Keterampilan Berbicara
Debat
oleh Shafariana, dkk
Rikanita
Tahir, 2014-diakses 12 maret 2015
oleh Shafariana, dkk
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setiap manusia dilahirkan dengan kemampuan
berbahasa. Kemampuan berbahasa ini lebih dikenal dengan sebutan keterampilan
berbahasa. Keterampilan berbahasa mulai dipelajari sejak manusia lahir secara
tidak disadari. Keterampilan berbahasa terbagi empat yakni keterampilan
menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca dan keterampilan
menulis.
Memasuki dunia perkuliahan, kita lebih
dituntut memiliki keterampilan berbicara, keterampilan membaca. Keterampilan
membaca digunakan untuk memperoleh informasi dan ilmu lebih luas selain
informasi dan ilmu yang didapatkan dari dosen. Sementara keterampilan berbicara
digunakan dalam praktik di ruang kelas, jam kuliah, dan kegiatan sosialisasi di
masyarakat. Keterampilan berbicara ini lebih sulit dipelajari karena
keterampilan berbicara tidak hanya membutuhkan informasi dan pengetahuan yang
lebih sebagai bahan pembicaraan, tetapi tingkat kepercayaan diri dan kemauan
atau motivasi dari diri sendiri juga diperlukan. Hal ini dapat ditemukan pada
salah satu keterampilan berbicara yakni debat.
Di dunia perkuliahan, kegiatan debat sering
dilakukan baik itu dalam forum kecil seperti pada saat diskusi maupun dalam perlombaan
yang diadakan untuk tingkat perguruan tinggi. Debat sangat membutuhkan wawasan
yang luas, kita tidak hanya menguasai materi debat, tetapi juga harus menguasai
hal-hal yang berkaitan dengan materi debat karena tidak dapat dipungkiri bahwa
dalam debat pembahasan suatu materi akan merambat kemana-mana. Selain
pengetahuan yang luas, cara mengeluarkan ide-ide mengenai materi debat melalui bahasa dengan
teknik-teknik tertentu sehingga dapat meyakinkan pernyataan-pernyataan yang
disampaikan sangat diperlukan. Berdasarkan hal-hal tersebut maka kami tertarik
untuk membahas keterampilan berbicara dalam hal ini debat dalam makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Setiap hal memiliki
sesuatu yang menjadi permasalahan. Adapun permasalahan dalam makalah ini
dirumuskan sebagai berikut.
1.
Bagaimana penggunaan debat dalam kehidupan sehari-hari?
2.
Apa saja jenis-jenis debat?
3.
Apa syarat-syarat susunan kata proposisi dalam debat?
4.
Apa yang menjadi pokok persoalan debat?
5.
Bagaimana persiapan laporan singkat?
6.
Bagaimana mempersiapkan pidato debat?
7.
Bagaimana sikap dan teknik berdebat?
8.
Bagaimana membuat keputusan dalam kegiatan debat?
9.
Bagaimana turnamen debat itu?
10. Apa saja norma-norma
dalam berdebat dan bertanya dalam debat?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan
masalah yang dibuat, maka dapat kita tentukan tujuan dari makalah ini yakni
diharapkan mengetahui hal-hal berikut.
1.
Penggunaan debat dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Jenis-jenis debat dan contohnya.
3.
Syarat-syarat susunan kata proposisi dalam debat.
4.
Pokok persoalan debat.
5.
Persiapan laporan singkat.
6.
Persiapan pidato debat.
7.
Sikap dan teknik berdebat.
8.
Cara membuat keputusan dalam kegiatan debat.
9.
Turnamen debat itu.
10. Norma-norma dalam berdebat
dan bertanya dalam debat.
D. MANFAAT
Manfaat makalah ini pada umumnya menambah
wawasan megenai keterampilan berbicara dalam hal ini debat. Adapun manfaat dari
makalah ini sebagai berikut.
1. Menerapkan praktik debat dengan baik dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Menyampaikan argumen dengan sopan dan baik
dalam debat.
3. Mampu menempatkan posisi dan mengambil
tindakan yang baik dalam setiap jenis debat yang diikuti.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGGUNAAN DEBAT
Debat merupakan suatu kegiatan berbicara yang
membutuhkan argumen-argumen dari peserta debat yang umumnya dibedakan menjadi
pihak pendukung dan pihak penyangkal. Debat biasanya terjadi dalam kegiatan
yang melibatkan atau membutuhkan suatu usul atau pendapat, tetapi debat juga
diadakan sebagai suatu kegiatan tersendiri.
Kita yang berada di negara Indonesia yang
menganut paham demokrasi, menganggap debat sebagai salah satu kegiatan yang
memiliki peranan penting. Hal ini disebabkan karena debat sebagai salah satu
kegiatan dalam pemerintahan kita seperti pembuatan perundang-undangan, politik,
dan hukum. Sementara di dunia luar pemerintahan seperti bisnis dan pendidikan.
1.
Perundang-undangan
Pada saat rancangan undang-undang
diperkenalkan pada badan legislatif, maka debat biasanya terjadi, penganjur
rancangan tersebut dan beberapa pihak yang menerima rancangan tersebut akan
menjadi pihak pendukung, sementara pihak lain yang tidak menerima rancangan itu
akan menjadi pihak penyangkal. Hal itu terjadi jika amandemen dari rancangan
undang-undang itu diterima. Apabila kedua belah pihak mengemukakan argumen-argumen
yang meyakinkan dan didukung oleh fakta dan dokumen-dokumen lain, atau belum
diperoleh jalan keluar maka kegiatan selanjutnya yakni pemungutan suara.
2.
Politik
Debat dalam politik umumnya berlangsung saat
kampanye politik berlangsung. Hal ini memudahkan para pemilih atau pemberi
suara mendengar para calon yang bertentangan saling mempertahankan pendapat dan
menyerang kelemahan lawan. Selain itu, tujuan utamanya agar para pemilih
mengetahui rencana kerja para calon, menguntungkan atau tidak, jika calon itu
terpilih menjadi pimpinan.
3.
Bisnis
Debat juga dilakukan oleh pimpinan dan komite
eksekutif suatu perusahaan untuk memperoleh keputusan dalam berbagai kebijakan
yang dibuat.
4.
Hukum
Debat dalam hukum, umumnya terjadi di
kantor-kantor pengadilan. Hal ini dilakukan oleh pengacara atau advokat baik
dari pihak tergugat maupun pihak menggugat.
5.
Pendidikan
Debat dilakukan dalam tingkat perguruan
tinggi. Hal ini dilakukan sebagai sarana pengenalan terhadap masalah-masalah yang
sedang hangat diperbincangkan dalam kehidupan sehari-hari.
B. JENIS-JENIS DEBAT
Debat dapat
dibedakan menjadi tiga berdasarkan bentuk, maksud, dan metode yang digunakan.
1. Debat Majelis atau Debat Parlementer
Tujuan dari debat
majelis atau debat parlementer yakni memberi dan menambah dukungan bagi
undang-undang tertentu.
2. Debat Pemeriksaan Ulangan
Debat ini digunakan
untuk mengetahui kebenaran sehingga dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu.
Debat ini menuntut persiapan yang lebih matang. Prosedur kegiatan debat ini
sebagai berikut:
1.
Pembicara afirmatif pertama menyampaikan pidato resminya. Setelah itu,
pembicara negatif yang pertama memeriksanya dengan teliti.
2.
Setelah tujuh menit pemeriksaan, penanya berkesempatan selama empat menit
untuk menyajikan kepada pendengar atas pengakuan-pengakuan yang telah
diperolehnya melalui pemeriksaan ulang itu. Namun dibatasi pada hal yang
diperoleh secara aktual dengan pengakuan itu dan tidak diperbolehkan
memperkenalkan fakta atau argumen baru.
3.
Pembicara negatif yang kedua mengemukakan kasus negatif dan seterusnya
diteliti ulang oleh pembicara afirmatif yang kedua.
Prosedur tersebut
dilakukan untuk mengajukan serangkaian pertanyaan yang satu dan lainnya
berhubungan erat, yang menyebabkan individu yang ditanya menunjang posisi yang
hendak ditegakkan dan diperkokoh oleh sang penanya.
Pada situasi di
dalam ruang pengadilan, para pengacara memeriksa ulang dengan seksama
kesaksian-kesaksian para saksi. Sementara dalam perdebatan antarperguruan
tinggi, para pembicara saling meneliti dengan seksama satu dan lainnya. Pada
panggung perdebatan, seorang pembicara pada berbagai pihak mengemukakan suatu
kasus yang konstruktif.
Pada area apapun,
debat jenis ini untuk pembicara negatif, pembicara negatif memberi tanggapan
pada pembicara afirmatif. Sementara pembicara afirmatif memberi tanggapan pada
pembicara negatif. Setelah itu pembicara dari setiap pihak merangkum
keseluruhan kasus yang dikemukakan oleh pembicara konstruktif tadi beserta
jawaban atas pertanyaan, dan memberikan bantahan terhadap posisi yang telah
diambil oleh pihak lain.
3. Debat Formal
Debat formal
memiliki tujuan untuk memberi kesempatan bagi dua tim pembicara untuk
mengemukakan kepada para pendengar sejumlah argumen yang menunjang atau yang
membantah suatu usul.
Pembicara afirmatif
yang pertama akan mengemukakan latar belakang perdebatan yang mencakup asal
usul dan sejarah masalah bersangkutan, alasan utama berdiskusi, definisi dan
penjelasan, dan pembatasan-pembatasan lainnya atas ruang lingkup masalah yang
menyebabkan masalah-masalah itu diperdebatkan. Kemudian dilanjutkan oleh
pembicara negatif yang pertama yang menafsirkan kembali latar belakang tersebut
jika menurut pendapatnya belum lengkap atau berat sebalah. Setelah itu
dilanjutkan oleh pembicara kedua dari kedua pihak yang menyampaikan
argumen-argumen bagi pertarungan-pertarungan selanjutnya baik berupa sangkalan ataupun
pembuktian. Perdebatan ini diakhiri dengan merangkumkan hal yang didebatkan.
C. SYARAT-SYARAT SUSUNAN KATA PROPOSISI
Proposisi atau usul dalam
debat dapat digunakan sebagai penentu ruang lingkup atau pembatasan-pembatasan
atas hal yang menjadi perdebatan. Proposisi bergantung pada jenis debat. Pada
debat majelis atau debat parlementaer, proposisi dapat berupa suatu mosi, suatu
resolusi, atau suatu rancangan undang-undang yang diputuskan oleh majelis
parlementer. Pada debat pemeriksaan ulang, proposisi dapat berupa suatu
pernyataan mengenai posisi afirmatif terhadap masalah yang kontroversial.
Proposisi dapat juga berupa suatu keterangan pendapat mengenai fakta, nilai,
atau kebijaksanaan dalam debat formal. Sementara pada debat yang melibatkan
antarperguruan tinggi, proposisi biasanya berhubungan dengan kebijaksanaan umum
yang masih hangat dalam masyarakat.
Proposisi untuk
setiap jenis debat harus berupa afirmasi atau penegasan. Dalam hal ini,
proposisi memiliki syarat-syarat penyusunan dalam debat sebagai berikut.
1. Kesederhanaan
Semakin sederhana
suatu pernyataan maka semakin berguna bagi perdebatan yang sedang berlangsung.
Hal ini disebebkan bahwa usul yang rumit dan berbelit-belit menyebabkan
analisis yang sukar.
Contoh:
a.
Setiap orang, baik pria maupun wanita, baik yang telah kawin maupun yang
belum kawin, yang telah berumur delapan belas tahun ke atas, yang tinggal
menetap dalam suatu negara, berhak memilih dan dipilih. (Proposisi yang
berbelit-belit)
b.
Setiap warga negara berhak memilih dan dipilih. (Proposisi yang
sederhana)
2. Kejelasan
Proposisi perlu
disampaikan dengan jelas agar tidak menimbulkan beberapa penafsiran yang dapat
membingungkan peserta debat. Oleh karena itu, kalimat proposisi menghindari
kalimat ambigu dan rancu. Contoh:
a.
Pemungutan suara dalam pemilu hendaklah dianggap sebagai suatu hak
istimewa dan juga sebagai kewajiban. (Proposisi dengan kalimat tidak jelas)
b.
Pemungutan suara dalam pemilu dianggap sebagai hak istimewa sekaligus
kewajiban. (Proposisi dengan kalimat jelas)
3. Kepadatan
Proposisi
disampaikan dengan menggunakan kata-kata yang sedikit dan padat. Hal ini
dilakukan agar tidak mengakibatkan usul yang tidak praktis dan menghindari
salah pengertian dari peserta debat. Contoh:
a.
Segala warga negara Indonesia yang setia hendaklah diizinkan
mempraktekkan hak-haknya sesuai dengan yang tercantum dalam UUD 1945, yaitu
memberikan suara pada pemilu. (Proposisi
dengan kata-kata yang panjang lebar)
b.
Segala warga negara Indonesia yang setia hendaklah diizinkan memberikan
suara dalam pemilu. (Proposisi dengan kata-kata yang padat)
4. Susunan Kata Afirmatif
Proposisi harus
disusun dengan kata-kata yang menunjukkan sifat afirmatif atau megiyakan bukan
bersifat negatif atau meniadakan. Contoh:
a.
Para mahasiswa yang menghadiri kuliah delapan puluh persen hendaknya
jangan ditolak mengikuti ujian. (Proposisi bersifat negatif)
b.
Para mahasiswa yang telah mengikuti kuliah delapan puluh persen diizinkan
mengikuti ujian. (Proposisi bersifat afirmatif)
5. Pernyataan Deklaratif
Proposisi dalam
debat lebih baik berisi pernyataan yang tegas daripada pertanyaan. Hal ini
dikarenakan debat bertujuan untuk menyokong dan membela bukan menyelidiki
seperti tujuan diskusi.
6. Kesatuan
Suatu debat
hendaknya memiliki sebuah gagasan tunggal agar pokok permasalahan yang
diperdebatkan tidak luas dan merambat pada pembahasan lain.
7. Usul Khusus
Suatu debat
hendaknya bersifat khusus agar tidak mengakibatkan perdebatan yang terpencar
dan tidak memuaskan.
8. Bebas dari Prasangka
Proposisi
menghindari pernyataan yang mengandung prasangka-prasangka karena prasangka
akan memperkenalkan asumsi-asumsi yang tidak tepat dalam usul dan menghasilkan
perdebatan yang berat sebelah.
9. Tanggung jawab untuk Memberikan Bukti yang
Memuaskan Terhadap Afimatif
Susunan kata usul
hendaklah dibuat sebaik dan secepat mungkin sehingga pembicara afirmatif akan
menganjurkan serta menyokong suatu perubahan.
D. POKOK-POKOK PERSOALAN
Pembicara perlu
mempertimbangkan dengan matang mengapa usul yang dikemukakannya merupakan
masalah penting bagi perdebatan, bagaimana pertama munculnya masalah itu,
bagaimana pula sejarah serta perkembangannya. Selain itu, pembicara harus
membatasi secara tegas dan tepat segala istilah yang terdapat pada proposisi
tersebut dengan penunjukan atau referensi langsung kepada pendekatan itu. Pembicara
dalam hal ini harus dengan tegas menentukan apa yang harus diterima,
dilepaskan, atau dikeluarkan karena tidak ada hubugannya dengan masalah yang
dikemukakan.
Pembicara harus
mendaftarkan dalam satu kolom segala pendirian utama yang menyokong afirmatif
dan kolom lain segala pendirian utama yang mendukung negatif. Dari perbedaan
pendirian pendapat itu, akan timbul pertanyaan yang dijawab oleh afirmatif “Ya”
dan negatif “Tidak”. Masalah ini akan menghasilkan pokok-pokok persoalan dasar
dalam perdebatan dan membimbing ke arah pokok-pokok persoalan tambahan. Apabila
negatif setuju dengan afirmatif terhadap jawaban salah satu pertanyaan/masalah
dasar, maka masalah itu berhenti menjadi suatu pokok persoalan dalam
perdebatan. Namun, jika pihak negatif setuju dengan pihak afirmatif dalam hal
perlunya mengadakan suatu perubahan, maka pertanyaan kedua dan ketiga saja yang
merupakan pokok persoalan yang ada hubungannya dengan masalah itu. Sehingga
pihak negatif yang bertanggung jawab penuh untuk mengemukakan solusi untuk
alteratif serta memperlihatkan keunggulannya terhadap solusi afirmatif.
E. PERSIAPAN LAPORAN SINGKAT
Laporan singkat
merekam bentuk kalimat uraian atau analisis lengkap mengenai usul yang diajukan
oleh pembicara. Laporan singkat memudahkan pembicara menguji kecermatan
persiapannya, kecerahan penalarannya, dan ketepatan fakta-faktanya. Setiap
pembicara hendaklah mempersiapkan laporan singkat afirmatif dan negatifnya
sendiri-sendiri untuk mengetahui sepenuhnya keseluruhan kasus bagi kedua belah
pihak.
1. Bentuk dan Pengembangan Laporan
Laporan singkat
mempergunakan simbol-simbol yang tetap, yang susunannya antara lain: angka
Romawi, huruf kapital, angka Arab, huruf non kapital. Langkah seterusnya,
simbol dipergunakan dalam susunan yang sama dalam tanda kurung. Setiap simbol
hendak diikuti oleh satu pernyataan tegas yang menyatakan satu gagasan. Untuk
membuat tampilan laporan yang bersih dan jelas, maka semua baris kedua dan
ketiga suatu pernyataan harus dibuat agak menjorok ke tengah. Pada bagian pendahuluan dalam laporan, pengenalan
masalah dipaparkan dari umum ke khusus. Untuk bagian isi dalam laporan, masalah
dipaparkan dari generalisasi menuju penalaran terhadap fakta.
2. Bagian-Bagian Laporan
Secara umum, laporan
terdiri dari tiga bagian yakni pendahuluan, isi, dan kesimpulan.
a.
Pendahuluan
Pedahuluan suatu
laporan menguraikan secara rinci hal-hal berikut: alasan-alasan pengadaan
diskusi, asal-usul dan sejarah masalah, batasan istilah-istilah, hal-hal yang
tidak relevan, masalah yang dibuang/disingkirkan, pendirian-pendirian utama
pihak afirmatif dan pihak negatif, pokok-pokok persoalan utama, dan pembagian
argumen-argumen pihak afirmatif dan pihak negatif.
b.
Isi
Isi laporan berisi
argumen-argumen dan fakta-fakta penunjang bagi pihak afirmatif dan pihak
negatif. Argumen-argumen utama merupakan jawaban-jawaban pihak afirmatif dan
negatif terhadap pokok-pokok tersebut. Bagian yang berkenaan dengan afirmatif
diuraikan secara lengkap yang selanjutnya diikuti oleh bagian negatif.
c.
Kesimpulan
Kesimpulan laporan
mengikhtiarkan secara berurutan argumen-argumen utama dalam bentuk ‘anak
kalimat sebab’ atau ‘klausa selagi’ yang diikuti, atau ‘maka
dengan demikian’ sebagai klausa atau anak kalimat utama. Bagian afirmatif dan
bagian negatif masing-masing mempunyai kesimpulan sendiri, yang jelas
bertentangan satu dan lainnya.
PENDAHULUAN
I.
Pentingnya
Masalah
II.
Asal Usul
dan Sejarah
III.
Definisi
Istilah
IV.
Masalah yang
diterima
V.
Pokok-Pokok
Persoalan Utama
Laporan Afirmatif
I.
...
A.
...
1.
...
a.
...
i.
...
ii.
...
B.
...
II.
...
Kesimpulan Afirmatif
Laporan Negatif
I.
...
C.
...
2.
...
b.
...
iii.
...
iv.
...
D.
...
II.
...
Kesimpulan Negatif
|
F.
PERSIAPAN PIDATO DEBAT
Anggota debat harus
mempersiapkan dua jenis pidato yang berbeda, yaitu:
1. Pidato Konstruktif
Pidato konstruktif
diturunkan dari argumen-argumen dan fakta-fakta dalam laporan serta disesuaikan
atau diadaptasikan baik dengan kebutuhan para pendengar maupun kebutuhan
argumen yang mungkin timbul dari para penyanggah. Pidato ini tetap bersifat
fleksibel pada pendahuluan sanggahan dan pada kesinambungan penyesuaian
terhadap argumen yang dikemukakan oleh oposisi. Masalah-masalah yang dipilih
serta usul yang diajukan dalam pengembangan kasus dalam pidato ini merupakan
pertimbangan-pertimbangan penting dan konsiderasi-konsiderasi utama. Analisis yang bijaksana serta tenggang hati
terhadap semua unsur dalam situasi itu membimbing setiap pembicara dalam
menentukan argumen-argumen yang dipergunakan, hal-hal yang harus ditentukan,
fakta-fakta yang paling persuasif, minat serta kepercayaan umum atau khusus
para pendengar yang dapat dimanfaatkan, serta susunan ide-ide yang akan dapat
menimbulkan daya pikat yang paling kuat.
Pada pidato
konstruktif, pembicara debat perlu mempertimbangkan tututan-tuntutan dari para
pendengarnya. Pembicara menggunakan kata yang sudah umum untuk menggantikan
istilah yang masih asing, memakai ilustrasi-ilustrasi yang menyolok yang
diturunkan dari fakta-fakta, menggunakan analogi-analogi yang bersifat
figuratif, dan lain-lain.
2. Pidato Sanggahan
Pada pidato
sanggahan, pembicara tidak diperkenankan menggunakan argumen konstruktif baru.
Namun, pembicara dapat menggunakan fakta-fakta tambahan untuk memperkuat yang
telah dikemukakan. Pembicara pidato sanggahan hendaknya menganalisis kasus para
penyanggahnya sehingga dapat menyangkal argumen utama se-efektif mungkin,
menunjukkan setiap kelemahan, ketidak-konsekuenan, atau kekurangan pada posisi
lawan.
Pidato ini tidak
dapat dikatakan sempurna jika tidak mampu memperlihatkan kasus secara
keseluruhan. Sang pembicara dalam pidato ini mengakhiri serta menyimpulkan
pembicaraannya dengan mengarahkan kembali perhatian pendengar pada pokok
persoalan utama dalam debat, dengan jalan memperlihatkan secara khusus
bagaimana pembuktiannya menjawab masalah-masalah tersebut secara lebih
memuaskan.
G. SIKAP
DAN TEKNIK BERDEBAT
Seorang pendebat
harus memiliki sifat rendah hati, wajar, ramah, dan sopan tanpa kehilangan
kekuatan argumen-argumennya. Pendebat harus menghindari pernyataan yang
berlebihan terhadap kasusnya dan menggunakan kata-kata dan ekspresi yang samar
yang tidak dikehendaki oleh fakta-faktanya, atau tidak menunjang kasus yang
dikemukakannya.
Para anggota
debat tidak diizinkan untuk marah atas sindiran tajam ataupun tuduhan tidak
langsung dari para lawan mereka. Diperlukan daya tahan ampuh yang bersifat
lelucon dan humor, tetapi tidak dibenarkan serangan-serangan yang bertubi-tubi
terhadap pribadi lawan. Pendebat diharapkan menampilkan sikap tenang dan santai
serta sopan santun terhadap lawan dan para pendengar.
H. KEPUTUSAN
Pengambilan
keputusan dalam debat bergantung pada jenis debat dan dalam bidang apa debat
dilaksanakan. Pada debat suatu badan legislatif, pengambilan keputusan
dilakukan dengan pemungutan suara atau mosi, resolusi, atau rancangan
undang-undang. Sementara perdebatan politik mengambil keputusan dengan
mengadakan pemilihan atau menggagalkan calon. Pada kantor pengadilan,
pengambilan keputusan dilakukan oleh hakim atau juri. Adapun pada bidang usaha
atau bisnis, keputusan merupakan retensi (hak tetap memiliki) atau perubahan
suatu kebijaksanaan.
1. Jenis-Jenis Keputusan pada Perdebatan
Antarperguruan Tinggi
a. Keputusan oleh para
pendengar.
Keputusan oleh para
pendengar dilakukan dengan cara pemungutan suara. Dalam hal ini, pendengar
diminta untuk mengemukakan pendapat terhadap usul itu sendiri setelah
mempertimbangkan argumen-argumen pada kedua pihak, atau kegunaan perdebatan,
ataupun kedua-duanya. Pendengar diberi kartu untuk mencatat pendapatnya sebelum
dan sesudah perdebatan. Hal ini dilakukan untuk melihat seberapa jauh pendebat
dapat memengaruhi pikiran pendengar atas perubahan pendapat para pendengar.
b. Keputusan oleh para
hakim
Seorang hakim atau kepala suatu komite hakim
yang ahli dalam teori dan praktek perdebatan diserahkan tugas untuk mengambil
keputusan mengenai manfaat perdebatan. Para hakim itu mungkin mengadakan
perundingan untuk mencapai suatu keputusan.
c. Keputusan dengan
kritik
Seorang ahli
mengenai argumentasi dan perdebatan diundang untuk memberikan suatu keputusan
mengenai perdebatan itu dan suatu keputusan mengenai karya para pendebat. Para
ahli itu akan menganalisis secara terperinci betapa baik suatu tim
mengembangkan serta menyajikan kasusnya dan sampai seberapa jauh ketepatgunaan
setiap tim dalam sanggahan yang dikemukakan. Para ahli itu akan mengomentari
berbagai aspek persiapan dan penampilan pendebat.
2. Perdebatan Tanpa Keputusan Resmi
Umumnya perguruan
tinggi dalam kegiatan debat lebih mengutamakan perdebatan tanpa keputusan. Hal
ini dikarenakan untuk memusatkan perhatian terhadap pemberitahuan atau
pelaporan kepada pendengar saja. Jika
pedebatan resmi diikuti oleh diskusi panel dengan pertanyaan-pertanyaan, para
pendengar dapat mempelajari lebih banyak lagi mengenai topik atau tema
perdebatan. Para anggota debat juga dapat mempelajari lebih banyak lagi
masalah-masalah penyesuaian atau pengadaptasian kepada pendengar daripada jika
hanya perdebatan formal saja yang dilaksanakan. Diskusi ini akan memperlihatkan
seberapa jauh taraf dan kemampuan para
pendebat dalam meyakinkan para pendengar, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
akan mencerminkan butir-butir yang belum dibuat jelas, serta argumen-argumen
yang tidak ditunjang secara memuaskan.
3. Pentingnya Keputusan
Keputusan-keputusan
terhadap para anggota debat, dapat memengaruhi norma-norma dan praktek-praktek
perdebatan. Keputusan-keputusan yang curang yang diambil oleh para hakim yang
tidak mahir akan teknik-teknik perdebatan dengan mudah dapat mengecilkan hati
para (maha)siswa yang ingin mencoba menjadi pembicara yang cerdas mengenai
masalah-masalah umum, dan yang ingin mempelajari norma etis profesional
terhadap apa yang benar dan apa yang salah dalam perdebatan. Orang-orang yang
bertanggung jawab terhadap penataan perdebatan hendaknya memilih hakim-hakim
yang berwewenang dan tidak berprasangka sehingga keputusan yang diambil
benar-benar jujur, adil, dan selanjutnya mengajukan sasaran-sasaran atau
tujuan-tujuan suatu program perdebatan. Keanekaragaman pengalaman dalam kemampuan
mungkin sangat dibutuhkan oleh kebanyakan anggota debat. Namun, penekanan yang
berlebihan pada keputusan-keputusan, jelas akan mengubah bahkan mengacaukan
program perdebatan dan membuatnya menjadi suatu permainan atau pertandingan
belaka.
I.
TURNAMEN DEBAT
Turnamen debat
umumnya dilakukan oleh perguruan tinggi. Turnamen debat merupakan wadah untuk
memberi kesempatan bagi para anggota debat untuk mengadakan praktek terhadap
usul tunggal suatu perdebatan, dan juga untuk mencobakan argumen-argumen mereka
pada beberapa tim lawan yang berbeda-beda. Selain itu, turnamen debat juga
dapat dilakukan sebagai suatu latihan tunggal dalam suatu program debat.
1. Prosedur Turnamen Debat
Salah satu perguruan
tinggi yang turut bertanding mengundang beberapa lembaga atau institusi untuk
mengirimkan tim afirmatif dan tim negatif bagi perdebatan mengenai tema yang
telah ditetapkan ke kampus perguruan tinggi tersebut. Pasangan dalam turnamen debat ini sebaiknya
berkelipatan empat. Setiap perdebatan biasaanya ditentukan atau diputuskan oleh
satu orang hakim, baik dengan kritik maupun tidak. Para pemenang maju ke
putaran kedua dan proses itu berlangsung terus sampai tim pemenang terpilih.
Kadang-kadang tim-tim yang tersisihkan pun berpasangan pula beberapa kali, agar
semua tim dapat berpraktek sebanyak mungkin. Apabila tersisihkan atau kalah,
maka para pembicara menggabungkan diri dengan para pendengar untuk
perdebatan-perdebatan selanjutnya yang masih tersisa.
2. Masalah-Masalah dalam Turnamen Debat
Masalah pokok dalam
turnamen debat adalah menemukan sejumlah hakim yang cukup berwewenang untuk
memberi keputusan-keputusan dan kritik-kritik yang akan mendapat respek.
Masalah lain yang muncul dalam turnamen debat adalah daya tahan dari semua yang
bersangkutan jika susunan rencana mewajibkan perdebatan yang berkesinambungan
selama beberapa jam mengenai suatu bidang.
J.
NORMA-NORMA DALAM BERDEBAT DAN BERTANYA
1. Norma-Norma dalam Berdebat
Norma-norma dalam
berdebat yakni semua pembicara harus
memiliki hal-hal berikut.
a.
Pengetahuan yang sempurna mengenai pokok pembicaraan.
b.
Kompetensi atau kemampuan menganalisis.
c.
Pengertian mengenai prinsip-prinsip argumentasi.
d.
Apresiasi terhadap kebenaran-kebenaran fakta-fakta.
e.
Kecakapan menemukan buah pikiran yang keliru dengan penalaran.
f.
Keterampilan dalam pembuktian kesalahan.
g.
Pertimbangan dalam persuasi.
h.
Keterarahan, kelancaran, dan kekuatan dalam cara/penyampaian pidato.
(Mulgrave dalam Tarigan, 2013:117)
2. Norma-Norma dalam Bertanya
Selain dalam
kegiatan debat berlangsung, bertanya dalam debat juga memiliki norma-norma atau
kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah atau norma-norma itu sebagai berikut.
a.
Mengetahui segala sesuatu mengenai usul atau proposisi yang akan
didiskusikan sebelum kita mengajukan pertanyaan kepada pembicara.
b.
Hendaklah kita bersungguh-sungguh mencari informasi.
c.
Bertanya bukan untuk menguji pembicara.
d.
Pertanyaan yang diajukan singkat dan padat; rumuskan terlebih dahulu
pertanyaan baik-baik sebelum diajukan kepada pembicara.
e.
Mengajukan pertanyaan yang tidak berbelit-belit sampai ke hal-hal yang
kecil.
f.
Tidak mengajukan pertanyaan yang berprasangka emosional.
g.
Mengajukan pertanyaan dengan tidak bersikap menuduh, menyalahkan,
menggoda, mengusik, menggertak, menakut-nakuti, atau membingungkan pembicara.
Bersikap wajar bukan sikap menipu.
h.
Pertanyaan yang diajukan harus mempunyai tujuan tertentu, yakni: memeroleh
informasi, menjernihkan suatu masalah, mencari penjelasan penalaran yang
terlibat, ataupun meninjau kembali fakta-fakta yang telah dikemukakan oleh
pembicara.
i.
Mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus.
j.
Menghindarkan jauh-jauh cara berpikir yang menyesatkan, yang tidak masuk
akal.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Debat merupakan suatu kegiatan berbicara yang
membutuhkan argumen-argumen dari peserta debat yang umumnya dibedakan menjadi
pihak pendukung dan pihak penyangkal. Debat biasanya terjadi dalam kegiatan
yang melibatkan atau membutuhkan suatu usul atau pendapat, tetapi debat juga
diadakan sebagai suatu kegiatan tersendiri. Debat secara umum digunakan dalam
pembuatan perundang-undangan, politik, hukum, bisnis dan pendidikan. Berdasarkan bentuk, maksud, dan metode yang
digunakan, debat dibedakan menjadi debat majelis atau parlementer, debat
pemeriksaan ulang, dan debat formal. Adapun syarat-syarat penyusunan kata dalam
proposisi yakni kesederhanaan, kejelasan, kepadatan, susunan kata afirmatif,
pernyataan deklaratif, kesatuan, usul khusus, bebas dari prasangka, dan
tanggung jawab untuk memberikan bukti yang memuaskan terhadap afirmatif.
Sementara pokok-pokok persoalan debat ditentukan oleh pembicara dengan cara
mempertimbangkan dengan matang mengapa usul yang dikemukakannya merupakan
masalah penting bagi perdebatan, bagaimana pertama munculnya masalah itu,
bagaimana pula sejarah serta perkembangannya. Anggota debat harus mempersiapkan
laporan singkat sebelum berdebat sebagai proposisi dalam debat. Selain itu,
anggota debat juga perlu mempersiapkan dua pidato debat yakni pidato
konstruktif dan pidato sanggahan. Suatu debat akan berjalan baik dan lancar
jika setiap anggota debat menerapkan sikap dan teknik berdebat dengan baik. Hal itu dapat dilakukan dengan memenuhi
atau melaksanakan norma-norma dalam berdebat dan bertanya dalam debat. Hasil
akhir dari kegiatan debat yakni sebuah keputusan. Keputusan dalam debat,
khususnya antarperguruan tinggi dibedakan menjadi keputusan oleh para
pendengar, keputusan oleh para hakim, dan keputusan dengan kritik.
B. SARAN
Setiap manusia
memiliki kemampuan yang berbeda-beda, termasuk dalam debat. Debat memerlukan
keterampilan seseorang dalam berbicara. Keterampilan ini berupa pengolaha
kata-kata untuk menyampaikan argumen, fakta, contoh, dan hal-hal yang lain yang
mendukung atau menguatkan pokok permasalahan debat; bagaimana meyakinkan para
pendengar; dan teknik yang digunakan dalam menyanggah. Oleh karena itu, perlu
usaha untuk meningkatkan diri dalam keterampilan berbicara. Salah satu usaha
tersebut yakni meniru bagaimana seseorang mengeluarkan pikiran-pikirannya
dengan baik dalam debat, berlatih berbicara, dan terus berlatih berbicara
dengan teratur, serta memperbanyak bahan bacaan untuk memperluas wawasan
sehingga memiliki bahan pembicaraan.
Sumber:
CONTOH MAKALAH BAHASA INDONESIA YANG BAIK BENAR
2014 –diakses 10 maret 2015
Contoh Sistematika Penulisan
Karya Ilmiah Terbaru 2014
Komentar
Posting Komentar