Teori Sastra


Sastra dan Pemikiran
I.          Pendahuluan
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta yakni shastra, yang berarti ‘teks yang mengandung arti’ atau ‘pedoman’. Namun, pada bahasa Indonesia, sastra merujuk pada kesusastraan yakni tulisan yang memiliki keindahan dan makna. Sementara menurut KBBI (Edisi ketiga), sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).
Berbicara tentang sastra, kita tidak lepas dari unsur-unsur yang membentuk karya sastra itu sendiri baik yang berasal dari dalam karya sastra (intrinsik) maupun yang berasal dari luar karya sastra (ekstrinsik). Salah satu unsur tersebut yakni pemikiran, baik dari diri sastrawan itu sendiri maupun pemikiran-pemikiran orang lain yang ada disekitar sastrawan ataupun yang berlaku dalam lingkungan sastrawan.
Pemikiran menurut KBBI (Edisi ketiga), adalah proses, cara, perbuatan memikir: problem yang memerlukan pikiran dan pemecahan. Hal ini disangkut-pautkan dengan filsafat. Filsafat menurut KBBI (Edisi ketiga), adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumya; teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.
Sastra dan pemikiran memiliki keterkaitan yang cukup erat, karena tak dapat dipungkiri bahwa proses pembuatan sastra itu sendiri melibatkan pemikiran dari sastrawan. Pemikiran, dalam hal ini filsafat, secara tidak langsung dapat mempengaruhi sastra, begitupun sebaliknya, sastra secara tidak langsung dapat mempengaruhi pemikiran. Namun, terdapat pro dan kontra antara sastrawan yang satu dengan sastrawan yang lain mengenai pemikiran dalam sastra. Ada yang berpandangan bahwa filsafat terkandung dalam sastra, dan ada pula yang meragukan pernyataan tersebut. Tetapi, yang menjadi pokok pembicaraan antara sastra dan pemikiran adalah pengaruh sastra terhadap pemikiran, dan pengaruh pemikiran terhadap sastra.















II.       PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sastra dan Pemikiran
1.      Pengertian Sastra
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta yakni shastra, yang berarti ‘teks yang mengandung arti’ atau ‘pedoman’. Namun, pada bahasa Indonesia, sastra merujuk pada kesusastraan yakni tulisan yang memiliki keindahan dan makna. Sementara menurut KBBI (Edisi ketiga), sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Sastra dapat dikatakan sebagai ‘tulisan yang indah’, atau dapat juga dikatakan sebagai ‘pembetuk budi pekerti’.
2.      Pengertian Pemikiran
Pemikiran menurut KBBI (Edisi ketiga), adalah proses, cara, perbuatan memikir: problem yang memerlukan pikiran dan pemecahan. Hal ini terkadang disangkut-pautkan dengan filsafat. Filsafat menurut KBBI (Edisi ketiga), adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumya; teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.
B.     Hubungan Sastra dan Pemikiran
Sastra dan pemikiran memiliki keterkaitan yang cukup erat, karena tak dapat dipungkiri bahwa proses pembuatan sastra itu sendiri melibatkan pemikiran dari sastrawan. Pemikiran, dalam hal ini filsafat, secara tidak langsung dapat mempengaruhi sastra, begitupun sebaliknya, sastra secara tidak langsung dapat mempengaruhi pemikiran.
Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Oleh karena itu, biasanya sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran. Namun, pemahaman terhadap keunikan karya sastra akan kacau jika karya sastra diringkas menjadi pernyataan-pernyataan doktrin. Lebih parah lagi akibatnya, jika sekadar mengambil satu atau dua kalimat, atau bagian dari karya sastra, terlepas dari keseluruhan karya itu. Ini berarti keutuhan karya dirusak dan kriteria penilaian asing dimasukkan ke dalam karya sastra. Hubungan sastra dengan pemikiran dapat dilihat dari pandangan beberapa tokoh berikut.
1.        A. O. Lovejoy
Pelopor sekelompok ilmuan Amerika, yang menggambarkan studi hubungan sastrawan dengan pemikiran. Metode ini dinamakan ‘Sejarah Pemikiran’, yang dibuktikan dengan bukunya sendiri ‘The Great Chain of Being’. Lovejoy mempelajari pemikiran ini melalui berbagai disiplin, yakni filsafat, pemikiran ilmiah, teologi, dan kesusastraan. Lovejoy juga berpendapat bahwa sejarah pemikiran adalah suatu pendekatan khusus yang khusus yang memakai sastra hanya sebagai dokumen dan contoh saja. Namun, Lovejoy membatasi kegiatan mencari unsur-unsur ilmiah dalam karya sastra yang berlebihan.


2.        Coleridge
Tokoh yang ikut menyebarkan pemikiran Jerman atau Neoplatonisme ke dalam tradisi puisi Inggris.
3.        E.Gilson
Tokoh dari Prancis yang menerapkan pengetahuannya tentang filsafat abad pertengahan untuk menguraikan karya Rabelais dan Pascal.
4.        Fichte, Schelling dan Hegel
Para tokoh yang mencoba memecahkan masalah epistimologi dan metafisik dalam karyanya.
5.        Rozanov, Merezhkovsky, Shetov, Berdyae, dan Vyachslav Ivanov
Para tokoh yang memakai karya pengarang sebagai teks untuk mengkhotbah doktrin mereka.
6.        Rudolf Unger
Tokoh yang mengatakan bahwa sastra bukanlah filsafat yang diterjemahkan dalam bentuk pencitraan dan sajak, melainkan ekspresi suatu sikap yang umum terhadap kehidupan. Penyair menjawab dengan cara tidak sistematis permasalahan yang juga merupakan tema-tema filosofis, tetapi cara menjawabnya bersifat puitis dan berbeda pada setiap situasi dan zaman.
Unger juga meneliti sikap dan pemikiran yang tidak diformulasikan dengan terlalu nyata dan jelas, sehingga bahaya perlakuan karya sastra sebagai pernyataan dan formula dapat diminimalisir.


7.        Abbe Bremond
Tokoh dari Prancis yang menggunakan karya sastra sebagai bahan dalam bukunya.
8.        Mongland dan Trahard
Di Prancis, mereka berdua membuat sebuah penelitian yang menarik tentang sentimentalisme, perasaan Pra-Romantik, serta cara berpikir yang unik pada karya-karya penulis Revolusioner Prancis.
9.        Dilthey
Dilthey membedakan pemikiran dan pengalaman dalam menyusun sejarah sastra yang dilihat dari tiga tipe, yakni:
a.    Positivisme
Positivisme menerangkan hal-hal yang bersifat spiritual dengan mengacu pada dunia fisik. Tokoh pemikir yang menganut paham ini yakni Democritus, Luctetius, Hobbes, dan lain-lain.
b.    Idealisme Objektif
Idealisme objektif melihat kenyataan di luar konflik antara nilai dan keberadaan. Tokoh pemikir yang menganut paham ini yakni Heraclitus, Spinota, Leibniz, dan lain-lain.
c.    Idealisme dualistik/ Idealisme kebebasan
Idealisme dualistik atau idealisme kebebasan menekankan kebebasan jiwa di alam. Tokoh pemikir yang menganut paham ini yakni Plato, Kant, Fichte, dan lain-lain.
Berdasarkan tipe tersebut, maka pengarang diklasifikasi menjadi tiga tipe yang disimpulkan dari karya seni yang paling sedikit menunjukkan pemikiran dan juga dikaitkan dengan sikap psikologis.
10.    Herman Nohl
Herman Nohl membuktikan bahwa tiga tipe yang dikemukakan Dilthey juga terdapat pada lukisan dan musik. Nohl bersama Unger juga membuktikan bahwa Weltanschavung dapat diungkapkan dari gaya penulisan atau peristiwa dalam novel yang tidak secara langsung mengandung pemikiran ilmiah.
Hubungan antara sastra dan pemikiran banyak yang mengacu pada pandangan Lovejoy mengenai ‘Sejarah Pemikiran’. Hal ini dikarenakan sejarah pemikiran secara tidak langsug membantu pemahaman sastra. Mengapa? Hal ini dikarenakan manfaat pengetahuan sejarah filsafat bagi pemahaman  karya sastra  sangat besar. Hal ini dapat dilihat bahwa sejarah sastra secara terus menerus berisi masalah-masalah sejarah pemikirannya. Misalnya, sastra Inggris dapat dipakai untuk menjelaskan sejarah filsafat. Seperti, Platonisme Renaisans sangat mempengaruhi puisi zaman Elisabeth dalam gaung skeptisisme dan atheisme Italia pada zamannya dalam karya-karya Marlowe.
Secara keseluruhan, teori-teori yang tersebut di atas didasarkan pada filsafat sejarah yang umum yang melihat hubungan erat dan penting antara filsafat dan seni, baik dalam diri masing-masing pengarang maupun dalam periode dan sejarah.
Lovejoy kemudian mengganti konsep dari ‘Sejarah Pemikiran’ menjadi ‘Geistegeschichte’ yang tidak terlalu menekankan keilmiahan karya sastra. Geistegeschichte adalah istilah luas yang meliputi permasalahan sejarah perasaan yang mengacu pada konsepsi  ‘jiwa yang objektif’. Konsep ini berkaitan erat dengan semua aktivitas budaya manusia dan membuat kesejajaran antara seni dengan pengetahuan.
Kesejajaran antara sastra dan pemikiran diciptakan oleh karya sosial atau kurun waktu tertentu, atau oleh kesamaan pengaruh pada sastra dan filsafat. Permasalahan masuknya pemikiran dalam kesusastraan baru muncul jika pemikiran mulai diwujudkan dalam tekstur karya sastra dan menjadi bagian dari pemikiran dalam arti biasa menjadi simbol atau mitos. Filsafat dan pemikiran dalam konteks tertentu menambah nilai artistik karya sastra karena mendukung beberapa nilai artistik penting, seperti kompleksitas dan koherensi. Pemikiran yang teoritis juga dapat memperdalam jangkauan sastrawan. Dalam sejarah sastra, terkadang pemikiran menyala langsung dari wujud karya sastra. Tokoh dan adegan bukan saja mewakili, melainkan mewujudkan pemikiran. Pada saat itulah terjadi persatuan antara filsafat dan seni. Ada kalanya, karya sastra besar justru mengembangkan pandangan filosofis yang menentang aliran yang dominan, seperti yang disuarakan oleh filsuf Romantik par Excellence. Inilah yang menunjukkan bahwa sastra dan pemikiran memiliki hubungan, baik pemikiran terhadap sastra maupun sastra terhadap pemikiran.
Meskipun banyak gambaran atas hubungan antara sastra dan pemikiran, namun masih ada beberapa tokoh yang menentang bahwa pemikiran dan sastra memiliki hubungan yang cukup erat. Hal ini dapat dilihat dari pandangan salah seorang tokoh yang menentang hubungan sastra dan pemikiran yakni George Boas. Beliau berpendapat dalam ‘Philosophy dan Poetry’ yakni:
pemikiran dalam puisi biasanya basi, dan sering kali salah, dan tidak ada orang di atas enam belas tahun yang menganggap puisi bernilai karena isinya.’
Hubungan yang padu antara filsafat dan sastra terkadang diragukan karena hubungan ini sering hanya merupakan ilusi saja. Hubungan yang padu dibuktikan atas dasar penelitian tentang ideologi sastra, pernyataan tentang tujuan penulisan dan rencana-rencaa yang tidak langsung berkaitan dengan penciptaan karya sastra yang sebenarnya.
C.    Pengaruh Antara Sastra dan Pemikiran
1.      Pengaruh Pemikiran terhadap Sastra
Pemikiran memiliki pengaruh terhadap karya sastra. Pengaruh tersebut antara lain:
a.    Pemikiran atau pandangan terhadap suatu hal oleh sastrawan dalam hal ini ideologi yang dianut sastrawan, mempengaruhi isi dari karya sastra yang diciptakan. Sehingga lahirlah beberapa aliran sastra yakni realisme, naturalisme,neonaturalisme, ekspresionisme, impresionisme, determinisme, surelaisme, idealisme, simbolisme, romantisme, psikologisme, didaktisme, dan mistikisme.
b.    Pemikiran digunakan untuk menganalisis atau menafsirkan ataupun mengungkapkan isi dari karya sastra itu sendiri seperti melalui pendekatan hermeneutika, mimetik, obyektif, ekspresif, pragmatik, dan lain-lain.
c.    Pemikiran dapat menambah nilai artistik karya satra karena mendukung beberapa nilai artistik penting seperti kompleksitas dan koherensi karya sastra. Sehingga karya sastra yang agung yang memiliki mutu yang tinggi, umumnya memiliki kandungan filsafat yang mendalam.
d.   Pemikiran membantu mengungkapkan sejarah sastra itu sendiri. Hal ini dikarenakan antara sejarah pemikiran dan sejarah sastra memiliki kesejajaran.
2.      Pengaruh Sastra terhadap Pemikiran
a.    Sastra menjadi sarana untuk menyampaikan pikiran-pikiran, doktrin-doktrin dari seorang ahli.
b.    Sastra menjadi sarana untuk menanamkan pemikiran-pemikiran atau paham-paham kepada para penikmat sastra sehingga mempengaruhi cara berpikir atau pandangan ataupun ideologi mereka.
c.    Sastra dapat mengungkapkan atau menjelaskan sejarah filsafat. Dalam hal ini, sastra dapat memberikan gambaran ideologi atau paham yang dianut pada zaman tertentu.
D.    Hubungan Sastra dan Pemikiran dalam Sastra Indonesia
Hubungan sastra dan pemikiran dapat dilihat dalam sastra Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam cerita-cerita mitologis seperti Ramayana dan Mahabarata. Selain itu, puisi-puisi atau cerita simbolik yang diciptakan oleh para sufi seperti Nuruddin Ar-Raniri, Syamsuddin As-Samatrani, dan Syekh Siti Jenar (Syekh Lemah Abang) merupakan bentuk penyampaian dari ajaran tasawufnya yang termasuk ke dalam filsafat. Di dalam perkembangan sastra Indonesia akan ditemukan karya sastra yang mengandung pemikiran atau filsafat, baik yang lebih menitikberatkan filsafat ataupun menitikberatkan sastra maupun menitikberatkan kedua-duanya. Hal ini dapat dilihat dalam karya yang beraliran Mistikisme, seperti Syair Perahu karya Hamzah Fasuri dan Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah. Selain itu, novel-novel Danarto (Godlob), Budi Darma (Rafilus) atau Kuntowijoyo (Khotbah di atas Bukit), karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana dan Grotta Azzura yang menitikberatkan filasafat, karya sastra angkatan 45, ada juga puisi, seperti puisi karya Chairil Anwar.







III.  Penutup
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta yakni shastra, yang berarti ‘teks yang mengandung arti’ atau ‘pedoman’.  Sastra dapat dikatakan sebagai ‘tulisan yang indah’, atau dapat juga dikatakan sebagai ‘pembetuk budi pekerti’. Pemikiran menurut KBBI (Edisi ketiga), adalah proses, cara, perbuatan memikir: problem yang memerlukan pikiran dan pemecahan. Hal ini terkadang disangkut-pautkan dengan filsafat.
Sastra dan pemikiran memiliki keterkaitan yang cukup erat, karena tak dapat dipungkiri bahwa proses pembuatan sastra itu sendiri melibatkan pemikiran dari sastrawan. Pemikiran, dalam hal ini filsafat, secara tidak langsung dapat mempengaruhi sastra, begitupun sebaliknya, sastra secara tidak langsung dapat mempengaruhi pemikiran. Namun, terdapat pro dan kontra antara sastrawan yang satu dengan sastrawan yang lain mengenai pemikiran dalam sastra. Ada yang berpandangan bahwa filsafat terkandung dalam sastra, seperti A.O Lovejoy, Coleridge, E.Gilson , Fichte, Schelling, Hegel, Rozanov, Merezhkovsky, Shetov, Berdyae, Vyachslav Ivanov, Rudolf Unger, Abbe Bremond, Mongland, Trahard, Dilthey, dan Herman Nohl. Ada pula yang meragukan pernyataan tersebut, seperti George Boas. Pengaruh pemikiran terhadap sastra antara lain: pemikiran atau pandangan terhadap suatu hal oleh sastrawan dalam hal ini ideologi yang dianut sastrawan, mempengaruhi isi dari karya sastra yang diciptakan; untuk menganalisis atau menafsirkan ataupun mengungkapkan isi dari karya sastra itu sendiri; menambah nilai artistik karya satra; membantu mengungkapkan sejarah sastra itu sendiri. Sementara sastra terhadap pemikiran antara lain: sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran-pikiran, doktrin-doktrin dari seorang ahli; sarana untuk menanamkan pemikiran-pemikiran atau paham-paham kepada para penikmat sastra sehingga mempengaruhi cara berpikir atau pandangan ataupun ideologi mereka; mengungkapkan atau menjelaskan sejarah filsafat. Hubungan sastra dan pemikiran dapat dilihat dalam sastra Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam cerita-cerita mitologis seperti Ramayana dan Mahabarata. Selain itu, karya yang beraliran Misrikisme seperti Syair Perahu karya Hamzah Fasuri, karya sastra angkatan 45, puisi karya Chairil Anwar, karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2014. Aliran-Aliran Sastra. http://seri-bahasa-indonesia.blogspot.in/2014/02/aliran-aliran-sastra.html?m=1. Diakses pada 28 Maret 2015
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra (terj.). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (terj.). Jakarta: Gramedia
Wikipedia. 2012. Sastra. http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra. diakses pada 23 Maret 2015

Komentar

  1. Blog yang menarik, saya teringat apa yang dikatakan Albert Camus :" Saya lelaki Mediterranean, dengan badan sehat yang menyembah keindahan dan badan seperti orang Yunani kuno. Saya berada di antara kesengsaraan dan sinar matahari. Kesengsaraan menghentikan saya akan kepercayaan akan bahwa semua baik adanya di bawah matahari, dan akan sejarah; matahari mengajari saya bahwa sejarah bukanlah segalanya. "
    Saya mencoba menulis blog tentang Albert Camus, semoga anda juga suka: http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/08/wawancara-dengan-albert.html

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahasa Daerah Makassar

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia

Apresiasi Puisi Indonesia