidak percaya atas kepergian ayahnya, yang membuat pembaca sedih bahkan mungkin menangis.
Belum saatnya! Aku tidak percaya! Mungkin masih ada harapan! Aku coba tekan jalur nadi di leher dan pergelangan tangan Ayah. Tidak ada setitik deyut pun. Mungkin pernapasan buatan bisa membantu? Aku harus coba walau tidak tahu caranya. Aku penuhi paru-paruku dengan udara dan aku tiupkan napasku ke mulut Ayah berkali-kali, sampai liurnya yang kental terasa pahit di ujung lidahku. Tidak ada reaksi. Lalu aku coba tekan dadanya berkali-kali. Tetap saja tidak ada reaksi apa-apa.
Ya Tuhan, apakah Ayah telah pergi? Apa ini kefanaan yang Engkau janjikan? Bahwa mati adalah kepastian paling pasti dalam hidup? Aku tepekur dengan perasaan berkecamuk. Tekukku terasa dingin. Aku tidak mendengar jawaban langsung dari Tuhan, tapi hatiku terdalam bisa merasakan jawaban. Dengan pilu hatiku berbisik, “Ayah sudah pergi.”
Wajah Ayah tenang, tapi berawan. Tangan itu telah kelu dan semakin lama semakin dingin. Dingin yang perih. Aku belai muka Ayah dengan kedua tanganku. Lalu aku rapatkan kelopak matanya yang setengah terbuka dengan ujung telunjuk dan jempolku. Sambil memicingkan mata, aku genggam tangan beku Ayah. Aku coba berlaku ikhlas dengan membisikkan innalillahi wainna ilaihi rojiun. Semua yang ada di dunia hanya punya Dia, dititipkan sementara dan semuanya pasti akan kembali kepada Dia.
c.    Merasa miris.
Kutipan berikut membuat pembaca merasa miris atas perjalanan hidup Alif setelah kepergian ayahnya.
Aku cari-cari jalan agar bisa tetap bertahan di Bandung dengan uang bulanan yang semakin menipis. Aku hasut teman-teman kos untuk iuran menggaji Bi Ipah, tetangga kami, untuk memasak makan siang dan malam. Dengan cara ini aku bisa menghemat uang makan. Tinggal sarapan yang harus tetap kami beli sendiri. Dalam rangka pengiritan pula, biasanya aku berebut bangun paling pagi dengan Asto kawan sebelah kamarku yang juga prihatin. Subuh-subuh kami bergegas ke dapur, berharap masih ada sisa nasi kemarin di periuk dan remah-remah ekor tongkol yang masih mengambang di penggorengan. Lumayan. Walau hanya kerak nasi dan ekor tongkol yang kriyuk-kriyuk, kami bisa merayu perut untuk bertahan sampai makan siang.
Kadang-kadang, serangan fajar ke dapur gagal karena nasi sisa kemarin sudah rasan dan berkaca-kaca. Maka tidak ada pilihan lain, aku harus beli sarapan. Setiap pagi, Raisa dan teman-temannya merubung gerobak bubur ayam yang berhenti di antara kos Raisa dan kosku. Kalau mereka sudah bubar, aku biasanya melambaikan tangan ke abang tukang bubur untuk datang. Tapi di sakuku tinggal beberapa ribu rupiah saja. Tidak cukup untuk makan sampai malam. Apa boleh buat, harus berhemat lagi. Dengan berbisik, supaya tidak terdengar Raisa, aku memesan hanya setengah porsi bubur ayam dengan banyak bawang goreng. Supaya bubur kelihatan banyak, aku tuangkan air putih dan aku aduk. Tidak apa encer, tapi kan kelihatan sudah semangkuk penuh. Lumayan buat menghangatkan perutku di pagi hari.(halaman 102-103)
d.   Merasa terkesima dan kagum serta iri.
Kutipan berikut membuat pembaca merasa terkesima dan kagum akan perjalanan oleh Alif dan kawan-kawan, sekaligus merasa iri karena ingin juga melakukan perjalanan seperti itu.
“Selamat datang di salah satu peninggalan budaya Romawi yang masih utuh dan masih dipakai sampai sekarang. Inilah yang disebut sebagai Roman Theater. Tempat pertunjukan kuno ini didirikan pada abad ke-2 Masehi oleh Antoius Pius. Ya kira-kira 700 tahun sebelum Borobudur berdiri,” jelas Tyson. (halaman 244)
Ada juga kutipan pada perjalanan selanjutnya.
Dari dataran di puncak Jabal Al-Qala’a, kami bisa memandang dengan leluasa ke segala penjuru kota yang berbukit-bukit ini. Bukit ini tandus, hanya ada pasir, batu, dan satu-dua pohon cypress yang tumbuh tinggi lurus menunjuk langit. Sedangkan gurun pasir terbentang sampai ujung horizon.
...
Di puncak bukit ini kami berjalan memasuki kawasan reruntuhan benteng dan kuil Romawi yang berumur lebih 2000 tahun. Tiang-tiang granit berwarna gading masih ada yang tegak menjulang dengan diameter beberapa pelukan orang dewasa. Beberapa bongkah granit lain tampak diikat oleh tambang besar dan ada tulisan “under renovation”. Reruntuhan yang lebih muda di bukit ini adalah bekas masjid Dinasti Umayah yang mulai di bangun pada abad ke-11. (halaman 246-247)
e.    Merasa bahagia, senang
Kutipan berikut membuat pembaca merasa bahagia, senang, dan mengomentari dengan kata “Akhirnya” yang diikuti napas lega dan senyuman, hal ini sebagai tanggapan atas  diwisudanya Alif.
“Wisudawan selanjutnya. Alif Fikri, sarjana dari jurusan Hubungan Internasional.” Namaku bergaung-gaung keluar dari speaker besar aula ini. Aku melirik ke kursi Amak di seberang sana, berbisik dari jauh, meminta izin kepada beliau. Amak mengangguk-angguk masih dengan raut tegang. Dengan siaga aku berjalan tegap menuju panggung. Sol si Hitam masih mampu menghasilkan derap-derap nyaring di lantai pualam berkelir krem ini. Di panggung, Pak Rektor dan Pak Dekan telah menunggu dengan senyum lebar. Aku menyalami mereka, berterima kasih, dengan mengangguk kecil. Dengan cepat, jari Pak Rektor memidahkan seutas benang di topi hitam datarku ke sebelah kanan. Lalu giliran Pak Dekan menggenggam tanganku kuat-kuat sambil menyerahkan sebuah map biru berisi ijazah sarjanaku. Inilah detik persaksian penting dalam hidupku, ketika impianku telah bertukar menjadi kenyataan. Tuhan Engkau sungguh Maha Pengabul Impian. (halaman 453-454)
III.              Penutup
Dewasa ini telah banyak karya sastra yang telah diciptakan baik karya sastra klasik maupun karya sastra modern. Karya sastra tersebut tidak hanya dinikmati tetapi juga dijadikan bahan penelitian. Penelitian sastra secara umum lebih menjelaskan makna karya sastra dari aspek permukaan saja yang melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna atau pemberi makna dalam karya sastra itu sendiri. Hal inilah yang memicu lahirnya cabang penelitian sastra baru yakni penelitian pragmatik dan resepsi.
Penelitian resepsi sastra merupakan penelitian sastra yang berorientasi pada penikmatan karya sastra dan penanggapan karya sastra bagi pembaca. Resepsi berasal dari bahasa Latin, ‘recipere’, dan bahasa Inggris, ‘reception’, yang berarti ‘menerima’ atau ‘penyambutan’ pembaca. Jadi, resepsi sastra berarti menerima atau penikmatan karya sastra oleh pembaca.
Resepsi pembaca merupakan cabang penelitian sastra yang memusatkan pada proses hubungan teks dan pembaca, yang sebagian besar diarahkan pada fase interpretatif proses pembacaan. Proses tersebut berkaitan erat dengan evaluasi ketika pembaca memberikan value judgement kepada teks tertentu. Teori resepsi dikembangkan oleh RT Segers (1978) dalam bukunya ReceptieEsthetika. Buku receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi sastra ditentukan ada tiga dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca yakni: 1. Norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca; 2. Pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya; 3. Pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik secara  horison “sempit” dari harapn-harapan sastra maupun dalam horison “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Aspek penelitian resepsi pembaca dapat dilihat dari orientasi penelitiannya. Orientasi penelitian ini akan mengungkap: (1) apa yang dilakukan pembaca dengan karya sastra, (2) apakah yang dilakukan karya sastra dengan pembacanya, (3) apa tugas batas pembaca sebagai pemberi makna. Permasalahan tesebut menandakan bahwa pembaca merupakan faktor hakiki yang menentukan makna karya sastra.
Pada analisis penelitian resepsi sastra, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi. Pada analisis ini terdapat istilah horison pembaca dan kategori pembaca. Kategori pembaca pada analisis ini yakni pembaca berpengalaman, pembaca yang kompeten, pembaca yang tealah ada di benak penulis. Selain itu juga terdapat pembaca biasa atau awam, pembaca ideal, dan pembaca eksplisit. Adapun metode yang digunakan dalam analisis resepsi sastra yakni metode sinkronis dan metode diakronis. Karya sastra yang dapat dianalisis melalui resepsi sastra berupa novel, cerpen, puisi, dan lain-lain.



DAFTAR PUSTAKA
Ar.. Dian Nuzulia. 2011. Teori Resepsi Sastra. https://arerariena.wordpress.com/2011/02/02/teori-resepsi-sastra/. diakses pada 23 Mei 2015
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra: Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Ed. Revisi. Yogyakarta: Media Pressindo
Fuadi, Ahmad. 2011. Ranah Tiga Warna. Jakarta: Gramedia
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Riki, Fikri. 2014. Resepsi Sastra. http://fikri270794.blogspot.com/2014/02/resepsi-sastra.html. diakses pada 23 Mei 2015
Rokhmawati, Aini. 2013. Analisis Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dengan Menggunakan Pendekatan Resepsi Sastra. http://ainirokhmawati.blogspot.com/2013/12/analisis-novel-tenggelamnya-kapal-van.html. diakses pada 23 Mei 2015


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahasa Daerah Makassar

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia

Apresiasi Puisi Indonesia