Sosiolinguistik


Bahasa dan Komunikasi
Oleh Shafariana, dkk

BAB I
PENDAHULUAN
A.       LATAR BELAKANG
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang digunakan manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain. Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi tidak lepas dari komunikasi. Komunikasi merupakan suatu bentuk interaksi yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan kepada orang lain melalui suatu media. Oleh karena itu, hubungan antara bahasa dengan komunikasi sangat erat. Hal ini dikarenakan bahasa memiliki fungsi utama yakni untuk berkomunikasi.
Sosiolinguistik sebagai ilmu yang mengkaji bahasa dalam kehidupan masyarakat, perlu memahami beberapa komponen penting sebelum menelusuri lebih jauh tentang bahasa dalam masyarakat. Salah satu dari komponen tersebut yakni bahasa dan komunikasi, yang memiliki hubungan yang sangat erat. Bahasa merupakan media dalam berkomunikasi, dan setiap komunikasi dilakukan dengan bahasa. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk membahas bahasa dan komunikasi dalam makalah ini.

B.       RUMUSAN MASALAH
Setiap hal memiliki sesuatu yang menjadi permasalahan. Adapun permasalahan dalam makalah ini dirumuskan sebagai berikut.
1.      Bagaimana hakikat bahasa?
2.      Bagaimana keistimewaan bahasa manusia?
3.      Bagaimana hakikat komunikasi?
4.      Apa saja jenis perbuatan?
5.      Apa itu perbuatan komunikatif dan perbuatan nonkomunikatif?
6.      Bagaimana komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal?
7.      Apa itu komunikasi bahasa?

C.       TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah yang dibuat, maka dapat kita tentukan tujuan dari makalah ini yakni diharapkan mengetahui hal-hal berikut.
1.      Hakikat bahasa.
2.      Keistimewaan bahasa manusia.
3.      Hakikat komunikasi.
4.      Berbagai jenis perbuatan.
5.      Perbuatan komunikatif dan perbuatan nonkomunikatif.
6.      Komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
7.      Komunikasi bahasa.
D.       MANFAAT
Manfaat makalah ini pada umumnya menambah wawasan seputar bahasa dan komunikasi yang mengantarkan pada sosiolinguistik itu sendiri. Adapun manfaat dari makalah ini sebagai berikut.
1.      Mampu menggunnakan bahasa yang tepat sesuai dengan konteks dalam berkomunikasi.
2.      Menumbuhkan rasa bangga dalam berbahasa.
3.      Mampu menerapkan penggunaan berbagai jenis perbuatan dalam kehidupan.








BAB II                                                                             PEMBAHASAN
A.  HAKIKAT BAHASA
Hakikat bahasa dapat dilihat dari ciri-ciri bahasa itu sendiri. Ciri-ciri bahasa yang merupakan hakikat bahasa yakni sistem, arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
1.    Sistem
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi. Bahasa dikatakan sebagai sistem berarti bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Hal ini dapat dilihat pada sistem bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki pola yang tetap dan dikaidahkan. Pola kalimat bahasa Indonesia sebagai berikut.
S          +          P          +          (O)       +          (K)
‘Vio memasak sayur lodeh di dapur umum’ merupakan kalimat bahasa Indonesia karena sesuai dengan kaidah pola bahasa Indonesia. Namun, ‘Memasak Vio sayur lodeh di dapur umum’ bukan merupakan kalimat bahasa Indonesia karena tidak sesuai dengan kaidah pola bahasa Indonesia.
Bahasa sebagai sistem, memiliki sifat sistematis dan sistemis. Sistematis berarti bahasa tersusun teratur sesuai dengan pola yang berlaku, tidak tersusun secara acak atau sembarangan. Misalnya:
a.    Teratur sesuai dengan pola yang berlaku
Wahyu mengaji di Masjid Al-Huda.
     S           P                     K
(Sesuai dengan kaidah atau pola yang berlaku)
b.    Tersusun secara acak atau sembarangan
Mengaji Wahyu di Masjid Al-Huda.
     P            S                   K
(Tidak sesuai dengan kaidah atau pola yang berlaku)
Adapun sistemis berarti bahasa bukan sistem tunggal melainkan terdiri atas beberapa sub sistem, yakni fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan semantik.
Bahasa sebagai sistem dalam hal ini berupa lambang bunyi. Lambang bunyi ini disebut bunyi ujar atau bunyi bahasa. Lambang bunyi tersebut melambangkan suatu konsep atau makna. Misalnya, lambang bunyi [pensil] yang melambangkan konsep ‘alat tulis berupa katu kecil bulat yang berisi arang keras’.
2.    Arbitrer
Bahasa sebagai sistem lambang bunyi bersifat arbitrer. Bahasa bersifat arbitrer berarti bahasa sebagai sistem lambang bunyi, memiliki hubungan antara hal yang melambangkan dan yang dilambangkan tidak bersifat wajib, bisa berubah, tidak dapat diketahui alasan lambang bunyi digunakan untuk mewakili suatu konsep. Misalnya, lambang bunyi [pensil] dalam bahasa Indonesia yang melambangkan ‘alat tulis berupa kayu kecil bulat berisi arang keras’, tidak dapat dijelasakan alasan lambang tersebut melambangkan konsep tersebut. Lambang bunyi [pensil] tidak bersifat wajib dalam melambangkan konsep ‘alat tulis berupa kayu kecil bulat yang berisi arang keras’. Hal ini disebabkan bahwa terdapat lambang bunyi [potolo] dalam bahasa Bugis, [pencil] dalam bahasa Inggris, dan sebagainya yang melambangkan konsep ‘alat tulis berupa kayu kecil bulat yang berisi arang keras’.
3.    Konvensional
Meskipun bahasa bersifat arbitrer, bahasa juga bersifat konvensional. Bahasa bersifat konvensional berarti masyarakat tutur mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Misalnya, masyarakat bahasa Indonesia akan mematuhi dan hanya menggunakan lambang bunyi [pensil] untuk konsep ‘alat tulis berupa kayu kecil bulat yang berisi arang keras’, tidak menggunakan lambang bunyi yang lain.

4.    Produktif
Bahasa bersifat produktif berarti bahasa yang memiliki unsur yang terbatas dapat diubah menjadi satuan-satuan bahasa yang hampir tak terbatas. Hal ini dapat dilihat dari jumlah huruf bahasa Indonesia yakni 26 huruf, dapat dibentuk lebih kurang 78.000 kata, dan masing-masing kata dapat membentuk berbagai macam kalimat. Misalnya, kata ‘pensil’ dapat membentuk beberapa kalimat sebagai berikut.
a.    Pensil adik berwarna biru.
b.    Ambil pensil itu!
c.    Pensil itu bukan milik saya.
d.   Dimana kamu membeli pensil warna itu?
e.    Dsb.
5.    Dinamis
Bahasa bersifat dinamis berarti bahasa dapat berubah-ubah sewaktu-waktu mengikuti perkembangan zaman. Perubahan bahasa dapat terjadi secara sinkronis maupun diakronis. Perubahan bahasa pun dapat terjadi pada setiap tataran baik fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon. Misalnya, pada tataran fonologi, bahasa Indonesia dalam perkembangannya menyerap fonem-fonem bahasa asing seperti fonem /v/, /z/, /x/, /q/, dsb. Pada tataran morfologi, kaidah morfofonemik dalam bahasa Indonesia apabila morfem {me-} bertemu dengan fonem /p/ pada kata ‘paksa’ maka akan terjadi peluluhan fonem /p/ menjadi /m/ sehingga terbentuk kata ‘memaksa’. Namun, pada perkembangan bahasa Indonesia fonem /p/ pada ‘produksi’ jika bertemu dengan morfem {me-} tidak akan luluh sehingga terbentuk kata ‘memproduksi’. Adapun pada tataran sintaksis, dapat dilihat pada pola struktur kalimat. Misalnya, struktur kalimat awalnya selalu mengikuti urutan S-P-O-K, tetapi sekarang pola struktur kalimat tersebut dapat berubah urutannya yakni K-S-P-O, S-K-P-O, dsb. Sementara pada tataran semantik, bahasa Indonesia mengalami perubahan makna seperti generalisasi yang terjadi pada kata ‘ibu’. Awalnya kata ‘ibu’ hanya bermakna ‘orang tua perempuan yang memiliki pertalian darah’ kini bermakna ‘semua orang tua perempuan’. Hal ini juga berlaku pada tataran leksikon, yakni kosa kata bahasa Indonesia dalam perkembangannya mengalami penambahan melalui proses penyerapan dari bahasa asing ataupun bahasa daerah, seperti kata ‘survei’.
6.    Beragam
Bahasa bersifat beragam berarti bahasa yang memiliki kaidah ataupun pola tertentu memiliki berbagai ragam pemakaian ataupun variasi. Misalnya, bahasa Indonesia memiliki beberapa ragam seperti ragam beku yang digunakan pada UUD 1945, ragam resmi yang digunakan pada situasi formal, ragam usaha yang digunakan dalam situasi di sekolah; kantor; perusahaan, ragam santai yang digunakan dalam percakapan sehari-hari dengan teman ataupun masyarakat sekitar, ragam akrab yang digunakan dalam percakapan dengan keluarga, dsb.
7.    Manusiawi
Bahasa bersifat manusiawi berarti bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi hanya digunakan oleh manusia sementara hewan tidak memiliki bahasa. Hewan hanya memiliki alat untuk berkomunikasi berupa bunyi ataupun gerak isyarat yang tidak bersifat produktif dan tidak dinamis sehingga tidak dapat dikategorikan bahasa. Selain itu, bunyi-bunyi yang dimiliki hewan dikuasai secara instingtif atau secara naluriah, sementara bunyi-bunyi bahasa pada manusia walaupun juga diperoleh secara alami tetapi memerlukan proses belajar untuk menguasai bahasa itu sendiri. Misalnya,  ayam sejak menetas dari telurnya akan mengeluarkan bunyi yang hampir sama hingga ayam tersebut tumbuh menjadi besar. Adapun manusia, saat dilahirkan mengeluarkan bunyi-bunyi dan berkembang menjadi bunyi-bunyi bahasa seutuhnya dari proses meniru dan belajar keterampilan berbahasa serta penguasaan bahasa secara menyeluruh bahkan mempelajari bahasa yang berada diluar dari bahasa ibu.



B.   KEISTIMEWAAN BAHASA MANUSIA
Bahasa manusia memiliki keistimewaan dibandingkan dengan bahasa hewan yang digunakan untuk berkomunikasi. Ada enam belas keistimewaan bahasa manusia yang disarikan Hockett dan MC Neil sebagai berikut.
1.    Bahasa menggunakan jalur vokal auditif. Banyak hewan memiliki sistem komunikasi yang dapat didengar tetapi hanya beberapa yang memiliki bunyi vokal. Namun, sistem komunikasi yang dimiliki hewan tidak memiliki 15 ciri lainnya yang dimiliki manusia. Hal ini dapat bahwa manusia memiliki alat-alat ucap produksi bahasa yang tidak dimiliki hewan seperti pita suara, krikoid, tiroid, aritenoid, dan epiglotis.
2.    Bahasa dapat tersiar ke segala arah, tetapi penerimaannya terarah. Bahasa yang diucapkan dapat didengar di semua arah karena bunyi-bunyi bahasa merambat melalui udara, tetapi penerima atau pendengar dapat mengetahui dengan tepat dari mana arah bunyi bahasa itu berasal. Misalnya, pada peristiwa festival budaya terjadi pencurian barang yang dialami oleh salah satu pengunjung, si A. Si A secara spontan berteriak “Copet!” saat menyadari tasnya diambil seseorang, maka seluruh pengunjung yang hadir  di tempat itu akan menoleh karena mendengar bunyi-bunyi bahasa yang dilontarkan dan secara spontan pengunjung yang mendengar akan menoleh pada sumber suara yakni si A.
3.    Lambang bahasa yang berupa bunyi cepat hilang setelah diucapkan. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa berikut.
Wahyu berbicara kepada Adit, tetapi Adit tidak memerhatikan ucapan Wahyu. Ketika Adit meminta penjelasan ulang, Wahyu tak dapat mengulang kembali perkataannya atau jika ia mampu mengulangnya maka ujaran yang dilontarkan tidak sama dengan apa yang ia lontarkan sebelumnya.
Hal inilah yang menjadi kekurangan bahasa, sehingga bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan manusia dilestarikan dalam bentuk tulisan ataupun berupa rekaman melalui peralatan elektronik.
4.    Partisipan dalam berkomunikasi bahasa dapat saling berkomunikasi. Seseorang dapat menjadi pemberi pesan sekaligus penerima pesan dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Hal ini dapat dilihat pada percakapan berikut.
Clara : Kemarin, Pak Heru ada ngasih tugas?
Viona  : Ada, tugasnya halaman 27. Tapi, kenapa kamu nggak masuk kelas?
Clara : Aku dipanggil Bu Ida. Yah, ada masalah kecil.
Berdasarkan percakapan tersebut, awalnya Clara sebagai penerima pesan dan Viona sebagai pemberi pesan. Kemudian, situasi berubah, Clasra sebagai pemberi pesan dan Viona sebagai penerima pesan.
5.    Lambang bahasa dapat menjadi umpan balik yang lengkap. Penutur dapat mendengar lambang bunyi bahasa yang diucapkan. Misalnya, Vino berkata pada Dodi, “Besok, latihan basket”. Pada saat mengucapkan perkataan tersebut, Vino dapat mendengar ucapannya sendiri sama persis dengan apa yang diucapkannya baik kata maupun intonasi yang digunakan.
6.    Komunikasi bahasa mempunyai spesialisasi. Manusia dapat berbicara tanpa harus mengeluarkan gerakan-gerakan fisik yang mendukung proses komunikasi itu. Manusia dapat berbicara sambil mengerjakan pekerjaan lain yang tidak berhubungan dengan topik pembicaraan. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa berikut.
Ibu sedang mencampur adonan kue dengan mixer di dapur. Tiba-tiba Ibu sadar bahwa ada bahan yang harus dicampur tetapi tidak terdapat di meja yang sedang Ibu gunakan. Ibu pun berteriak pada Kakak, “Kak, tolong ambilkan dulu vanili di lemari” sambi tetap mencampur adonan lain dengan mixer.
7.    Lambang-lambag bunyi dalam komunikasi bahasa memiliki makna atau memiliki rujukan atau referen pada hal-hal tertentu baik yang memiliki wujud ataupun tidak memiliki wujud. Misalnya, lambang bunyi yang referennya berwujud seperti kata ‘kuda’ memiliki acuan, rujukan, atau referensi yakni ‘binatang berkaki empat yang ditunggangi dan biasa dikendarai’. Adapun lambang bunyi yang referennya tidak berwujud seperti kata ‘lari’ yang memiliki referen yakni ‘melangkah dengan kecepatan tinggi’.
8.    Hubungan antara lambang bahasa dengan maknanya tidak ditentukan oleh adanya suatu ikatan antara keduanya, tetapi ditentukan oleh suatu persetujuan atau konvensi di antara penutur suatu bahasa. Jadi, bahasa bersifat arbitrer atau semaunya dan konvensional. Misalnya, lambang bunyi [pensil] dalam bahasa Indonesia yang melambangkan ‘alat tulis berupa kayu kecil bulat berisi arang keras’, tidak dapat dijelasakan alasan lambang tersebut melambangkan konsep tersebut dan juga masyarakat mematuhi dan menggunakan lambang bunyi [pensil] untuk konsep ‘alat tulis berupa kayu kecil bulat berisi arang keras’.
9.    Bahasa dapat dipisahkan menjadi unit satuan-satuan, yakni kalimat, kata, morfem, dan fonem. Misalnya, seseorang mengujarkan:
“sayaakankerumahmuuntukbermalamsetelahtibadisanasetelahitusayalanjutkanperjalanankerumahadikku.”.
Maka ujaran itu dapat dipisah menjadi:
a.    kalimat, ‘Saya akan ke rumahmu untuk bermalam setelah tiba di sana’ dan ‘Setelah itu, saya lanjutkan perjalanan ke rumah adikku.’;
b.    kata, ‘saya,akan,ke,rumahmu,untuk,bermalam,setelah,tiba,di,sana, dsb’.
c.    morfem, ‘[saya], [akan], [ke], [rumah], [-mu], [untuk], [ber-], [malam], [setelah], [tiba], [di], [sana], dsb’
d.   fonem, ‘/s/, /a/, /y/, /k/, /e/, /r/, /m/, /h/, /u/, /b/, /t/, /n/, dsb’
10.     Rujukan atau yang sedang dibicarakan dalam bahasa tidak harus selalu ada pada tempat dan waktu kini. Bahasa digunakan untuk sesuatu yang telah lalu, yang akan datang atau yang berada di tempat yang jauh, bahkan hanya ada dalam khayalan. Misalnya, seseorang guru sejarah mengatakan “Saat itu Mr. Muhamammad Yamin mengemukakan rumusan dasar negara Indoenesia”. Kalimat yang dilontarkan oleh guru sejarah memiliki rujukan atau referen pada peristiwa sidang BPUPKI yang pertama tanggal 29 Mei 1945, atau rujukan atau referennya telah lalu.
11.     Bahasa bersifat terbuka  berarti lambang-lambang ujaran baru dapat dibuat sesuai dengan keperluan manusia. Hal ini dapat dilihat pada proses penyerapan kata asing pada bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki kosa kata yang begitu banyak, lebih kurang 78.000 kosa kata, yang terdapat kata serapan seperti kata ‘produksi’ yang digunakan untuk menyatakan konsep ‘proses pembuatan atau mengeluarkan hasil’, ‘telepon’ yang digunakan untuk menyatakan ‘alat komunikasi yang menggunakan listrik dan kawat’ karena benda tersebut kini digunakan oleh masyarakat Indonesia, ‘televisi’ yang digunakan untuk menyatakan ‘alat yang menggunakan sistem penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi (suara)’, dsb.
12.     Kepandaian dan kemahiran untuk menguasai aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan berbahasa manusia diperoleh dari belajar, bukan merupakan gen-gen yang dibawa sejak lahir. Bunyi-bunyi bahasa pada manusia walaupun diperoleh secara alami tetapi memerlukan proses belajar untuk menguasai bahasa itu sendiri. Saat dilahirkan mengeluarkan bunyi-bunyi dan berkembang menjadi bunyi-bunyi bahasa seutuhnya dari proses meniru dan belajar keterampilan berbahasa serta penguasaan bahasa secara menyeluruh bahkan mempelajari bahasa yang berada diluar dari bahasa ibu. Misalnya, manusia dalam berbahasa secara lisan perlu belajar dengan cara menyimak dan meniru. Manusia dalam berbahasa secara tertulis juga perlu belajar dengan cara mengikuti pendidikan formal ataupun nonformal misalnya membaca, menulis cerita, menulis makalah, menulis essai, dsb.
13.     Bahasa dapat dipelajari. Seseorang dapat mempelajari bahasa lain yang tidak digunakan dalam lingkungannya. Misalnya, Maria yang lahir di Indonesia memiliki bahasa ibu bahasa Indonesia. Maria dapat menguasia bahasa Inggris dengan mempelajari bahasa Inggris yang dapat diperoleh dari pendidikan formal maupun informal.
14.     Bahasa dapat digunakan untuk menyatakan hal yang benar dan yang tidak benar atau yang tidak bermakna secara logika. Misalnya, Astri mengatakan “Bumi itu bulat”, maka Astri menggunakan bahasa untuk menyampaikan pernyataan yang benar sesuai dengan fakta dan logika. Maria mengatakan “Matahari mengelilingi bumi”, maka Maria menggunakan bahasa untuk meyampaikan pernyataan yang tidak benar, tidak sesuai dengan fakta.
15.     Bahasa memiliki dua subsistem, yakni subsistem bunyi dan subsistem makna, yang memungkinkan bahasa memiliki keekonomisan fungsi. Keekonomisan fungsi dapat terjadi karena bermacam-macam unit bunyi yang fungsional dapat dikelompokkan lagi ke dalam unit-unit yang berarti. Misalnya, fonem /a/, /i/, dan /k/  dapat dikelompokkan menjadi satuan kata yakni ‘aki’, ‘akik’, dan ‘kaki’. Kata ‘kaki’ dapat dikelompokkan lagi menjadi ‘kaki meja’, ‘kaki kursi’, ‘kaki ayah’, ‘mata kaki’, ‘jari kaki’, dsb.
16.     Bahasa digunakan untuk mempelajari atau membicarakan bahasa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada pelajar yang menggunakan bahasa Indonesia dalam mempelajari mata pelajaran bahasa Indonesia, begitu juga mahasiswa program studi bahasa dan sastra Indonesia yang mempelajari bahasa khususnya bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia.
C.  HAKIKAT KOMUNIKASI
Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi. Komunikasi adalah proses pertukaran informasi atau pesan melalui suatu media. Webster’s New Collegiate Dictionary dalam Muhammad Saleh dan Mahmudah (2005, 29) mengatakan bahwa “Communication is a process by which information is exchange between individuals through a common system of symbols, sign, or behaviour” yang bermakna ‘komunikasi adalah proses pertukaran informasi antarindividual melalui simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum’. Contoh komunikasi dapat dilihat pada percakapan berikut.
Dino       : Tir, kapan kelompokmu tampil?
Fatir       : Setengah jam lagi, kelompokmu kapan?
Dino       : Paling terakhir, lama kan?
Fatir       : Iya lama
Berdasarkan pengertian, batasan dan contoh komunikasi di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga komponen utama dalam komunikasi. Komponen tersebut sebagai berikut.
1.    Partisipan
Komponen pertama dalam komunikasi yakni partisipan atau pihak yang berkomunikasi. Komunikasi memerlukan paling sedikit dua orang atau dua kelompok yang menjadi pihak pengirim (sender) informasi dan pihak penerima (receiver) informasi.
Pihak yang berkomunikasi pada percakapan di atas yakni Dino dan Fatir yang kedua-duanya sebagai penerima (receiver) informasi dan pengirim (sender) informasi.
2.    Informasi
Komponen kedua yakni informasi yang disampaikan. Informasi yang disampaikan berupa ide, gagasan, keterangan, atau pesan.
Pada percakapan di atas, informasi yang disampaikan yakni kelompok Fatir setengah jam lagi akan menampilkan aksinya di panggung sementara penampilan kelompok Dino merupakan penampilan terakhir.
3.    Alat atau media
Komponen terakhir yakni alat atau media yang digunakan untuk berkomunikasi. Alat atau media itu dapat berupa simbol/lambang seperti bahasa, tanda-tanda (rambu-rambu lalu lintas, gambar, atau petunjuk), atau dapat juga berupa gerak-gerik anggota badan (kinesik).
Alat atau media komunikasi yang digunakan pada percakapan tersebut yakni lambang bunyi-bunyi bahasa.
Suatu peristiwa atau perbuatan tidak dapat dikatakan komunikasi walaupun memenuhi tiga komponen utama di atas, jika belum memenuhi syarat yakni dilakukan dengan sadar. Misalnya, percakapan antara Dino dan Fatir di atas dapat dikatakan komunikasi karena masing-masing pihak melakukan kegiatan tersebut secara sadar. Adapun peristiwa atau perbuatan yang tidak dapat dikatakan komunikasi dapat dilihat dari peristiwa berikut.
Ibu sedang memarahi Adik pada pukul dua siang. Ibu menyampaikan informasi berupa nasihat dan teguran. Namun, pada saat Ibu memarahi Adik, Adik dalam keadaan setengah tidur dalam posisi duduk tanpa sepengetahuan Ibu.
Berdasarkan peristiwa tersebut, semua komponen utama komunikasi terpenuhi. Partisipan yakni Ibu dan Adik, informasi berupa nasihat dan teguran, dan alat komunikasi berupa lambang bunyi-bunyi bahasa. Namun, peristiwa tersebut tidak dikatakan komunikasi karena Adik dalam keadaan tidak sadar atau setengah sadar sehingga informasi yang diberikan tidak diterima oleh si penerima (receiver) informasi. Adapun contoh lain dapat dilihat pada peristiwa berikut.
Ayah pulang dari bekerja. Saat itu Ayah mengetahui bahwa Ibu dan Adik tidak ada di rumah karena mengikuti pengajian. Namun, Ayah tidak tahu apakah Kakak ada di rumah atau tidak. Saat melewati kamar Kakak, Ayah mendengar suara igauan. Ayah pun tahu bahwa Kakak ada di rumah dan sedang tidur di kamarnya.
Peristiwa berikut tidak dapat dikatakan komunikasi walaupun komponen partisipan terpenuhi yakni Ayah dan Kakak, informasi terpenuhi yakni kakak ada di rumah, alat komunikasi terpenuhi berupa igauan. Namun, Kakak sebagai pengirim informasi tidak memiliki kesadaran saat informasi itu diberikan.
Komunikasi dapat dibedakan menjadi komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal berdasarkan alat atau media komunikasi.
1.    Komunikasi verbal
Komunikasi verbal disebut juga komunikasi bahasa. Komunikasi ini menggunakan lambang bunyi-bunyi bahasa sebagai alat atau media komunikasi. Lambang bunyi-bunyi bahasa yang digunakan berupa kode yang dimengerti atau dipahami oleh kedua pihak. Contoh komunikasi verbal yakni percakapan.
2.    Komunikasi nonverbal
Komunikasi ini menggunakan alat atau media bukan bahasa yakni berupa tanda-tanda seperti rambu-rambu, gambar, petunjuk; berupa bunyi alat; berupa cahaya seperti lampu, api; berupa bendera; dan termasuk komunikasi hewan. Contoh komunikasi nonverbal yakni komunikasi dengan menggunakan kode morse melalui bunyi peluit, kode semaphore melalui bendera, sandi rumput yang juga berkaitan dengan kode morse, gerakan isyarat polisi lalu lintas, tarian lebah dan sebagainya.
Proses komunikasi tidak selalu berjalan dengan lancar. Hal ini dikarenakan adanya ganguan atau hambatan. Hambatan yang ada bisa terdapat pada masing-masing komponen utama komunikasi ataupun dari luar komponen.
1.    Partisipan
a.    Ketidaksadaran, dapat dialami oleh setiap pihak. Misalnya, tertidur, setengah tidur, mabuk, ataupun gila.
b.    Sistem pendengaran atau penglihatan penerima informasi. Misalnya, pendengaran kurang baik, rabun, dsb.
c.    Sistem pengucapan pemberi informasi. Misalnya, gagap, kekurangan pada alat ucap,dsb.
d.   Penggunaan dan penguasaan bahasa atau alat komunikasi yang kurang.
2.    Informasi
Informasi yang diberikan bersifat ambigu.
3.    Alat atau media
Kesalahan menggunakan kode bahasa seperti menggunakan bahasa yang berbeda, menggunakan alat atau media yang kurang baik, dsb.
4.    Faktor luar
Faktor di luar komponen utama yang berlangsung saat pengiriman informasi seperti suara bising di tempat komunikasi.
D.  BERBAGAI JENIS PERBUATAN
Manusia selalu melakukan sesuatu sepanjang hidupnya. Dari seluruh perbuatannya itu dapat dikatakan bahwa pada manusia diamati perubahannya terus menerus. Namun, apa yang dikatakan tentang perbuatan manusia, hanyalah apa yang tampak dari luar. Hal-hal yang ada di belakang perbuatannya itu merupakan persoalan tersendiri dan tidak selalu sejalan dengan perbuatan lahirnya. Memperhatikan hubungan antara sumber perbuatan dan perbuatannya serta akibat perbuatan itu dalam konteks sosioalnya, maka dapat dikenal adanya berbagai jenis perbuatan manusia.
1.    Perbuatan berdasarkan dapat atau tidaknya diinterpretasi.
a.       Perbuatan noninterpretatif
Perbuatan yang tidak mungkin dapat diinterpretasi pengamatnya. Perbuatan yang tidak menggambarkan keadaan seseorang sesungguhya. Perbuatan tersebut dinterpretasi oleh pengamat tetapi tidak sesuai dengan keadaan seseorang sesungguhnya. Misalnya, Putri sedang berdiri di pinggir jalan. Perbuatan Putri diinterpretasi oleh pengamat bahwa Putri berdiri di pinggir jalan sedang menunggu angkutan umum, tetapi sebenarnya Putri berdiri di pinggir jalan sedang menunggu jemputan ayahnya.
b.      Perbuatan interpretatif
Perbuatan yang diperoleh dari hasil interpretasi pengamatnya. Perbuatan yang diinterpretasikan oleh pengamat sesuai dengan keadaan seseorang sesungguhnya. Misalnya, Bu Ati sedang memasak di dapur. Perbuatan Bu Ati berdasarkan interpretasi Amel, anaknya, yakni Bu Ati memasak untuk makan siang. Interpretasi tersebut sesuai dengan keadaan sesungguhnya yakni Bu Ati memasak di dapur untuk makan siang sekeluarga.
2.    Perbuatan berdasarkan kehendak orang yang melakukannya.
a.    Perbuatan atas kehendak pelaku.
Perbuatan yang dilakukan pelaku secara sadar atau sengaja. Misalnya, Dafa membaca buku ‘Sosiolinguistik’ karena ia ingin mengetahui seputar sosiolinguistik.
b.    Perbuatan di luar kehendak pelaku.
Perbuatan yang dilakukan secara tidak sengaja. Misalnya, saat melewati koridor, Ani terpeleset karena ia berjalan terburu-buru sementara lantai yang ia lewati baru saja dipel oleh petugas kebersihan.

3.    Perbuatan berdasarkan kesengajaan dan rasa tanggung jawab.
a.    Perbuatan yang tidak disegaja dan tidak menuntut tanggung jawab.
Misalnya, Bima menguap beberapa kali saat mengerjakan tugas yang diberikan Bu Ida. Menguap merupakan kegiatan yang tidak disengaja karena berupa gejala alami pada tubuh manusia dan tentu tidak menuntut tanggung jawab.
b.    Perbuaatan yang tidak disegaja tetapi memerlukan pertanggungjawaban.
Misalnya, Bima bersin di depan Pak Halim. Perbuatan yang dilakukan Bima yakni bersin, merupakan perbuatan yang tidak disengaja karena gejala alami tubuh. Namun, perbuatan tersebut menuntut tanggung jawab yakni meminta maaf pada Pak Halim karena bersin di depannya yang merupakan konteks sosial.
c.    Perbuatan yang disengaja dan menuntut tanggung jawab.
Misalnya, Pak Yahya membayar tagihan listrik. Membayar tagihan listrik merupakan kegiatan yang disengaja sekaligus menuntut tanggung jawab karena Pak Yahya telah menggunakan listrik dan memiliki kewajban untuk membayar tagihan listrik tersebut.
E.   PERBUATAN KOMUNIKATIF DAN PERBUATAN NON-KOMUNIKATIF
Setiap perbuatan yang disengaja selalu mempunyai tujuan. Adanya tujuan dalam perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan itu mengandung suatu fungsi. Namun, suatu jenis perbuatan mungkin belum dapat menunjukkan fungsi yang didukungnya. Fungsi yang dimaksud baru tampak setelah serangkaian perbuatan terkoordinasi untuk mencapai suatu maksud. Misalnya, untuk mengatakan bahwa “seseorang sedang makan”, tidak perlu dikatakan bahwa ia mengangkat ke dalam mulutnya dan diikuti dengan menggerak-gerakkan rahang atas dan rahang bawah dan seterusnya. Satu per satu perbuatannya itu tidak mempunyai fungsi  dan baru setelah satu kebulatan yang terkoordinasikan maka muncullah fungsi yaitu makan. Demikian pula orang tidak akan mengatakan bahwa seseorang memegang koran dan memandangi benda itu dengan gerakan-gerakan matanya dari arah kiri ke kanan kemudian membolak-balikkan halamannya. Seluruh perbuatan itu mendukung satu fungsi yaitu membaca.
Perbuatan manusia yang disengaja dapat dibedakan atas perbuatan komunikatif dan perbuatan nonkomunikatif.
1.    Perbuatan Komunikatif
Perbuatan komunikatif merupakan perbuatan yang melibatkan adanya stimulus dan respon atau secara sederhana perbuatan yang memerlukan tanggapan. Perbuatan komunikatif dapat berwujud gerak anggota badan, percakapan, dan perbuatan yang menggunakan alat seperti peluit, bendera, cahaya, dsb. Perbuatan komunikatif yang berwujud gerak anggota badan seperti pada saat seseorang berjabat tangan. Orang yang satu memberikan stimulus dengan mengulurkan tangan kepada orang lain dan orang tersebut memberikan respon dengan mengulurkan tangan untuk menerima jabatan tangan si pemberi stimulus. Sementara perbuatan komunikatif berupa percakapan dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, Merry bertanya pada Aska, “Sekarang jam berapa” dan Aska pun menjawab “Pukul tujuh”. Merry memberikan stimulus pada Aska berupa pertanyaan dan Aska memberikan respon berupa jawaban. Adapun perbuatan komunikatif dengan menggunakan alat salah satunya dapat dilihat pada kegiatan anggota pramuka. Pada saat sekelompok anggota tersesat dalam hutan atau terpisah dengan anggota lainnya, maka salah satu dari kelompok tersebut akan menggunakan peluit untuk mengirim pesan dalam bentuk bunyi yang berupa sandi morse sehingga anggota lain mengetahui keberadaan anggota yang tersesat atau yang terpisah. Hal ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan cahaya lampu pada malam hari.
Pada perbuatan komunikatif, untuk mengirim pesan seorang komunikator harus lebih dahulu menata isi pesan menjadi kode (encoding). Kode ini dapat berupa sandi, lambang, gerakan, ataupun lambang bunyi bahasa. Isi pesan yang telah berwujud kode itulah yang kemudian diterima oleh komunikan. Pada saat menerima pesan itu komunikan harus mengkodekan kembali (decoding) apa yang diterimanya dan kemudian membuat tafsiran (interpretasi) terhadap pesan itu. Hasil interpretasi terhadap dekoding itu merupakan tanggapan komunikan terhadap pesan komunikator. Apabila dengan proses seperti itu pesan yang dikirim telah sesuai dengan penerimaan, maka terjadilah komunikasi. Misalnya, seorang komunikator ingin mengomunikasikan konsep ‘alat tulis yang berbahan kayu bulat kecil berisi arang keras’ maka terlebih dahulu ia harus melakukan enkoding dengan melambangkan konsep tersebut dengan lambang ‘pensil’, pesan yang berupa lambang ‘pensil’ diterima oleh komunikan dengan melakukan dekoding dengan mengkodekan kembali lambang tersebut dengan konsep ‘alat tulis yang berbahan kayu bulat kecil berisi arang keras’. Jadi, antara komunikator dan komunikan memiliki penafsiran yang sama.
Rangsangan atau stimulus dapat ditanggapi secara baik apabila komunikator dan komunikan memiliki tafsiran yang sama terhadap lambang yang dipergunakannya. Misalnya, seseorang yang mengangguk merupakan bentuk untuk mengatakan “ya” dan akan ditafsirkan bahwa orang tersebut mengatakan “ya”. Namun, adanya perbedaan penafsiran antara komunikator dan komunikan menunjukkan bahwa komunikasi tersebut tidak efektif karena pesan tidak diterima dengan baik. Misalnya, seseorang menepuk tangan dengan tujuan untuk memanggil orang lain, tetapi orang yang dimaksud menginterpretasikan tepukan tangan sebagai bentuk pemberian semangat atau ungkapan kegembiraan. Berdasarkan hal tersebut, diciptakanlah berbagai sistem komunikasi seperti sistem tanda abjad, gerak tangan, tanda bunyi, tanda morse, dsb.
Antara komunikator dan komunikan terdapat hubungan timbal balik. Seorang komunikator pada suatu saat akan berlaku sebagai komunikan, begitu pula sebaliknya. Misalnya, pada percakapan antara Dino dan Fatir.
Dino  : Tir, kapan kelompokmu tampil?
Fatir  : Setengah jam lagi, kelompokmu kapan?
Dino  : Paling terakhir, lama kan?
Fatir  : Iya lama.
Pada mulanya Dino berperan sebagai komunikator dan Fatir berperan sebagai komunikan. Namun, percakapan tersebut berlanjut, Fatir mengambil sebagai komunikator dan Dino sebagai komunikan.
Proses terjadinya komunikasi antara komunikator dengan komunikan dapat digambarkan dengan bagan seperti di bawah ini:
2.    Perbuatan Nonkomunikatif
Perbuatan nonkomunikatif merupakan perbuatan yang tidak memerlukan tanggapan. Perbuatan nokomunikatif dapat berwujud gerak anggota badan seperti seseorag yang sedang membaca novel, makan, berlari, dsb.
Adakalanya suatu perbuatan yang nonkomunikatif, tetapi ditanggapi oleh orang lain karena salah interpretasi. Misalnya, Dino sedang berdiri di atas bukit, ia berteriak “Woiii” untuk melepaskan beban yang ia rasakan. Namun, Kevin yang berada disekitar, merespon tindakan Dino dengan berteriak “Apa?” karena mengira Dino memanggilnya. Ada juga bentuk perbuatan nonkomunikatif yang dilakukan oleh seseorang dengan menggerakkan tangannya ke atas karena mengusir lalat yang ada di atas kepalanya dan dibalas dengan lambaian tangan orang lain karena mengira orang tersebut memberi hormat padanya. Kesalahan-kesalahan interpretasi semacam itu merupakan gejala umum dalam konteks sosial dan merupakan kegiatan yang terletak diantara yang nonkomunikatif dan perbuatan yang komunikatif.
F.   KOMUNIKASI VERBAL DAN KOMUNIKASI NONVERBAL
1.    Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang rangsangan (stimulus) berupa verbal dan ditanggapi dengan tanggapan (respon) verbal. Komunikasi verbal hanya mungkin dilakukan secara auditif yaitu komunikasi yang menggunakan bunyi artikulasi antara komunikator dan komunikan. Bunyi komunikasi dapat berwujud fonem, morfem, kata, kelompok kata, atau kalimat.
Pada proses komunikasi, sebelum bunyi-bunyi artikulasi itu sampai pada pengungkapan, diperlukan beberapa tahap kegiatan. Tahap tersebut antara lain tahap mengartikulasikan bunyi dan tahap menata bunyi yang meliputi tahap fatis yakni penataan materi bunyi, penawaran (proporsional) yakni menata materi bunyi untuk ‘ditawarkan’ pada diri komunikator dan komunikan untuk ditanggapi, dan ilokutif yakni penataan sedemikian rupa sehingga komunikan mampu menginterpretasikan materi bunyi tersebut sesuai dengan kehendak komunikator.
Tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat pada saat seseorang komunikator mengatakan, “Ambilkan saya segelas air”, maka pertama-tama ia harus mengartikulasikan 22 bunyi (A, m, b,i,l, k, a, n, s, a, y, a, s, e, g, e, l, a, s, a, I, dan r). Kemudian, menata bunyi-bunyi tersebut sedemikian rupa sehingga menjadi empat kata (ambilkan, saya, segelas, dan air) yang disebut tahap fatis, empat kata itu disusun menjadi dua kelompok kata (ambilkan saya dan segelas air) yang disebut tahap proporsional, dan dirangkai menjadi sebuah kalimat (ambilkan saya segelas air) yang merupakan tahap ilokusi. Apabila komunikan kemudian membawa segelas air dan diberikan kepada komunikator, maka baik faktor fatis, proposisional maupun ilokatifnya telah dapat terlaksana secara baik dan terjadilah komunikasi verbal. Apabila salah satu pentahapan itu kurang memenuhi syarat maka akan terjadi komunikasi verbal yang kurang lancar atau tersendat-sendat atau mungkin bahkan terjadi salah tafsir.
2.    Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang rangsangan (stimulus) berupa nonverbal dan ditanggapi dengan tanggapan (respon) nonverbal. Sarana komunikasi nonverbal dapat berupa gerak anggota badan, perubahan mimik, tepuk tangan, menggunakan alat seperti peluit, dsb. Misalnya, Adi menghadiri sebuah pesta, saat melihat Reza, Adi melambaikan tangannya pada Reza. Reza yang melihat Adi yang melambaikan tangan padanya, membalas dengan lambaian tangan juga.
G.   KOMUNIKASI BAHASA
Proses komunikasi bahasa dapat dilihat pada bagan berikut.
Setiap komunikasi bahasa terdapat dua pihak yang terlibat yaitu pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver). Ujaran (berupa kalimat atau kalimat-kalimat) yang digunakan untuk menyampaikan pesan (berupa gagasan, pikiran, saran, dan sebagainya) itu disebut pesan. Pesan tidak lain membawa gagasan yang disampaikan pengirim(penutur) kepada penerima (pendengar). Setiap proses komunikasi bahasa dimulai dengan si pengirim merumuskan terlebih dahulu yang ingin diujarkan dalam suatu kerangka gagasan. Proses ini dikenal dengan istilah semantik encoding. Setelah tersusun dalam kalimat gramatikal, lalu kalimat yang berisi gagasan tadi diucapkan. Proses ini disebut phonological encoding. Kemudian oleh si pendengar atau penerima, ujaran pengirim tadi diterjemahkan atau decoding. Pada mulanya ujaran tadi berupa  stimulus untuk diterjemahkan. Selanjutnya, proses ini diikuti oleh proses grammatical decoding dan diakhiri dengan proses semantic decoding.
Ada dua macam komunikasi bahasa, yaitu komunikasi searah dan komunikasi dua arah.
1.    Komunikasi searah
Pada komunikasi searah pengirim tetap sebagai pengirim, dan si pendengar tetap sebagai penerima. Komunikasi searah ini terjadi seperti dalam komunikasi yang bersifat memberitahukan, khotbah di masjid, ceramah yang tidak diikuti tanya jawab, dan sebagainya.


2.    Komunikasi dua arah
Pada komunikasi dua arah, secara berganti-gantian si pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima bisa menjadi pengirim. Komunikasi dua arah ini terjadi, misalnya dalam rapat, perundingan, diskusi, percakapan sehari-hari, dan sebagainya.
Bahasa itu dapat mempengaruhi perilaku manusia. Jika si penutur ingin mengetahui respon si pendengar terhadap tuturannya, dia bisa melihat umpan balik, yang dapat berwujud perilaku tertentu yang dilakukan pendengar setelah mendengar tuturan si pendengar. Dengan demikian, umpan balik berfungsi sebagai pengecek respon, yang jika diperhatikan si penutur dapat menyesuaikan diri dalam menyampaikan pesan atau  tuturan berikutnya.
Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri atas dua aspek, yaitu aspek linguistik dan aspek nonlinguistik atau paralinguistik. Kedua aspek ini bekerja sama dalam membangun komunikasi itu. Aspek linguistik mencakup tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Ketiga tataran ini  mendukung terbentuknya hal yang akan disampaikan, yaitu semantik (yang didalamnya terdapat makna, gagasan, ide, atau konsep). Aspek paralinguistik mencakup (1) kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang, seperti falseto (suara tinggi), staccato (suara teputus-putus), dan sebagainya; (2) unsure suprasegmental, yaitu tekanan (stress), nada  (pitch), dan intonasi; (3) jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan, anggukan kepala, dan sebagainya; (4) rabaan, yaitu yang berkenaan dengan indera perasa (pada kulit).
Aspek linguistik dan paralinguistik tersebut berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentudalam proses komunikasi.
Komunikasi bahasa atau komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai alatnya mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis komunikasi lainnya, termasuk yang berlaku pada hewan. Komunikasi dengan gerak isyarat tangan yang berlaku bagi orang bisu tidak dapat berfungsi dalam keadaan gelap, sedangkan komunikasi bahasa masih dapat digunakan meski dalam keadaan gelap. Malah, melalui bantuan alat-alat modern dewasa ini sistem komunikasi bahasa telah dapat menembus jarak dan waktu.


















BAB III                                                                                           PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang digunakan manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain. Bahasa yang digunakan dalam berinteraksi tidak lepas dari komunikasi. Komunikasi merupakan suatu bentuk interaksi yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan kepada orang lain melalui suatu media. Oleh karena itu, hubungan antara bahasa dengan komunikasi sangat erat. Hal ini dikarenakan bahasa memiliki fungsi utama yakni untuk berkomunikasi.
Hakikat bahasa yakni sistem lambang bunyi, arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Bahasa memiliki keistimewaan yang membedakannya sebagai alat komunikasi manusia dengan makhluk lain. keistimewaan itu antara lain menggunakan jalur vokal auditif, tersiar ke segala arah dan penerimaannya terarah, bunyi yang cepat hilang, partisipan dapat saling berkomunikasi, dapat menjadi umpan balik yang lengkap, memunyai spesialisasi, lambangnya bermakna, bersifat arbitrer dan konvensional, dapat dipasahkan menjadi unit-unit satuan, rujukannya bersifat fleksibel, bersifat terbuka, diperoleh dengan belajar, dapat dipelajari, menyatakan hal yang benar dan tidak benar, terdiri atas subsistem bunyi dan makna, dapat digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri
Komunikasi memiliki tiga komponen utama yakni partisipan, informasi, dan alat atau media. Komunikasi terdiri atas komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal merupakan bentuk komunikasi yang stimulus dan responnya berupa verbal atau artikulasi bahasa. Komunikasi nonverbal merupakan bentuk komunikasi yang stimulus dan responnya berupa nonverbal seperti gerak tubuh, alat, dsb. Komunikasi bahasa berlangsung jika pegirim pesan melakukan enkoding pada sehingga terbentuklah pesan dan diterima oleh penerima pesan dengan melakukan dekoding pada pesan tesebut.
Manusia memiliki suatu perbuatan yang dapat digolongkan menjadi perbuatan komunikatif dan nonkomunikatif. Perbuatan komunikatif merupakan perbuatan yang memerlukan respon atas stimulus yang diberikan, sementara perbuatan nonkomunikatif merupakan perbuatan yang tidak memerlukan respon atas stimulus yang diberikan.
B.   SARAN
Bahasa dan komunikasi memiliki hubungan yang sangat erat. Bahasa sebagai alat komunikasi dan komunikasi dilakukan dengan bahasa. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang mampu menyampaikan informasi dengan baik dan diterima oleh penerima informasi. Salah satu faktor yang memengaruhi komunikasi yakni bahasa. Penggunaan bahasa yang baik dapat memperlancar suatu komunikasi sehingga komunikasi dapat berjalan secara efektif. Oleh karena itu, diperlukan latihan yang banyak dalam berbahasa dan komunikasi.


DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed. Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
P., A.Wardihan dan Baharman.2014.Pengantar Linguistik.  Makassar:  Fakultas bahasa dan sastra Universitas Negeri Makassar
Saleh, Muhammad dan Mahmudah. 2005. Sosioliguistik. Makassar: Badan Penerbit UNM Makassar




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahasa Daerah Makassar

Apresiasi Puisi Indonesia

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia