Sosiolinguistik
Bahasa dan Komunikasi
Oleh Shafariana, dkk
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang
digunakan manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain. Bahasa yang digunakan
dalam berinteraksi tidak lepas dari komunikasi. Komunikasi merupakan suatu
bentuk interaksi yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan kepada
orang lain melalui suatu media. Oleh karena itu, hubungan antara bahasa dengan
komunikasi sangat erat. Hal ini dikarenakan bahasa memiliki fungsi utama yakni
untuk berkomunikasi.
Sosiolinguistik sebagai ilmu yang mengkaji
bahasa dalam kehidupan masyarakat, perlu memahami beberapa komponen penting
sebelum menelusuri lebih jauh tentang bahasa dalam masyarakat. Salah satu dari
komponen tersebut yakni bahasa dan komunikasi, yang memiliki hubungan yang
sangat erat. Bahasa merupakan media dalam berkomunikasi, dan setiap komunikasi
dilakukan dengan bahasa. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk
membahas bahasa dan komunikasi dalam makalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Setiap hal memiliki
sesuatu yang menjadi permasalahan. Adapun permasalahan dalam makalah ini
dirumuskan sebagai berikut.
1.
Bagaimana hakikat bahasa?
2.
Bagaimana keistimewaan bahasa manusia?
3.
Bagaimana hakikat komunikasi?
4.
Apa saja jenis perbuatan?
5.
Apa itu perbuatan komunikatif dan perbuatan nonkomunikatif?
6.
Bagaimana komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal?
7.
Apa itu komunikasi bahasa?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan
masalah yang dibuat, maka dapat kita tentukan tujuan dari makalah ini yakni
diharapkan mengetahui hal-hal berikut.
1.
Hakikat bahasa.
2.
Keistimewaan bahasa manusia.
3.
Hakikat komunikasi.
4.
Berbagai jenis perbuatan.
5.
Perbuatan komunikatif dan perbuatan nonkomunikatif.
6.
Komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal.
7.
Komunikasi bahasa.
D. MANFAAT
Manfaat makalah ini pada umumnya menambah
wawasan seputar bahasa dan komunikasi yang mengantarkan pada sosiolinguistik
itu sendiri. Adapun manfaat dari makalah ini sebagai berikut.
1. Mampu menggunnakan bahasa yang tepat sesuai
dengan konteks dalam berkomunikasi.
2. Menumbuhkan rasa bangga dalam berbahasa.
3. Mampu menerapkan penggunaan berbagai jenis
perbuatan dalam kehidupan.
BAB II PEMBAHASAN
A. HAKIKAT BAHASA
Hakikat bahasa dapat dilihat dari ciri-ciri bahasa itu sendiri. Ciri-ciri
bahasa yang merupakan hakikat bahasa yakni sistem, arbitrer, produktif,
dinamis, beragam, dan manusiawi.
1.
Sistem
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi. Bahasa dikatakan sebagai sistem
berarti bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan
dapat dikaidahkan. Hal ini dapat dilihat pada sistem bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia memiliki pola yang tetap dan dikaidahkan. Pola kalimat bahasa
Indonesia sebagai berikut.
S + P + (O) + (K)
‘Vio memasak sayur lodeh di dapur umum’ merupakan kalimat bahasa Indonesia
karena sesuai dengan kaidah pola bahasa Indonesia. Namun, ‘Memasak Vio sayur
lodeh di dapur umum’ bukan merupakan kalimat bahasa Indonesia karena tidak
sesuai dengan kaidah pola bahasa Indonesia.
Bahasa sebagai sistem, memiliki sifat sistematis dan sistemis. Sistematis
berarti bahasa tersusun teratur sesuai dengan pola yang berlaku, tidak tersusun
secara acak atau sembarangan. Misalnya:
a.
Teratur sesuai dengan pola yang
berlaku
Wahyu mengaji di Masjid Al-Huda.
S
P K
(Sesuai dengan
kaidah atau pola yang berlaku)
b.
Tersusun secara acak atau
sembarangan
Mengaji Wahyu di Masjid Al-Huda.
P
S K
(Tidak sesuai
dengan kaidah atau pola yang berlaku)
Adapun sistemis berarti bahasa
bukan sistem tunggal melainkan terdiri atas beberapa sub sistem, yakni
fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan semantik.
Bahasa sebagai
sistem dalam hal ini berupa lambang bunyi. Lambang bunyi ini disebut bunyi ujar
atau bunyi bahasa. Lambang bunyi tersebut melambangkan suatu konsep atau makna.
Misalnya, lambang bunyi [pensil] yang melambangkan konsep ‘alat tulis berupa
katu kecil bulat yang berisi arang keras’.
2.
Arbitrer
Bahasa sebagai sistem lambang bunyi bersifat
arbitrer. Bahasa bersifat arbitrer berarti bahasa sebagai sistem lambang bunyi,
memiliki hubungan antara hal yang melambangkan dan yang dilambangkan tidak
bersifat wajib, bisa berubah, tidak dapat diketahui alasan lambang bunyi
digunakan untuk mewakili suatu konsep. Misalnya, lambang bunyi [pensil] dalam
bahasa Indonesia yang melambangkan ‘alat tulis berupa kayu kecil bulat berisi
arang keras’, tidak dapat dijelasakan alasan lambang tersebut melambangkan
konsep tersebut. Lambang bunyi [pensil] tidak bersifat wajib dalam melambangkan
konsep ‘alat tulis berupa kayu kecil bulat yang berisi arang keras’. Hal ini
disebabkan bahwa terdapat lambang bunyi [potolo] dalam bahasa Bugis, [pencil]
dalam bahasa Inggris, dan sebagainya yang melambangkan konsep ‘alat tulis berupa
kayu kecil bulat yang berisi arang keras’.
3.
Konvensional
Meskipun bahasa bersifat arbitrer, bahasa juga
bersifat konvensional. Bahasa bersifat konvensional berarti masyarakat tutur
mematuhi hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya. Misalnya,
masyarakat bahasa Indonesia akan mematuhi dan hanya menggunakan lambang bunyi
[pensil] untuk konsep ‘alat tulis berupa kayu kecil bulat yang berisi arang
keras’, tidak menggunakan lambang bunyi yang lain.
4.
Produktif
Bahasa bersifat produktif berarti bahasa yang
memiliki unsur yang terbatas dapat diubah menjadi satuan-satuan bahasa yang
hampir tak terbatas. Hal ini dapat dilihat dari jumlah huruf bahasa Indonesia
yakni 26 huruf, dapat dibentuk lebih kurang 78.000 kata, dan masing-masing kata
dapat membentuk berbagai macam kalimat. Misalnya, kata ‘pensil’ dapat membentuk
beberapa kalimat sebagai berikut.
a. Pensil adik berwarna
biru.
b. Ambil pensil
itu!
c. Pensil itu bukan
milik saya.
d. Dimana kamu membeli pensil warna itu?
e. Dsb.
5.
Dinamis
Bahasa bersifat dinamis berarti bahasa dapat berubah-ubah
sewaktu-waktu mengikuti perkembangan zaman. Perubahan bahasa dapat terjadi
secara sinkronis maupun diakronis. Perubahan bahasa pun dapat terjadi pada
setiap tataran baik fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, maupun leksikon.
Misalnya, pada tataran fonologi, bahasa Indonesia dalam perkembangannya
menyerap fonem-fonem bahasa asing seperti fonem /v/, /z/, /x/, /q/, dsb. Pada
tataran morfologi, kaidah morfofonemik dalam bahasa Indonesia apabila morfem
{me-} bertemu dengan fonem /p/ pada kata ‘paksa’ maka akan terjadi peluluhan
fonem /p/ menjadi /m/ sehingga terbentuk kata ‘memaksa’. Namun, pada
perkembangan bahasa Indonesia fonem /p/ pada ‘produksi’ jika bertemu dengan
morfem {me-} tidak akan luluh sehingga terbentuk kata ‘memproduksi’. Adapun
pada tataran sintaksis, dapat dilihat pada pola struktur kalimat. Misalnya,
struktur kalimat awalnya selalu mengikuti urutan S-P-O-K, tetapi sekarang pola
struktur kalimat tersebut dapat berubah urutannya yakni K-S-P-O, S-K-P-O, dsb. Sementara
pada tataran semantik, bahasa Indonesia mengalami perubahan makna seperti
generalisasi yang terjadi pada kata ‘ibu’. Awalnya kata ‘ibu’ hanya bermakna
‘orang tua perempuan yang memiliki pertalian darah’ kini bermakna ‘semua orang
tua perempuan’. Hal ini juga berlaku pada tataran leksikon, yakni kosa kata
bahasa Indonesia dalam perkembangannya mengalami penambahan melalui proses
penyerapan dari bahasa asing ataupun bahasa daerah, seperti kata ‘survei’.
6.
Beragam
Bahasa bersifat beragam berarti bahasa yang
memiliki kaidah ataupun pola tertentu memiliki berbagai ragam pemakaian ataupun
variasi. Misalnya, bahasa Indonesia memiliki beberapa ragam seperti ragam beku
yang digunakan pada UUD 1945, ragam resmi yang digunakan pada situasi formal,
ragam usaha yang digunakan dalam situasi di sekolah; kantor; perusahaan, ragam
santai yang digunakan dalam percakapan sehari-hari dengan teman ataupun
masyarakat sekitar, ragam akrab yang digunakan dalam percakapan dengan
keluarga, dsb.
7.
Manusiawi
Bahasa bersifat manusiawi berarti bahasa sebagai
alat untuk berkomunikasi hanya digunakan oleh manusia sementara hewan tidak
memiliki bahasa. Hewan hanya memiliki alat untuk berkomunikasi berupa bunyi
ataupun gerak isyarat yang tidak bersifat produktif dan tidak dinamis sehingga
tidak dapat dikategorikan bahasa. Selain itu, bunyi-bunyi yang dimiliki hewan
dikuasai secara instingtif atau secara naluriah, sementara bunyi-bunyi bahasa
pada manusia walaupun juga diperoleh secara alami tetapi memerlukan proses
belajar untuk menguasai bahasa itu sendiri. Misalnya, ayam sejak menetas dari telurnya akan
mengeluarkan bunyi yang hampir sama hingga ayam tersebut tumbuh menjadi besar.
Adapun manusia, saat dilahirkan mengeluarkan bunyi-bunyi dan berkembang menjadi
bunyi-bunyi bahasa seutuhnya dari proses meniru dan belajar keterampilan
berbahasa serta penguasaan bahasa secara menyeluruh bahkan mempelajari bahasa
yang berada diluar dari bahasa ibu.
B. KEISTIMEWAAN BAHASA MANUSIA
Bahasa manusia
memiliki keistimewaan dibandingkan dengan bahasa hewan yang digunakan untuk
berkomunikasi. Ada enam belas keistimewaan bahasa manusia yang disarikan
Hockett dan MC Neil sebagai berikut.
1.
Bahasa menggunakan jalur vokal auditif. Banyak hewan memiliki sistem
komunikasi yang dapat didengar tetapi hanya beberapa yang memiliki bunyi vokal.
Namun, sistem komunikasi yang dimiliki hewan tidak memiliki 15 ciri lainnya
yang dimiliki manusia. Hal ini dapat bahwa manusia memiliki alat-alat ucap
produksi bahasa yang tidak dimiliki hewan seperti pita suara, krikoid, tiroid,
aritenoid, dan epiglotis.
2.
Bahasa dapat tersiar ke segala arah, tetapi penerimaannya terarah. Bahasa
yang diucapkan dapat didengar di semua arah karena bunyi-bunyi bahasa merambat
melalui udara, tetapi penerima atau pendengar dapat mengetahui dengan tepat
dari mana arah bunyi bahasa itu berasal. Misalnya, pada peristiwa festival
budaya terjadi pencurian barang yang dialami oleh salah satu pengunjung, si A.
Si A secara spontan berteriak “Copet!” saat menyadari tasnya diambil seseorang,
maka seluruh pengunjung yang hadir di
tempat itu akan menoleh karena mendengar bunyi-bunyi bahasa yang dilontarkan
dan secara spontan pengunjung yang mendengar akan menoleh pada sumber suara
yakni si A.
3.
Lambang bahasa yang berupa bunyi cepat hilang setelah diucapkan. Hal ini
dapat dilihat dari peristiwa berikut.
Wahyu berbicara
kepada Adit, tetapi Adit tidak memerhatikan ucapan Wahyu. Ketika Adit meminta
penjelasan ulang, Wahyu tak dapat mengulang kembali perkataannya atau jika ia
mampu mengulangnya maka ujaran yang dilontarkan tidak sama dengan apa yang ia
lontarkan sebelumnya.
Hal inilah yang menjadi kekurangan bahasa,
sehingga bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan manusia dilestarikan dalam bentuk
tulisan ataupun berupa rekaman melalui peralatan elektronik.
4.
Partisipan dalam berkomunikasi bahasa dapat saling berkomunikasi.
Seseorang dapat menjadi pemberi pesan sekaligus penerima pesan dalam bentuk
bunyi-bunyi bahasa. Hal ini dapat dilihat pada percakapan berikut.
Clara :
Kemarin, Pak Heru ada ngasih tugas?
Viona : Ada, tugasnya halaman 27. Tapi, kenapa kamu
nggak masuk kelas?
Clara : Aku
dipanggil Bu Ida. Yah, ada masalah kecil.
Berdasarkan percakapan tersebut, awalnya Clara
sebagai penerima pesan dan Viona sebagai pemberi pesan. Kemudian, situasi
berubah, Clasra sebagai pemberi pesan dan Viona sebagai penerima pesan.
5.
Lambang bahasa dapat menjadi umpan balik yang lengkap. Penutur dapat
mendengar lambang bunyi bahasa yang diucapkan. Misalnya, Vino berkata pada
Dodi, “Besok, latihan basket”. Pada saat mengucapkan perkataan tersebut, Vino
dapat mendengar ucapannya sendiri sama persis dengan apa yang diucapkannya baik
kata maupun intonasi yang digunakan.
6.
Komunikasi bahasa mempunyai spesialisasi. Manusia dapat berbicara tanpa
harus mengeluarkan gerakan-gerakan fisik yang mendukung proses komunikasi itu.
Manusia dapat berbicara sambil mengerjakan pekerjaan lain yang tidak
berhubungan dengan topik pembicaraan. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa
berikut.
Ibu sedang mencampur
adonan kue dengan mixer di dapur.
Tiba-tiba Ibu sadar bahwa ada bahan yang harus dicampur tetapi tidak terdapat
di meja yang sedang Ibu gunakan. Ibu pun berteriak pada Kakak, “Kak, tolong
ambilkan dulu vanili di lemari” sambi tetap mencampur adonan lain dengan mixer.
7.
Lambang-lambag bunyi dalam komunikasi bahasa memiliki makna atau memiliki
rujukan atau referen pada hal-hal tertentu baik yang memiliki wujud ataupun
tidak memiliki wujud. Misalnya, lambang bunyi yang referennya berwujud seperti
kata ‘kuda’ memiliki acuan, rujukan, atau referensi yakni ‘binatang berkaki
empat yang ditunggangi dan biasa dikendarai’. Adapun lambang bunyi yang
referennya tidak berwujud seperti kata ‘lari’ yang memiliki referen yakni ‘melangkah
dengan kecepatan tinggi’.
8.
Hubungan antara lambang bahasa dengan maknanya tidak ditentukan oleh
adanya suatu ikatan antara keduanya, tetapi ditentukan oleh suatu persetujuan
atau konvensi di antara penutur suatu bahasa. Jadi, bahasa bersifat arbitrer
atau semaunya dan konvensional. Misalnya, lambang bunyi [pensil] dalam bahasa Indonesia yang melambangkan ‘alat tulis
berupa kayu kecil bulat berisi arang keras’, tidak dapat dijelasakan alasan
lambang tersebut melambangkan konsep tersebut dan juga masyarakat mematuhi dan
menggunakan lambang bunyi [pensil] untuk konsep ‘alat tulis berupa kayu kecil
bulat berisi arang keras’.
9.
Bahasa dapat
dipisahkan menjadi unit satuan-satuan, yakni kalimat, kata, morfem, dan fonem. Misalnya,
seseorang mengujarkan:
“sayaakankerumahmuuntukbermalamsetelahtibadisanasetelahitusayalanjutkanperjalanankerumahadikku.”.
Maka ujaran itu dapat dipisah menjadi:
a.
kalimat, ‘Saya
akan ke rumahmu untuk bermalam setelah tiba di sana’ dan ‘Setelah itu, saya
lanjutkan perjalanan ke rumah adikku.’;
b.
kata,
‘saya,akan,ke,rumahmu,untuk,bermalam,setelah,tiba,di,sana, dsb’.
c.
morfem, ‘[saya],
[akan], [ke], [rumah], [-mu], [untuk], [ber-], [malam], [setelah], [tiba], [di],
[sana], dsb’
d.
fonem, ‘/s/,
/a/, /y/, /k/, /e/, /r/, /m/, /h/, /u/, /b/, /t/, /n/, dsb’
10.
Rujukan atau yang sedang dibicarakan dalam bahasa tidak harus selalu ada
pada tempat dan waktu kini. Bahasa digunakan untuk sesuatu yang telah lalu,
yang akan datang atau yang berada di tempat yang jauh, bahkan hanya ada dalam
khayalan. Misalnya, seseorang guru sejarah mengatakan “Saat itu Mr. Muhamammad
Yamin mengemukakan rumusan dasar negara Indoenesia”. Kalimat yang dilontarkan
oleh guru sejarah memiliki rujukan atau referen pada peristiwa sidang BPUPKI
yang pertama tanggal 29 Mei 1945, atau rujukan atau referennya telah lalu.
11.
Bahasa bersifat terbuka berarti lambang-lambang
ujaran baru dapat dibuat sesuai dengan keperluan manusia. Hal ini dapat dilihat
pada proses penyerapan kata asing pada bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
memiliki kosa kata yang begitu banyak, lebih kurang 78.000 kosa kata, yang
terdapat kata serapan seperti kata ‘produksi’ yang digunakan untuk menyatakan
konsep ‘proses pembuatan atau mengeluarkan hasil’, ‘telepon’ yang digunakan
untuk menyatakan ‘alat komunikasi yang menggunakan listrik dan kawat’ karena
benda tersebut kini digunakan oleh masyarakat Indonesia, ‘televisi’ yang
digunakan untuk menyatakan ‘alat yang menggunakan sistem penyiaran gambar yang
disertai dengan bunyi (suara)’, dsb.
12.
Kepandaian dan kemahiran untuk menguasai aturan-aturan dan
kebiasaan-kebiasaan berbahasa manusia diperoleh dari belajar, bukan merupakan
gen-gen yang dibawa sejak lahir. Bunyi-bunyi bahasa pada manusia walaupun
diperoleh secara alami tetapi memerlukan proses belajar untuk menguasai bahasa
itu sendiri. Saat dilahirkan mengeluarkan bunyi-bunyi dan berkembang menjadi
bunyi-bunyi bahasa seutuhnya dari proses meniru dan belajar keterampilan
berbahasa serta penguasaan bahasa secara menyeluruh bahkan mempelajari bahasa
yang berada diluar dari bahasa ibu. Misalnya, manusia dalam berbahasa secara
lisan perlu belajar dengan cara menyimak dan meniru. Manusia dalam berbahasa
secara tertulis juga perlu belajar dengan cara mengikuti pendidikan formal
ataupun nonformal misalnya membaca, menulis cerita, menulis makalah, menulis
essai, dsb.
13.
Bahasa dapat dipelajari. Seseorang dapat mempelajari bahasa lain yang
tidak digunakan dalam lingkungannya. Misalnya, Maria yang lahir di Indonesia
memiliki bahasa ibu bahasa Indonesia. Maria dapat menguasia bahasa Inggris
dengan mempelajari bahasa Inggris yang dapat diperoleh dari pendidikan formal
maupun informal.
14.
Bahasa dapat digunakan untuk menyatakan hal yang benar dan yang tidak
benar atau yang tidak bermakna secara logika. Misalnya, Astri mengatakan “Bumi
itu bulat”, maka Astri menggunakan bahasa untuk menyampaikan pernyataan yang
benar sesuai dengan fakta dan logika. Maria mengatakan “Matahari mengelilingi
bumi”, maka Maria menggunakan bahasa untuk meyampaikan pernyataan yang tidak
benar, tidak sesuai dengan fakta.
15.
Bahasa memiliki dua subsistem, yakni subsistem bunyi dan subsistem makna,
yang memungkinkan bahasa memiliki keekonomisan fungsi. Keekonomisan fungsi
dapat terjadi karena bermacam-macam unit bunyi yang fungsional dapat
dikelompokkan lagi ke dalam unit-unit yang berarti. Misalnya, fonem /a/, /i/,
dan /k/ dapat dikelompokkan menjadi
satuan kata yakni ‘aki’, ‘akik’, dan ‘kaki’. Kata ‘kaki’ dapat dikelompokkan
lagi menjadi ‘kaki meja’, ‘kaki kursi’, ‘kaki ayah’, ‘mata kaki’, ‘jari kaki’,
dsb.
16.
Bahasa digunakan untuk mempelajari atau membicarakan bahasa itu sendiri.
Hal ini dapat dilihat pada pelajar yang menggunakan bahasa Indonesia dalam
mempelajari mata pelajaran bahasa Indonesia, begitu juga mahasiswa program
studi bahasa dan sastra Indonesia yang mempelajari bahasa khususnya bahasa
Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia.
C. HAKIKAT KOMUNIKASI
Bahasa merupakan
alat untuk berkomunikasi. Komunikasi adalah proses pertukaran informasi atau
pesan melalui suatu media. Webster’s New Collegiate Dictionary dalam Muhammad
Saleh dan Mahmudah (2005, 29) mengatakan bahwa “Communication is a process by
which information is exchange between individuals through a common system of
symbols, sign, or behaviour” yang bermakna ‘komunikasi adalah proses pertukaran
informasi antarindividual melalui simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum’.
Contoh komunikasi dapat dilihat pada percakapan berikut.
Dino :
Tir, kapan kelompokmu tampil?
Fatir :
Setengah jam lagi, kelompokmu kapan?
Dino :
Paling terakhir, lama kan?
Fatir :
Iya lama
Berdasarkan
pengertian, batasan dan contoh komunikasi di atas, dapat disimpulkan bahwa ada
tiga komponen utama dalam komunikasi. Komponen tersebut sebagai berikut.
1.
Partisipan
Komponen pertama dalam komunikasi yakni partisipan
atau pihak yang berkomunikasi. Komunikasi memerlukan paling sedikit dua orang
atau dua kelompok yang menjadi pihak pengirim (sender) informasi dan pihak penerima (receiver) informasi.
Pihak yang berkomunikasi pada percakapan di atas
yakni Dino dan Fatir yang kedua-duanya sebagai penerima (receiver) informasi dan pengirim (sender) informasi.
2.
Informasi
Komponen kedua yakni informasi yang disampaikan.
Informasi yang disampaikan berupa ide, gagasan, keterangan, atau pesan.
Pada percakapan di atas, informasi yang
disampaikan yakni kelompok Fatir setengah jam lagi akan menampilkan aksinya di
panggung sementara penampilan kelompok Dino merupakan penampilan terakhir.
3.
Alat atau media
Komponen terakhir yakni alat atau media yang
digunakan untuk berkomunikasi. Alat atau media itu dapat berupa simbol/lambang
seperti bahasa, tanda-tanda (rambu-rambu lalu lintas, gambar, atau petunjuk),
atau dapat juga berupa gerak-gerik anggota badan (kinesik).
Alat atau media komunikasi yang digunakan pada
percakapan tersebut yakni lambang bunyi-bunyi bahasa.
Suatu peristiwa atau perbuatan tidak dapat dikatakan komunikasi walaupun
memenuhi tiga komponen utama di atas, jika belum memenuhi syarat yakni
dilakukan dengan sadar. Misalnya, percakapan antara Dino dan Fatir di atas
dapat dikatakan komunikasi karena masing-masing pihak melakukan kegiatan
tersebut secara sadar. Adapun peristiwa atau perbuatan yang tidak dapat
dikatakan komunikasi dapat dilihat dari peristiwa berikut.
Ibu sedang memarahi
Adik pada pukul dua siang. Ibu menyampaikan informasi berupa nasihat dan
teguran. Namun, pada saat Ibu memarahi Adik, Adik dalam keadaan setengah tidur
dalam posisi duduk tanpa sepengetahuan Ibu.
Berdasarkan peristiwa tersebut, semua komponen utama komunikasi
terpenuhi. Partisipan yakni Ibu dan Adik, informasi berupa nasihat dan teguran,
dan alat komunikasi berupa lambang bunyi-bunyi bahasa. Namun, peristiwa
tersebut tidak dikatakan komunikasi karena Adik dalam keadaan tidak sadar atau
setengah sadar sehingga informasi yang diberikan tidak diterima oleh si
penerima (receiver) informasi. Adapun
contoh lain dapat dilihat pada peristiwa berikut.
Ayah pulang dari
bekerja. Saat itu Ayah mengetahui bahwa Ibu dan Adik tidak ada di rumah karena
mengikuti pengajian. Namun, Ayah tidak tahu apakah Kakak ada di rumah atau
tidak. Saat melewati kamar Kakak, Ayah mendengar suara igauan. Ayah pun tahu
bahwa Kakak ada di rumah dan sedang tidur di kamarnya.
Peristiwa berikut tidak dapat dikatakan komunikasi walaupun komponen
partisipan terpenuhi yakni Ayah dan Kakak, informasi terpenuhi yakni kakak ada
di rumah, alat komunikasi terpenuhi berupa igauan. Namun, Kakak sebagai
pengirim informasi tidak memiliki kesadaran saat informasi itu diberikan.
Komunikasi dapat dibedakan menjadi komunikasi verbal dan komunikasi
nonverbal berdasarkan alat atau media komunikasi.
1.
Komunikasi verbal
Komunikasi verbal disebut juga komunikasi bahasa.
Komunikasi ini menggunakan lambang bunyi-bunyi bahasa sebagai alat atau media
komunikasi. Lambang bunyi-bunyi bahasa yang digunakan berupa kode yang
dimengerti atau dipahami oleh kedua pihak. Contoh komunikasi verbal yakni
percakapan.
2.
Komunikasi nonverbal
Komunikasi ini menggunakan alat atau media bukan
bahasa yakni berupa tanda-tanda seperti rambu-rambu, gambar, petunjuk; berupa
bunyi alat; berupa cahaya seperti lampu, api; berupa bendera; dan termasuk
komunikasi hewan. Contoh komunikasi nonverbal yakni komunikasi dengan
menggunakan kode morse melalui bunyi peluit, kode semaphore melalui bendera,
sandi rumput yang juga berkaitan dengan kode morse, gerakan isyarat polisi lalu
lintas, tarian lebah dan sebagainya.
Proses komunikasi
tidak selalu berjalan dengan lancar. Hal ini dikarenakan adanya ganguan atau
hambatan. Hambatan yang ada bisa terdapat pada masing-masing komponen utama
komunikasi ataupun dari luar komponen.
1.
Partisipan
a.
Ketidaksadaran, dapat dialami oleh setiap pihak. Misalnya, tertidur,
setengah tidur, mabuk, ataupun gila.
b.
Sistem pendengaran atau penglihatan penerima informasi. Misalnya,
pendengaran kurang baik, rabun, dsb.
c.
Sistem pengucapan pemberi informasi. Misalnya, gagap, kekurangan pada
alat ucap,dsb.
d.
Penggunaan dan penguasaan bahasa atau alat komunikasi yang kurang.
2.
Informasi
Informasi yang diberikan bersifat ambigu.
3.
Alat atau media
Kesalahan menggunakan kode bahasa seperti
menggunakan bahasa yang berbeda, menggunakan alat atau media yang kurang baik,
dsb.
4.
Faktor luar
Faktor di luar komponen utama yang berlangsung
saat pengiriman informasi seperti suara bising di tempat komunikasi.
D. BERBAGAI JENIS PERBUATAN
Manusia selalu
melakukan sesuatu sepanjang hidupnya. Dari seluruh perbuatannya itu dapat
dikatakan bahwa pada manusia diamati perubahannya terus menerus. Namun, apa
yang dikatakan tentang perbuatan manusia, hanyalah apa yang tampak dari luar.
Hal-hal yang ada di belakang perbuatannya itu merupakan persoalan tersendiri
dan tidak selalu sejalan dengan perbuatan lahirnya. Memperhatikan hubungan
antara sumber perbuatan dan perbuatannya serta akibat perbuatan itu dalam
konteks sosioalnya, maka dapat dikenal adanya berbagai jenis perbuatan manusia.
1.
Perbuatan berdasarkan dapat atau tidaknya diinterpretasi.
a.
Perbuatan noninterpretatif
Perbuatan yang tidak mungkin dapat diinterpretasi
pengamatnya. Perbuatan yang tidak menggambarkan keadaan seseorang sesungguhya. Perbuatan
tersebut dinterpretasi oleh pengamat tetapi tidak sesuai dengan keadaan
seseorang sesungguhnya. Misalnya, Putri sedang berdiri di pinggir jalan.
Perbuatan Putri diinterpretasi oleh pengamat bahwa Putri berdiri di pinggir
jalan sedang menunggu angkutan umum, tetapi sebenarnya Putri berdiri di pinggir
jalan sedang menunggu jemputan ayahnya.
b.
Perbuatan interpretatif
Perbuatan yang diperoleh dari hasil interpretasi
pengamatnya. Perbuatan yang diinterpretasikan oleh pengamat sesuai dengan
keadaan seseorang sesungguhnya. Misalnya, Bu Ati sedang memasak di dapur.
Perbuatan Bu Ati berdasarkan interpretasi Amel, anaknya, yakni Bu Ati memasak
untuk makan siang. Interpretasi tersebut sesuai dengan keadaan sesungguhnya
yakni Bu Ati memasak di dapur untuk makan siang sekeluarga.
2.
Perbuatan berdasarkan kehendak orang yang melakukannya.
a.
Perbuatan atas kehendak pelaku.
Perbuatan yang dilakukan pelaku secara sadar atau
sengaja. Misalnya, Dafa membaca buku
‘Sosiolinguistik’ karena ia ingin mengetahui seputar sosiolinguistik.
b.
Perbuatan di luar kehendak pelaku.
Perbuatan yang dilakukan secara tidak sengaja.
Misalnya, saat melewati koridor, Ani terpeleset
karena ia berjalan terburu-buru sementara lantai yang ia lewati baru saja dipel
oleh petugas kebersihan.
3.
Perbuatan berdasarkan kesengajaan dan rasa tanggung jawab.
a.
Perbuatan yang tidak disegaja dan tidak menuntut tanggung jawab.
Misalnya, Bima menguap beberapa kali saat
mengerjakan tugas yang diberikan Bu Ida. Menguap merupakan kegiatan yang tidak
disengaja karena berupa gejala alami pada tubuh manusia dan tentu tidak
menuntut tanggung jawab.
b.
Perbuaatan yang tidak disegaja tetapi memerlukan pertanggungjawaban.
Misalnya, Bima bersin di depan Pak Halim.
Perbuatan yang dilakukan Bima yakni bersin, merupakan perbuatan yang tidak
disengaja karena gejala alami tubuh. Namun, perbuatan tersebut menuntut
tanggung jawab yakni meminta maaf pada Pak Halim karena bersin di depannya yang
merupakan konteks sosial.
c.
Perbuatan yang disengaja dan menuntut tanggung jawab.
Misalnya, Pak Yahya membayar tagihan listrik.
Membayar tagihan listrik merupakan kegiatan yang disengaja sekaligus menuntut
tanggung jawab karena Pak Yahya telah menggunakan listrik dan memiliki kewajban
untuk membayar tagihan listrik tersebut.
E. PERBUATAN KOMUNIKATIF DAN PERBUATAN
NON-KOMUNIKATIF
Setiap perbuatan yang disengaja selalu mempunyai
tujuan. Adanya tujuan dalam perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan menunjukkan bahwa
perbuatan itu mengandung suatu fungsi.
Namun, suatu jenis perbuatan mungkin belum dapat menunjukkan fungsi yang
didukungnya. Fungsi yang dimaksud baru tampak setelah serangkaian perbuatan
terkoordinasi untuk mencapai suatu maksud. Misalnya, untuk mengatakan bahwa
“seseorang sedang makan”, tidak perlu dikatakan bahwa ia mengangkat ke dalam
mulutnya dan diikuti dengan menggerak-gerakkan rahang atas dan rahang bawah dan
seterusnya. Satu per satu perbuatannya itu tidak mempunyai fungsi dan baru setelah satu kebulatan yang
terkoordinasikan maka muncullah fungsi yaitu makan. Demikian pula orang
tidak akan mengatakan bahwa seseorang memegang koran
dan memandangi benda itu dengan gerakan-gerakan matanya dari arah kiri ke kanan
kemudian membolak-balikkan halamannya. Seluruh perbuatan itu mendukung satu
fungsi yaitu membaca.
Perbuatan manusia yang disengaja
dapat dibedakan atas perbuatan komunikatif dan perbuatan nonkomunikatif.
1. Perbuatan Komunikatif
Perbuatan komunikatif merupakan
perbuatan yang melibatkan adanya stimulus dan respon atau secara sederhana
perbuatan yang memerlukan tanggapan. Perbuatan komunikatif dapat berwujud gerak
anggota badan, percakapan, dan perbuatan yang menggunakan alat seperti peluit,
bendera, cahaya, dsb. Perbuatan komunikatif yang berwujud gerak anggota badan
seperti pada saat seseorang berjabat tangan. Orang yang satu memberikan
stimulus dengan mengulurkan tangan kepada orang lain dan orang tersebut
memberikan respon dengan mengulurkan tangan untuk menerima jabatan tangan si
pemberi stimulus. Sementara perbuatan komunikatif berupa percakapan dapat
dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, Merry bertanya pada Aska,
“Sekarang jam berapa” dan Aska pun menjawab “Pukul tujuh”. Merry memberikan
stimulus pada Aska berupa pertanyaan dan Aska memberikan respon berupa jawaban.
Adapun perbuatan komunikatif dengan menggunakan alat salah satunya dapat
dilihat pada kegiatan anggota pramuka. Pada saat sekelompok anggota tersesat
dalam hutan atau terpisah dengan anggota lainnya, maka salah satu dari kelompok
tersebut akan menggunakan peluit untuk mengirim pesan dalam bentuk bunyi yang
berupa sandi morse sehingga anggota lain mengetahui keberadaan anggota yang
tersesat atau yang terpisah. Hal ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan
cahaya lampu pada malam hari.
Pada perbuatan komunikatif, untuk
mengirim pesan seorang
komunikator harus lebih dahulu menata isi pesan menjadi kode (encoding). Kode ini dapat berupa sandi,
lambang, gerakan, ataupun lambang bunyi bahasa. Isi pesan yang telah berwujud kode itulah yang kemudian
diterima oleh komunikan. Pada saat menerima pesan
itu komunikan harus mengkodekan kembali (decoding) apa yang diterimanya dan
kemudian membuat tafsiran (interpretasi)
terhadap pesan itu. Hasil interpretasi terhadap dekoding itu merupakan
tanggapan komunikan terhadap pesan komunikator. Apabila dengan proses seperti
itu pesan yang dikirim telah sesuai dengan penerimaan, maka terjadilah komunikasi. Misalnya, seorang komunikator
ingin mengomunikasikan konsep ‘alat tulis yang berbahan kayu bulat kecil berisi
arang keras’ maka terlebih dahulu ia harus melakukan enkoding dengan
melambangkan konsep tersebut dengan lambang ‘pensil’, pesan yang berupa lambang
‘pensil’ diterima oleh komunikan dengan melakukan dekoding dengan mengkodekan
kembali lambang tersebut dengan konsep ‘alat tulis yang berbahan kayu bulat
kecil berisi arang keras’. Jadi, antara komunikator dan komunikan memiliki
penafsiran yang sama.
Rangsangan atau stimulus dapat
ditanggapi secara baik apabila komunikator dan komunikan memiliki tafsiran yang
sama terhadap lambang yang dipergunakannya. Misalnya, seseorang yang mengangguk
merupakan bentuk untuk mengatakan “ya” dan akan ditafsirkan bahwa orang
tersebut mengatakan “ya”. Namun, adanya perbedaan penafsiran antara komunikator
dan komunikan menunjukkan bahwa komunikasi tersebut tidak efektif karena pesan
tidak diterima dengan baik. Misalnya, seseorang menepuk tangan dengan tujuan
untuk memanggil orang lain, tetapi orang yang dimaksud menginterpretasikan
tepukan tangan sebagai bentuk pemberian semangat atau ungkapan kegembiraan. Berdasarkan
hal tersebut, diciptakanlah berbagai sistem komunikasi seperti sistem tanda
abjad, gerak tangan, tanda bunyi, tanda morse, dsb.
Antara komunikator dan komunikan
terdapat hubungan timbal balik. Seorang
komunikator pada suatu saat akan berlaku sebagai komunikan, begitu pula
sebaliknya. Misalnya,
pada percakapan antara Dino dan Fatir.
Dino : Tir,
kapan kelompokmu tampil?
Fatir :
Setengah jam lagi, kelompokmu kapan?
Dino :
Paling terakhir, lama kan?
Fatir : Iya
lama.
Pada mulanya Dino berperan
sebagai komunikator dan Fatir berperan sebagai komunikan. Namun, percakapan
tersebut berlanjut, Fatir mengambil sebagai komunikator dan Dino sebagai
komunikan.
Proses terjadinya komunikasi antara komunikator dengan
komunikan dapat digambarkan dengan bagan seperti di bawah ini:
2. Perbuatan Nonkomunikatif
Perbuatan nonkomunikatif
merupakan perbuatan yang tidak memerlukan tanggapan. Perbuatan nokomunikatif dapat
berwujud gerak anggota badan seperti seseorag yang sedang membaca novel, makan,
berlari, dsb.
Adakalanya suatu perbuatan yang nonkomunikatif, tetapi
ditanggapi oleh orang lain karena salah interpretasi. Misalnya, Dino sedang berdiri di atas bukit, ia berteriak “Woiii”
untuk melepaskan beban yang ia rasakan. Namun, Kevin yang berada disekitar,
merespon tindakan Dino dengan berteriak “Apa?” karena mengira Dino
memanggilnya. Ada juga bentuk perbuatan nonkomunikatif yang dilakukan oleh seseorang dengan menggerakkan
tangannya ke atas karena mengusir lalat yang ada di atas kepalanya dan dibalas dengan lambaian tangan orang lain karena mengira orang tersebut memberi hormat padanya. Kesalahan-kesalahan
interpretasi semacam itu merupakan gejala umum dalam konteks sosial dan
merupakan kegiatan yang terletak diantara yang nonkomunikatif dan perbuatan
yang komunikatif.
F. KOMUNIKASI VERBAL DAN KOMUNIKASI NONVERBAL
1. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal
adalah komunikasi yang rangsangan (stimulus) berupa verbal dan ditanggapi
dengan tanggapan (respon) verbal. Komunikasi verbal hanya mungkin dilakukan
secara auditif yaitu komunikasi yang menggunakan bunyi artikulasi antara
komunikator dan komunikan. Bunyi
komunikasi dapat berwujud fonem, morfem,
kata, kelompok kata, atau kalimat.
Pada proses komunikasi, sebelum bunyi-bunyi artikulasi itu
sampai pada pengungkapan, diperlukan beberapa tahap
kegiatan.
Tahap tersebut antara lain tahap mengartikulasikan bunyi dan tahap menata bunyi
yang meliputi tahap fatis yakni penataan materi bunyi, penawaran (proporsional)
yakni menata materi bunyi untuk ‘ditawarkan’ pada diri komunikator dan
komunikan untuk ditanggapi, dan ilokutif yakni penataan sedemikian rupa
sehingga komunikan mampu menginterpretasikan materi bunyi tersebut sesuai
dengan kehendak komunikator.
Tahapan-tahapan tersebut dapat
dilihat pada saat seseorang
komunikator mengatakan, “Ambilkan saya segelas air”, maka pertama-tama ia harus
mengartikulasikan 22 bunyi (A, m, b,i,l, k, a, n, s, a, y, a, s, e, g, e, l, a,
s, a, I, dan r).
Kemudian, menata bunyi-bunyi tersebut sedemikian rupa sehingga menjadi empat kata (ambilkan, saya, segelas, dan air) yang disebut tahap fatis, empat kata itu disusun menjadi dua
kelompok kata (ambilkan
saya dan segelas air) yang disebut tahap proporsional, dan dirangkai menjadi sebuah
kalimat
(ambilkan saya segelas air) yang merupakan tahap ilokusi. Apabila komunikan kemudian membawa
segelas air dan diberikan kepada komunikator, maka baik faktor fatis,
proposisional maupun ilokatifnya telah dapat terlaksana secara baik dan
terjadilah komunikasi verbal. Apabila salah satu pentahapan itu kurang memenuhi
syarat maka akan terjadi komunikasi verbal yang kurang lancar atau
tersendat-sendat atau mungkin bahkan terjadi salah tafsir.
2. Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal
adalah komunikasi yang rangsangan (stimulus) berupa nonverbal dan ditanggapi
dengan tanggapan (respon) nonverbal. Sarana komunikasi nonverbal dapat berupa
gerak anggota badan, perubahan mimik, tepuk tangan, menggunakan alat seperti
peluit, dsb. Misalnya, Adi menghadiri sebuah pesta, saat melihat Reza, Adi
melambaikan tangannya pada Reza. Reza yang melihat Adi yang melambaikan tangan
padanya, membalas dengan lambaian tangan juga.
G. KOMUNIKASI
BAHASA
Proses komunikasi bahasa dapat
dilihat pada bagan berikut.
Setiap komunikasi
bahasa terdapat
dua pihak yang terlibat
yaitu pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver). Ujaran (berupa
kalimat atau kalimat-kalimat) yang digunakan untuk menyampaikan pesan (berupa
gagasan, pikiran, saran, dan sebagainya) itu disebut pesan. Pesan tidak lain membawa gagasan yang disampaikan
pengirim(penutur) kepada penerima (pendengar). Setiap proses komunikasi bahasa
dimulai dengan si pengirim merumuskan terlebih dahulu yang ingin diujarkan
dalam suatu kerangka gagasan. Proses ini dikenal dengan istilah semantik encoding. Setelah tersusun
dalam kalimat gramatikal, lalu kalimat yang berisi gagasan tadi diucapkan.
Proses ini disebut phonological encoding.
Kemudian oleh si pendengar atau penerima, ujaran pengirim tadi diterjemahkan
atau decoding. Pada mulanya ujaran tadi berupa stimulus untuk diterjemahkan. Selanjutnya,
proses ini diikuti oleh proses grammatical
decoding dan diakhiri dengan proses semantic
decoding.
Ada dua macam komunikasi bahasa, yaitu komunikasi
searah dan komunikasi dua arah.
1.
Komunikasi searah
Pada komunikasi searah pengirim tetap sebagai pengirim, dan si
pendengar tetap sebagai penerima. Komunikasi searah ini terjadi seperti dalam komunikasi yang bersifat memberitahukan,
khotbah di masjid, ceramah yang tidak diikuti tanya jawab, dan sebagainya.
2.
Komunikasi dua arah
Pada komunikasi dua arah, secara
berganti-gantian si pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima bisa menjadi
pengirim. Komunikasi dua arah ini terjadi, misalnya dalam rapat, perundingan,
diskusi, percakapan
sehari-hari, dan sebagainya.
Bahasa itu dapat mempengaruhi perilaku manusia. Jika si penutur ingin mengetahui respon si pendengar
terhadap tuturannya, dia bisa melihat umpan balik, yang dapat berwujud perilaku
tertentu yang dilakukan pendengar setelah mendengar tuturan si pendengar.
Dengan demikian, umpan balik berfungsi sebagai pengecek respon, yang jika
diperhatikan si penutur dapat menyesuaikan diri dalam menyampaikan pesan
atau tuturan berikutnya.
Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri atas dua
aspek, yaitu aspek linguistik dan aspek nonlinguistik atau paralinguistik. Kedua
aspek ini bekerja sama dalam membangun komunikasi itu. Aspek linguistik
mencakup tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya hal yang akan disampaikan, yaitu semantik (yang didalamnya terdapat makna, gagasan, ide, atau
konsep). Aspek paralinguistik mencakup (1) kualitas ujaran, yaitu pola ujaran
seseorang, seperti falseto (suara
tinggi), staccato (suara
teputus-putus), dan sebagainya; (2) unsure suprasegmental, yaitu tekanan (stress), nada (pitch),
dan intonasi; (3) jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan, anggukan
kepala, dan sebagainya; (4) rabaan, yaitu yang berkenaan dengan indera perasa
(pada kulit).
Aspek linguistik dan paralinguistik tersebut berfungsi
sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentudalam
proses komunikasi.
Komunikasi bahasa atau komunikasi yang menggunakan
bahasa sebagai alatnya mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis
komunikasi lainnya, termasuk yang berlaku pada hewan. Komunikasi dengan gerak
isyarat tangan yang berlaku bagi orang bisu tidak dapat berfungsi dalam keadaan
gelap, sedangkan komunikasi bahasa masih dapat digunakan meski dalam keadaan
gelap. Malah,
melalui bantuan alat-alat
modern dewasa ini sistem komunikasi bahasa telah dapat menembus jarak dan waktu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang
digunakan manusia dalam berinteraksi dengan manusia lain. Bahasa yang digunakan
dalam berinteraksi tidak lepas dari komunikasi. Komunikasi merupakan suatu
bentuk interaksi yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan kepada
orang lain melalui suatu media. Oleh karena itu, hubungan antara bahasa dengan
komunikasi sangat erat. Hal ini dikarenakan bahasa memiliki fungsi utama yakni
untuk berkomunikasi.
Hakikat bahasa yakni sistem lambang bunyi,
arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Bahasa memiliki
keistimewaan yang membedakannya sebagai alat komunikasi manusia dengan makhluk
lain. keistimewaan itu antara lain menggunakan jalur vokal auditif, tersiar ke
segala arah dan penerimaannya terarah, bunyi yang cepat hilang, partisipan
dapat saling berkomunikasi, dapat menjadi umpan balik yang lengkap, memunyai
spesialisasi, lambangnya bermakna, bersifat arbitrer dan konvensional, dapat
dipasahkan menjadi unit-unit satuan, rujukannya bersifat fleksibel, bersifat
terbuka, diperoleh dengan belajar, dapat dipelajari, menyatakan hal yang benar
dan tidak benar, terdiri atas subsistem bunyi dan makna, dapat digunakan untuk
membicarakan bahasa itu sendiri
Komunikasi memiliki tiga komponen utama yakni
partisipan, informasi, dan alat atau media. Komunikasi terdiri atas komunikasi
verbal dan komunikasi nonverbal. Komunikasi verbal merupakan bentuk komunikasi
yang stimulus dan responnya berupa verbal atau artikulasi bahasa. Komunikasi
nonverbal merupakan bentuk komunikasi yang stimulus dan responnya berupa
nonverbal seperti gerak tubuh, alat, dsb. Komunikasi bahasa berlangsung jika
pegirim pesan melakukan enkoding pada sehingga terbentuklah pesan dan diterima
oleh penerima pesan dengan melakukan dekoding pada pesan tesebut.
Manusia memiliki suatu perbuatan yang dapat digolongkan
menjadi perbuatan komunikatif dan nonkomunikatif. Perbuatan komunikatif
merupakan perbuatan yang memerlukan respon atas stimulus yang diberikan,
sementara perbuatan nonkomunikatif merupakan perbuatan yang tidak memerlukan
respon atas stimulus yang diberikan.
B. SARAN
Bahasa dan
komunikasi memiliki hubungan yang sangat erat. Bahasa sebagai alat komunikasi
dan komunikasi dilakukan dengan bahasa. Komunikasi yang efektif adalah
komunikasi yang mampu menyampaikan informasi dengan baik dan diterima oleh penerima
informasi. Salah satu faktor yang memengaruhi komunikasi yakni bahasa.
Penggunaan bahasa yang baik dapat memperlancar suatu komunikasi sehingga
komunikasi dapat berjalan secara efektif. Oleh karena itu, diperlukan latihan
yang banyak dalam berbahasa dan komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2005. Kamus Besar
Bahasa Indonesia Ed. Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka
P., A.Wardihan dan Baharman.2014.Pengantar Linguistik. Makassar:
Fakultas bahasa dan sastra Universitas Negeri Makassar
Saleh, Muhammad dan Mahmudah. 2005. Sosioliguistik. Makassar: Badan Penerbit UNM Makassar
Komentar
Posting Komentar