Cerpen 2

Cerpen ini dibuat dalam rangka mengerjakan tugas sekolah. cerpen ini selesai dibuat pada 9 April 2013.



Pena dan Buku Antik


......
“Bu, saya pergi! Assalamu’alaikum!” teriakku sambil menutup pintu.
“Wa’alaikum salam!” jawab Ibu dari dalam.
Ku kayuh sepeda menuju sekolah seperti biasa. Sepanjang jalan tampak anak sebayaku juga menuju sekolah. Ada yang diantar oleh orangtua mereka, mengendarai sepeda motor mereka sendiri, berjalan kaki, dan mengendarai sepeda sepertiku. Tak lama aku memasuki gerbang sekolah, aku memarkir sepeda di parkiran sepeda. Tampak Vivi sedang menungguku memarkir sepeda. Aku tersenyum, Vivi membalasnya, kami pun menuju kelas bersama-sama.
Aku dan Vivi hampir terlambat, kami tiba di kelas satu menit sebelum bel masuk. Aku menyimpan tasku di kursi dan mengeluarkan buku pelajaran. Di tengah pelajaran berlangsung, aku memasukkan kotak pensilku ke laci mejaku. Tak sengaja aku memegang sebuah kotak kecil bersampul biru muda. Aku hanya membiarkan kotak kecil itu, kemudian melanjutkan belajar dan menyimak guru yang sedang menerangkan materi.
Bel berbunyi, waktu istirahat. Aku teringat akan kotak kecil itu. Di sampingku tampak Vivi yang memerhatikanku mengeluarkan kotak kecil itu.
“Apa itu?” tanya Vivi penasaran
“Nggak tau. Ini ada di laci mejaku” jawabku
“Buka dong! Aku mau tau isinya apa!” perintah Vivi
“Ini bukan punyaku!” kataku
“Itu pasti untuk kamu, buktinya ada di laci mejamu” kata Vivi
“Tapi belum tentu ini untuk aku” jawabku
“Aku yakin itu untuk kamu, ayo buka! Kalau nggak, aku yang buka!” desak Vivi
“Iya,iya aku buka. Tapi kalau bukan untuk aku, kamu yang nanggung ya!” jawabku, Vivi mengangguk.
Aku membuka kotak kecil itu, tampak sebuah pena antik, dan ada secarik kertas kecil di bawahnya.
 Untuk seorang penulis remaja, Afar.
Aku melihat Vivi, ia tersenyum mengangguk, mengisyaratkan apa yang ia katakan benar. Aku melanjutkan membaca pada kalimat berikutnya.
Setiap hal diciptakan sepasang. Entah itu manusia, hewan, tumbuhan, bahkan barang. Mereka saling melengkapi satu sama lain
Aku berbalik kepada Vivi,
“Jangan-jangan...” kata kami serempak
Aku langsung melihat kembali laciku, tampak kotak berukuran sedang bersampul biru tua berada agak ke dalam laci. Aku membukanya, tampak sebuah buku tebal aneh yang belum ada coretan tinta sama sekali. Dan secarik kertas juga ada di bawahnya.
Gunakan imajinasimu. Ciptakan hal yang berbeda. Berikan yang terbaik.
Kami sejenak terdiam. Tak lama Vivi angkat bicara “Kamu pasti punya pengagum rahasia, ia memberikanmu sebuah pena antik dan bukunya”,
“Siapa?” lanjut Vivi
 “Tapi apa maksud kata terakhirnya “Gunakan imajinasimu, ciptakan hal yang berbeda, berikan yang terbaik?” lanjut Vivi lagi
Aku tak mengucapkan satu kata apapun. Aku berpikir keras “Siapa yang memberi itu? Apa tujuannya?”. Aku kembali berpikir keras, aku melihat dua pucuk kertas itu berulang-ulang, membaca kalimatnya dan selalu bertanya “Siapa dan untuk apa?”
Bel berbunyi, teman sekelasku masuk, segera ku simpan kedua kotak itu ke tas.
“Kita lanjutin nanti aja, aku nggak mau anak-anak tau” kataku
“Iya” jawab Vivi.
Kami tak pernah menyinggung lagi kotak itu selama pelajaran berlangsung hingga sepulang sekolah.
@@@
Aku membuka dua kotak itu, sekali lagi ku baca dua pucuk kertas itu dengan teliti. Lama berpikir, aku akhirnya tahu apa tujuan dari pena dan buku itu. Si Pengirim menginginkan aku untuk berkarya dalam bentuk tulisan dengan pena dan buku yang ia berikan, kerena tertera dari kalimatnya “Untuk seorang penulis remaja” dan “Gunakan imajinasimu, ciptakan hal yang berbeda, berikan yang terbaik”. Tetap saja, aku tak bisa mengetahui siapa yang memberikannya untukku, mungkin dengan berjalannya waktu aku akan tahu siapa Si Pengirim. Aku segera menghubungi Vivi dan memberitahunya. Setelah itu, aku pun pergi ke dunia mimpi sejenak melepas lelah.
Aku terbangun, entah mengapa aku menjadi bersemangat. Otakku terasa penuh dengan imajinasi, aku ingin mengeluarkan semua yang ada di benakku. Aku teringat akan pena dan buku yang ku dapat. Segera ku tulis apa yang ada di benakku dengan pena antik itu, dan kini aku menoreh sebuah tulisan pada buku unik itu. Imajinasi ku bertambah seiring ku torehkan tulisan pada buku itu. Dan lahirlah sebuah tokoh, konflik dan penyelesaiannya. Dan kini menjadi sebuah karangan indah. Tanpa ku sadari aku telah menyelesaikan sebuah tulisan dalam semalam. Tentu saja aku menjadi lelah dan mataku tak mampu untuk bertahan lebih lama lagi. Ku raih sebuah jam, tampak pukul 03.00, ku atur jam itu agar ia dapat membangunkanku tepat waktu, agar aku tak terlambat ke sekolah. Setelah itu ku rebahkan tubuhku, mataku terasa berat, aku pun memejamkan mataku. Dalam hitungan detik aku pun hanyut dalam dunia mimpi.
@@@
Tubuhku terasa basah, keringat mengalir di punggungku, aku masuk ke kelas dengan wajah yang lesuh. Aku ketinggalan satu jam pelajaran, sedikit keberuntungan menghampiriku, aku tidak mendapatkan amarah pada guru kimiaku. Vivi yang cemas menungguku menarik nafas lega saat aku masuk kelas. Ia menyimpan banyak pertanyaan untukku saat jam istirahat nanti, ia hanya membiarkan aku menghilangkan rasa lelah dan berkonsentrasi pada pelajaran.
Jam ketiga dan keempat berlalu, kini teman sekelasku bertebaran dimana-mana, aku hanya menghabiskan waktu istirhat di kelas dengan menyantap sarapan yang tak sempat ku makan di rumah.
“Kamu tidur jam brapa sih? Masih untung cuma lari lapangan, kalau lari keliling sekolah gimana? Untung juga Pak Hendra nggak nyuruh kamu scotjump di kelas!” omel Vivi.
Aku memaklumi Vivi, karena tak seperti biasanya aku terlambat, biasanya aku hanya terlambat paling lama lima menit. Dan aku tahu betapa khawatirnya ia, karena hukuman bagi siswa yang terlambat tak main-main beratnya. Vivi mengulangi pertanyaannya, aku dengan makanan yang masih ada di mulut menjawab pertanyaan Vivi
“Jam 3” kataku
“Jam 3? Kamu ngapain tidur jam segitu, nggak ada ulangan, nggak ada pr, tidur jam 3. Kamu ngeronda?” kata Vivi
“Nggaklah, itu gara-gara pena sama buku yang kemaren, aku jadi punya banyak imajinasi. Jadi dari pada mubazir, mending ku tulis kan?” kataku
“Tapi nggak gitu juga Far! Kan bisa di lanjutin hari ini?” kata Vivi
“Maunya sih gitu, tapi nggak tau ni, biasanya aku nggak terlalu semangat kalau masalah nulis, biasanya ide itu muncul kalau lagi di desak, tapi ini nggak?” jawabku.
“Mungkin pengaruh bukunya kali?” kata Vivi sambil tertawa mengejek
“Kamu kira obat? Ada efek sampingnya!” kataku agak kesal
Vivi tertawa lepas. Setelah makanan ku habis, buku unik itu ku berikan kepada Vivi untuk dibaca. Vivi menerima dan tampak serius membacanya. Sambil menunggu, aku menyalin catatan Vivi pada saat jam pertama yang tertinggal.
“Bagus Far! Nggak nyangka aku, tulisanmu bagusan yang ini dari yang kemaren-kemaren, lebih bermutu” komentar Vivi setelah membaca tulisanku.
Aku tersenyum, aku memang merasakan perubahan pada tulisanku dengan sebelumnya. Aku tak tahu apa yang menyebabkannya, perasaanku mengatakan pena dan buku itu memiliki kekuatan yang bisa memacuku untuk lebih giat lagi menulis.
@@@
Sejak aku mendapatkan pena antik dan bukunya itu, aku tekun membuat karangan. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh, konflik-konflik beserta penyelesaiannya yang lebih banyak dan bervariasi. Aku menulis semua karanganku di buku unik itu dengan mengunakan pena antik itu. Setiap karangan ku pisahkan dengan satu atau dua halaman. Aku merasakan perubahan yang ada pada diriku, ketekunan dan semangat mengalir dalam diriku untuk terus menulis. Dan itu membuatku yakin, pena antik dan bukunya memiliki kekuatan alami yang membuat Si Pengguna tekun untuk menulis. Aku bahkan membawa buku dan pena antik itu kemanapun aku pergi, dan tentunya aku mendapatkan ide-ide untuk membuat sebuah karangan.
Seiring dengan berlalunya waktu, aku pun menghasilkan banyak karangan. Tentu setiap hal yang kita gunakan memiliki batasan waktu untuk digunakan. Dan itu berlaku juga untuk pena dan buku antik itu. Semakin banyak karangan yang ku hasilkan semakin berkurang kertas kosong dari buku unik itu, dan semakin berkurang tinta pena antik yang ku gunakan.
@@@
Aku mendapatkan ide lagi, segera ku buka buku unik itu dan ku ambil pena antik itu. Saat aku menuangkan ideku pada kertas buku itu, tak ada tinta yang keluar. Awalnya, aku berpikir pena itu macet, sehingga tintanya tak dapat keluar. Tapi, setelah ku ulang berkali-kali, pena antik itu tak dapat mengeluarkan tinta lagi. Aku langsung berpikir bahwa tintanya habis.
“Gimana ini? Aku nggak bisa nulis kalau nggak pake pena ini. Tapi tintanya habis.” kataku cemas.
Aku menghubungi Vivi. Vivi langsung ke rumahku untuk menemuiku.
“Gimana Vi? Tintanya habis, aku nggak bisa nulis kalau tintanya habis” kataku
“Pake yang lain aja! Kamu kan punya pena, atau bolpoint juga bisa” kata Vivi.
“Beda Vi! Buku ini nggak bisa, bukan, nggak boleh pake pena lain apalagi bolpoint, harus pena antik ini” kataku
“Tapi kan tintanya habis, Far! Memangnya ada peraturannya harus pake pena itu, nggak boleh yang lain?” kata Vivi
“Nggak ada sih, tapi beda aja awalnya pake pene antik ini, terus terakhirnya pake pena yang lain. Kamu tau pena sama buku ini itu berhubungan. Mereka punya kekuatan, nah itu yang buat aku rajin nulis sama bisa buat tulisan yang bagus” jawabku.
“Afar, rajin atau nggaknya kamu, bagus atau nggaknya tulisan kamu, itu bukan dari pena sama buku itu, itu dari diri kamu sendiri” jelas Vivi
“Nggak Vi, aku ngerasain sendiri kekuatan pena sama buku itu, aku ngerasain perubahannya” kataku
“Ya udah deh, kalau kamu percaya” pasrah Vivi
 “Nah gitu dong! Vi, bantuin aku ya nyari pena yang sama.” pintaku
“Sekarang?” tanya Vivi
“Iya, aku nggak bisa nulis tanpa pena ini” kataku
“Ya udah, kita ke toko buku atau perlengkapan nulis, kita cari pena yang sama” kata Vivi. Kami pun berangkat.
Kami sudah mengelilingi kota, dan mendatangi semua toko buku dan toko perlengkapan menulis. Tapi tak ada pena yang sama yang di jual. Aku dan Vivi sudah lelah, kami beristirahat sejenak. Saat melepas lelah, aku teringat, bahwa pena itu pena antik, jadi aku harus mencarinya di toko barang antik. Kami pun pergi ke toko barang antik. Toko barang antik hanya ada dua. Toko yang pertama tak ada yang menjual barang antik untuk alat tulis, kami pun pergi ke toko terakhir. Di toko terakhir, ada banyak sekali barang antik, jauh lebih banyak dari toko sebelumnya. Kami pun berharap bahwa pena yang sama terjual di toko ini. Sayangnya hanya sebuah harapan, toko ini tak menjual pena tersebut.
“Maaf dik, pena seperti ini langka dik, mungkin cuma ada beberapa saja, itupun tanpa tinta dik. Memang adik ini dapat dimana?” kata penjual
“Ini pemberian kak” kataku agak kecewa
“Wah, adik ini pasti penulis hebat, soalnya diberi pena antik seperti itu” kata penjual, kami hanya tersenyum,
“Saya nggak bisa nulis kalau bukan pena itu kak, pasti hasilnya kurang bagus” kataku
“Adik, penulis yang hebat bukan karena alat yang digunakan, tapi dari diri penulis itu sendiri” jelas penjual
“Nah kan Far! Kata-kataku betul!” tambah Vivi
“Ya sudah kak, terima kasih ya kak! Kami pamit!” kata Vivi
“Iya, sama-sama dik” kata penjual
Kami pun pulang, Vivi mengantarku ke rumah, dan ia pun pulang.
@@@
Aku kembali membuka buku unik itu, masih ada setengah buku yang belum ditorehkan tinta. Aku membuka-buka tulisan-tulisan yang telah ku buat sendiri. Aku kembali mengingat saat aku menemukan buku dan pena itu dan saat aku menulis di buku itu. Kini aku berpikr tak akan menulis lagi di buku itu, tulisanku takkan sebagus tulisan kemarin.
Aku mengingat kata-kata Vivi dan kakak penjual barang antik itu. Jika aku ingin menjadi penulis hebat, tak seharusnya aku seperti ini. Kehabisan tinta pena antik tak seharusnya membuatku berhenti berkarya. Kini aku memutuskan untuk menulis lagi di buku unik itu tanpa menggunakan pena antik itu.
Saat aku meletakkan kembali buku unik itu ke meja. Secarik kertas terjatuh dari buku itu. Aku membaca tulisan yang ada pada kertas itu.
Afar,buku dan pena antik ini untukmu. Aku memberinya berkat kegigihanmu dalam menulis. Aku berharap dengan buku dan pena antik ini, kamu menjadi lebih semangat dan mendapatkan ide yang lebih banyak lagi. Tapi, jika pena dan buku ini tak mampu lagi menuliskan ide-idemu, aku berharap, kamu takkan berhenti berkarya. Buku dan pena antik ini hanya penyemangat dan pendukung untuk karya-karyamu.
                                             Aan
Setelah membacanya, kini aku sadar kekuatan dan perubahan yang ku alami bukan dari buku dan pena ini melainkan dukungan dan harapan, dan juga dari diriku sendiri. Dan aku kini mengerti, penulis hebat tak kan berhenti berkarya hanya karena batu kerikil kecil yang tajam. Dan kini aku sadar hal apapun takkan membuatku patah semangat untuk terus berkarya. Akan ku hasilkan karya-karya terbaik.
@@@
Aku menceritakan semua kepada Vivi di sekolah. Setelah itu kuhampiri Aan, aku mengucapkan rasa terima kasihku pada Aan, teman sekelasku yang telah memberiku sebuah hadiah yang berharga bagiku. Ia memberitahu alasan mengaa ia memberikanku pena dan buku antik itu dan alasan mengapa ia tak memberi langsung kepadaku. Kini, aku, Vivi dan Aan menjadi teman baik. Vivi teman terbaikku yang selalu mendampingiku dan menasehatiku. Dan Aan teman baikku sekaligus penggemar karyaku. Aku memetik pelajaran dari peristiwa ini dan juga aku mendapatkan teman baru dan penggemar karyaku yang pertama. Aku pun menanamkan semangat dan kegigihan pada diriku sendiri untuk terus berkarya, dan memberikan yang terbaik. Bukan hanya untuk diriku, tetapi juga orang lain.

---------------------------------------TAMAT--------------------------------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahasa Daerah Makassar

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia

Apresiasi Puisi Indonesia