Contoh Artikel Ilmiah

Pada kesempatan ini, saya memposting contoh artikel ilmiah yang terdapat dalam sebuah makalah berikut.









KUMPULAN ARTIKEL ILMIAH




Oleh:
SHAFARIANA
(1451040002)





                                    Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia                                                                               Kelas A
                    FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA INDONESIA   
                             UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
                                                             2014



KATA PENGANTAR
           
   Puji syukur saya haturkan kepada Allah Yang Maha Esa atas limpahan rahmat yang telah diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Sulastriningsih DJ, M.Hum, selaku dosen Bahasa Indonesia yang telah membimbing saya dan pihak-pihak yang telah mendukung saya dalam menyusun makalah ini.
Makalah yang berjudul “Kumpulan Artikel Ilmiah” disusun dengan tujuan agar pembaca dapat memahami artikel ilmiah dari contoh ilmiah yang. Makalah ini disusun berdasarkan hasil membaca dari berbagai sumber, baik buku maupun internet. Dalam menyusun makalah ini, saya telah berusaha memberikan yang terbaik. Namun, ada kalanya makalah ini terdapat kekurangan, karena saya sebagai manusia tidak luput dari kesalahan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi saya sendiri, dalam kehidupan sehari-hari dan dapat menambah wawasan. Saya berharap pembaca dapat memberi saran dan kritik terhadap makalah ini agar saya kedepannya dapat menyusun makalah lebih baik lagi.
Terima kasih.
                                                               Makassar, 6 November 2014
                                                                                                                             Penulis                
                                 SHAFARIANA



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
I. Pendahuluan 1
II. Isi 2
A.    Artikel Ilmiah Bahasa Indonesia 3
ANALISIS KETERBACAAN WACANA BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK
BAHASA INDONESIA JENJANG SMP 4
B.     Artikel Ilmiah Bahasa Daerah 13
MEKANISME PEMBENTUK VERBA BERAFIKS DALAM BAHASA MAKASSAR 14
C.    Arikel Ilmiah Sastra Indonesia 32
KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA JANGAN MENANGIS INDONESIA KARYA PUTU WIJAYA 33
D.    Artikel Ilmiah Bahasa Daerah 41
GENDER DALAM SYAIR KELONG MAKASSAR 42
III. Penutup 54
DAFTAR PUSTAKA 55






ANALISIS KETERBACAAN WACANA BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK
BAHASA INDONESIA JENJANG SMP

Sitti Natasya Isabela

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
FPBS, Universitas Pendidikan Indonesia
Surel : Natasya.isabela@yahoo.co.id

Abstrak
Penelitian ini mengkaji keterbacaan wacana uraian materi, teks bacaan, instruksi soal serta instrumen soal Buku Sekolah Elektronik (BSE) Bahasa Indonesia jenjang SMP. Dihitung dengan Grafik Fry,Grafik Raygor, dan Tes Klose. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. BSE kelas VII, keterbacaan uraian materi, teks bacaan,dan instrumen soal, jatuh pada kelas 7, mudah dipahami. Instruksi soal dihitung dengan Tes Klose masuk jenjang agak sukar. BSE kelas VIII dihitung dengan Grafik Fry, Grafik Raygor dan Tes Klose, uraian materi,dan instrumen soal, jatuh pada kelas 8, mudah dipahami. Teks bacaan dihitung dengan Grafik Raygor dan Tes Klose jatuh pada kelas 9,4, wacana agak sulit dipahami. Kelas IX dihitung Grafik Fry dan Grafik Raygor, uraian materi dan teks bacaan jatuh pada kelas 9. Dengan Tes Klose uraian materi mudah, teks bacaan agak sukar. Kesimpulan penelitian ini, keterbacaan wacana uraian
materi,teks bacaan, instruksi soal, dan instrumen soal BSE jenjang SMP rata-rata sudah cocok digunakan untuk jenjang masing-masing kelas dan wacana dapat dipahami dengan baik oleh siswa.

Katakunci: keterbacaan wacana, Buku Sekolah Elektronik SMP.
Abstract
The research examines the readibillty form of material, reading text, task instruction and task instrument of Indonesian literature electronic books for junior high school. Calculated with fry graph, raygor graph, and klose test. This research uses qualitative descriptive method. Reading text, task instruction and task instrument is suitably used for 7th grade and the text is easy. The instruction was calculated by klose test in rather difficult. For 8th grade was calculated by fry graph, raygor graph, and klose test, reading text and task instrument is suitably used for 8th grade and discourse easy. Reading text was calculated by raygor graph and klose test used for 9th grade, and discourse rather difficult. for 9,4 grade was calculated by fry graph and raygor graoh, form of material and reading text is for 9th grade. Calculated by klose test discourse of material is easy and reading text is rather difficult. The conclusion reading level in form of material, reading text, task instruction and task instrument has appropriate used for each grade and the text was easy to understand for the student.

Key words :Readibillity, literature electronic books for junior high school.
PENDAHULUAN
Standardisasi dan profesionalisme pendidikan yang sedang dilakukan dewasa ini, menuntut pemahaman berbagai pihak terhadap perubahan yang terjadi dalam berbagai komponen sistem pendidikan. Karena seiring berjalannya waktu, tantangan perkembangan pendidikan di Indonesia semakin kompleks. Hal ini terbukti dengan perubahan sistem kurikulum sebagai proses pembaharuan pendidikan ke jenjang yang lebih baik. Dalam konteks ini, terbentuknya kompetensi peserta didik melibatkan interaksi berkualitas yang dinamis antara sekolah, guru, kurikulum, dan peserta didik. Guru sebagai salah satu faktor yang memengaruhi suksesnya pembelajaran harus menerapkan kurikulum yang berlaku dalam pembelajaran di kelas. Sejalan dengan hal tersebut, Mulyasa (2009: 5) mengungkapkan bahwa sukses tidaknya implementasi kurikulum sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru yang akan menerapkan dan megaktualisasikan kurikulum tersebut dalam pembelajaran (who is behind the classroom).
Melalui buku teks, pembelajaran bisa dilakukan secara teratur, sebab buku teks bisa dijadikan pedoman materi yang jelas. Hal ini terjadi karena siswa membutuhkan referensi atau acuan untuk menggali ilmu agar pemahaman siswa lebih luas sehingga kemampuannya dapat lebih dioptimalkan. Dengan adanya buku teks, siswa dituntun untuk berlatih, berpraktik, atau mencobakan teori-teori yang sudah dipelajari dari buku tersebut. Oleh sebab itu hendaknya buku teks yang digunakan memiliki kualitas dan kuantitas yang memadai. Menurut Tarigan dan Tarigan (1986: 14) “buku teks berkaitan erat dengan kurikulum yang berlaku. Buku teks yang baik haruslah relevan dan menunjang pelaksanaan kurikulum. Lebih dari itu buku teks itu menunjang aktivitas dan kreativitas siswa. Semakin baik kualitas buku teks maka semakin baik pula pengajaran mata pelajaran yang ditunjangnya”.
Saat ini buku teks dapat dengan mudah didapat oleh guru atau bahkan siswa. Salah satu buku teks yang dapat mudah diakses adalah Buku Sekolah Elektronik (BSE). BSE memiliki peranan penting dalam proses belajar mengajar pada masa sekarang. Siswa yang dituntut aktif dalam proses belajar mengajar dalam kelas, disarankan menggunakan buku teks sebagai pegangan yang akan memacu keaktifan mereka di kelas.
Di dalam buku teks terdapat materi mengenai kegiatan berbahasa yang salah satunya merupakan standar kompetensi membaca, kemampuan membaca adalah kemampuan bahasa yang reseftif kedua setelah menyimak. Dalam dunia pendidikan aktivitas dan tugas membaca merupakan suatu hal yang penting. Hal ini dikarenakan, sebagian besar pemerolehan ilmu dilakukan siswa melalui proses membaca. Pada hakikatnya, kegiatan membaca merupakan bentuk komunikasi antara penulis dan pembaca dengan bahan bacaan sebagai medianya. Agar pesan penulis atau isi bacaan dapat diterima oleh pembaca sesuai dengan yang dimaksud penulisnya, diperlukan seperangkat kondisi atau persyaratan bagi sebuah bacaan. Salah satu persyaratan dan tampaknya yang paling menentukan, adalah tingkat keterbacaan bahan bacaan. Pesan penulis tidak akan sampai atau dapat diterima pembaca bila pembaca sulit memahami bacaan yang ditulis oleh penulisnya. Untuk itu, tingkat keterbacaan suatu bacaan harus sesuai dengan kemampuan membaca pembacanya. Hal ini dikarenakan keterbacaan sangat berpengaruh di dalam sebuah buku teks. Dengan adanya keterbacaan, siswa diharapkan lebih mudah memahami isi bacaan yang ada dalam buku teks tersebut. Tingkat keterbacaan sebuah wacana akan memberi dampak pada tingkat kemampuan
Membaca dan pemahaman terhadap bacaan. Hal ini didasari karena kemampuan para siswa untuk memahami suatu bacaan berbeda-beda. Pemerintah telah berupaya keras dalam memperbaiki mutu buku-buku pendidikan baik pengendalian mutu buku-buku teks maupun penilaian yang dilakukan terhadap buku teks yang layak digunakan di sekolah. Namun, bukan berarti buku-buku yang lolos penilaian itu benar-benar bermutu. Karena, pada kenyataannya pusat perbukuan departemen pendidikan nasional tidak secara spesifik menyoroti teks-teks bacaan ( wacana) yang dijadikan bahan ajar dan alat
evaluasinya. Padahal, hampir dalam setiap buku teks bahasa dan sastra Indonesia jenjang SD, SMP dan SMA, wacana merupakan bahan ajar membaca yang dijadikan  pintu masuk dalam setiap kemasan unit pembelajaran. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah pemilihan wacana sebagai bahan ajar membaca dan alat evaluasinya perlu dilakukan secara cermat.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memunculkan temuan apakah buku-buku tersebut tergolong sukar, sedang, atau mudah dipahami pembacanya. Dilihat dari teks-teks bacaan ( wacana) uraian materi, teks bacaan, isntruksi soal maupun instrumen soal yang tersaji dalam buku. Penyusunan keempat komponen alat penting tersebut dalam buku teks sekiranya sangat berpengaruh pada pemahaman siswa terhadap materi yang ingin disampaikan oleh guru. Maka dari itu, kita harus melihat bagaimanakah sebenarnya keterbacaan uraian materi, teks bacaan, instruksi soal dan instrumen soal itu tersaji dalam buku buku teks bahasa dan sastra Indonesia SMP. Apakah keempat komponen itu cukup berkualitas sehingga mampu merangsang kemampuan berpikir kritis serta menimbulkan pemahaman keterbacaan pada siswa. Karena, pada dasarnya semakin mudah sebuah teks atau bahan bacaan dapat dipahami oleh siswa, keterbacaan teks atau bahan bacaan tersebut tinggi (baik). Sebaliknya, semakin sulit sebuah teks atau
bahan bacaan dapat dipahami oleh siswa, keterbacaan teks atau bahan bacaan tersebut rendah (kurang baik).

METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini dipilih dalam upaya mendeskripsikan keterbacaan wacana Buku Sekolah Elektronik jenjang SMP berdasarkan uraian materi, teks bacaan, instruksi soal, serta instrumen soal.
Teknik yang digunakan penulis dalam memperoleh data yaitu dengan menggunakan Teknik observasi. Dalam hal ini, Teknik observasi dilakukan dengan cara melakukan penelitian ke berbagai sekolah, untuk mengetahui buku sekolah Bahasa Indonesia apa yang sering digunakan untuk pembelajaran di kelas. Dari berbagai sekolah yang di observasi, Buku Sekolah Elektronik merupakan buku yang di pakai sebagai sumber belajar di kelas. Selain itu peneliti mengobservasi buku-buku karangan siapa saja yang sering digunakan.
Sumber data penelitian ini berasal dari teks wacana Buku Sekolah Elektronik bahasa Indonesia, yaitu Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP/MTS kelas VII karangan Maryati- Soetopo, Berbahasa dan Bersastra Indonesia kelas VIII karangan Asep Yudha Wirajaya dan Sudarmawati, terakhir Bahasa Indonesia untuk SMP/MTS kelas IX karangan Atikah Anindyarini, Suwono, dan Suhartanto. Ketiga buku ini dijadikan sampel penelitian, karena berdasarkan observasi yang peneliti lakukan ke sekolah-sekolah, ketiga buku ini merupakan buku yang banyak digunakan di jenjang Sekolah Menengah Pertama di berbagai daerah. Setelah teks wacana tersebut terkumpul, penulis memilih dan menyeleksi beberapa teks yang layak untuk digunakan dalam uji keterbacaan wacana. Layak atau tidaknya ditentukan oleh keterbacaan dan kesesuaian isi teks tersebut untuk siswa jenjang SMP. Selain wacana teks bacaan yang akan dianalisis, dalam penelitian ini pun akan dianalisis wacana uraiana materi, instruksi soal, serta instrumen soal yang ada di dalam ketiga buku yang sudah dijadikan sampel penelitian tersebut.
Prosedur Teknik analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini, akan diuraikan sebagai berikut:
1)        Melakukan observasi awal. Pada observasi awal ini penelitian akan dilakukan dengan cara melakukan penelitian ke berbagai sekolah mengenai penggunaan Buku Sekolah Elektronik yang banyak digunakan di sekolah sebagai objek penelitian.
2)        Mengumpulkan berbagai macam Buku Sekolah Elektronik bahasa Indonesia yang sering digunakan di sekolah Sekolah Menengah Pertama untuk jenjang kelas VII,VIII, dan IX.
3)        Mengumpulkan wacana uraian materi, teks bacaan, isntruksi soal, dan instrumen soal yang dipilih sebagai sampel penelitian yang ada di dalam Buku Sekolah Elektronik mata pelajaran bahasa Indonesia kelas VII, VIII, dan IX.
4)        Analisis data, dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:
a. Tahap analisis keterbacaan wacana berdasarkan formula fry.
b. Tahap analisis keterbacaan wacana berdasarkan formula Grafik Raygor.
c. Tahap analisis keterbacaan wacana berdasarkan Teknik Tes Klose (Cloze Test).
5)        Mengolah dan mengkaji hasil analisis data dari Grafik Fry, Grafik Raygor serta Teknik Tes Klose.
6)        Menyimpulkan hasil analisis data.

HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian analisis keterbacaan wacana pada Buku Sekolah Elektronik Bahasa Indonesia Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP/MTS kelas VII karangan Maryati-Sutopo ,Buku Sekolah Elektronik Bahasa Indonesia Berbahasa dan Bersastra Indonesia Indonesia pada jenjang kelas VIII karangan Asep Yudha Wirajaya dan Sudarmawati Buku Sekolah Elektronik Bahasa Indonesia untuk SMP/ MTS kelas IX karangan Atikah Anindyarini, Suwono, dan Suhartanto dengan menggunakan formula Grafik Fry, Grafik Raygor, dan Teknik Tes Klose penulis menyimpulkan hal-hal berikut.

Keterbacaan Wacana Buku Sekolah Elektronik Bahasa Indonesia dengan
Menggunakan Formula Grafik Fry
Pada Keterbacaan wacana Buku Sekolah Elektronik kelas VII karangan Maryati Soetopo, berdasarkan data keterbacaan wacana yang diperoleh dengan menggunakan Formula Grafik Fry, ditemukan hasil keterbacaan wacana pada uraian materi rata-rata setelah diplotkan jatuh pada jenjang kelas 7. Artinya uraian materi yang ada pada Buku Sekolah Elektronik kelas VII ini, cocok digunakan di SMP kelas VII. Selanjutnya teks bacaan pada Buku Sekolah Elektronik ini setelah diplotkan rata-rata jatuh pada kelas 7,2. Sejalan dengan uraian materi, teks bacaan yang ada pada buku ini pun cocok digunakan untuk SMP kela VII. Instruksi soal pada buku ini karena tidak memiliki jumlah perkataan 100 kata, maka tidak bisa dihitung menggunakan Grafik Fry. Sementara itu, instrumen soal pada Buku Sekolah Elektronik ini, setelah diplotkan rata-rata jatuh pada kelas 7,5. Berdasarkan hal tersebut, instrumen soal pada buku ini pun cocok digunakan untuk jenjang kelas VII dihitung dengan menggunaka Formula keterbacaan wacana Grafik Fry.
Berdasarkan hasil analisis keterbacaan wacana dengan menggunakan Grafik Fry pada Buku Sekolah Elektronik kelas VIII karangan Asep Yudha Wirajaya dan Sudarmawati, secara keseluruhan penggunaan wacana yang ada di dalam Buku Sekolah Elektronik yang digunakan cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VIII. Hal ini didasari oleh penghitungan menggunakan Grafik Fry pada wacana uraian materi yang dianalisis pada buku ini, setelah diplotkan rata-rata jatuh pada kelas 8. Berdasarkan hal tersebut, buku ini cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VIII. Selanjutnya teks bacaan pada buku karangan Asep Yudha ini, setelah dianalisis rata-rata jatuh pada kelas 7,5. Menurut Grafik Fry, berdasarkan hal tersebut, teks bacaan ini cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VIII. Sementara itu, instrumen soal pada Buku SekolahElektronik ini, setelah diplotkan rata-rata jatuh pada kelas 8. Didasari hal tersebut, instrumen soal pada buku ini, cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VIII.
Hasil analisis data keterbacaan wacana pada Buku Sekolah Elektronik SMP kelas IX Karangan Atikah Anindyarini, Suwono, dan Suhartanto dengan menggunakan Grafik Fry , rata-rata pada uraian materi setelah diplotkan jatuh pada kelas 8. Berdasarkan hal tersebut, wacana pada uraian materi ini cocok digunakan untuk siswa SMP kelas IX, Selanjutnya, teks bacaan pada buku ini, setelah diplotkan, rata-rata jatuh pada kelas 8,6. Sejalan dengan wacana uraian materi, wacana teks bacaan pada buku ini cocok digunakan untuk siswa SMP kelas IX.. Dari hasil temuan data uraian materi dan teks bacaan berdasarkan Grafik Fry tersebut,Buku Sekolah Elektronik karangan Atikah Anindyarini ini, memiliki keterbacaan wacana yang tinggi, karena cocok digunakan sesuai jenjang kelas IX dan dapat dipahami oleh siswa.

Keterbacaan Wacana Buku Sekolah Elektronik Bahasa Indonesia dengan
Menggunakan Formula Grafik Raygor
Dari hasil analisis keterbacaan wacana Buku Sekolah Elektronik kelas VII karangan Maryati Soetopo menggunakan Formula Grafik Raygor, pada keterbacaan wacana uraian materi, setelah diplotkan rata-rata jatuh pada kelas 8. Berdasarkan hal tersebut, dihitung dengan menggunakan Grafik Raygor buku karangan Maryati Soetopo ini cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VII. Selanjutnya, keterbacaan wacana teks bacaan pada buku ini, setelah diplotkan rata-rata jatuh pada kelas 7,8. Didasari hal tersebut, keterbacaan wacana teks bacaan buku ini cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VII. Sementara itu untuk instruksi soal, tidak dapat dihitung menggunakan Grafik Raygor, karena kurang dari seratus perkataan. Sementara itu, analisis instrumen soal Buku Sekolah Elektronik ini, setelah diplotkan menggunakan Grafik Raygor rata-rata jatuh pada kelas 8. Berdasarkan hal tersebut, sejalan dengan uraian materi dan teks bacaan, instrumen soal dalam Buku Sekolah Elektronik karangan Maryati Soetopo ini pun cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VII.
Berdasarkan hasil analisis Buku Sekolah Elektronik kelas VIII karangan Asep Yudha Wirajaya dan Sudarmanti terhadap keterbacaan wacana uraian materi pada buku ini, setelah diplotkan rata-rata jatuh pada kelas 8,3. Sesuai dengan Grafik Raygor, wacana uraian materi pada Buku Sekolah Elektronik karangana Adep Yudha ini, cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VIII. Selanjutnya, wacana teks bacaan pada buku ini, setelah diplotkan rata-rata untuk wacana teks bacaan jatuh pada kelas 9,4. Berdasarkan hal tersebut, dengan menggunakan Grafik Raygor, untuk keterbacaan wacana teks bacaan pada buku ini, dirasa kurang cocok untuk digunakan siswa SMP kelas VIII. Sementara itu untuk perhitungan keterbacaan wacana instrumen soal pada Buku Sekolah Elektronik karangan Asep Yudha Wirajaya ini, setelah diplotkan rata-rata jatuh pada kelas 8,8. Berdasarkan hal tersebut, untuk keterbacaaan wacana instrumen soal pada buku ini, cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VIII.
Selanjutnya, berdasarkan hasil analisis keterbacaan wacana uraian materi pada buku kelas IX karangan Atikah Anindyarini dengan menggunakan Formula Grafik Raygor, setelah diplotkan rata-rata jatuh pada kelas 10,berdasarkan hal tersebut untuk keterbacaan wacana pada buku ini cocok digunakan untuk siswa SMP kelas IX. Selanjutnya, dalam wacana teks bacaan yang dianalisis,setelah diplotkan terhadap Grafik Raygor, rata-rata jatuh pada kelas 9. Didasari hal tersebut, wacana teks bacaan pada buku ini cocok digunakan untuk siswa SMP kelas IX.


Keterbacaan Wacana Buku Sekolah Elektronik Bahasa Indonesia dengan
Menggunakan Teknik Tes Klose (Cloze Test)
Dari hasil analisis Buku Sekolah Elektronik kelas VII karangan Maryati Soetopo dengan menggunakan Teknik Tes Klose, didapatkan hasil keterbacaan wacana pada teks uraian materi setelah diplotkan terhadap jenjang kesukaran Teknik Tes Klose rata-rata jatuh pada jenjang >50% “Mudah” (independen level). Begitupun untuk wacana teks bacaan setelah diplotkan pada jenjang kesukaran Teknik Tes Klose rata-rata jatuh pada jenjang >50% “Mudah” (independen level) dalam arti pembaca mengerti isi bacaan. Selanjutnya untuk instruksi soal pada Buku Sekolah Elektronik karangan Maryati Soetopo dihitung menggunakan Teknik Tes Klose jatuh pada jenjang >35%-50% “Agak Sukar” (instrucsional level) dalam arti pembaca memerlukan bantuan untuk mengerti isi bacaan. Sementara itu, untuk isntrumen soal pada buku ini, rata-rata jatuh pada jenjang
>50% “Mudah” (independen level) dalam arti pembaca mengerti isi bacaan. Dari analisis teks bacaan yang diujikan, baik uraian materi, teks bacaan, instruksi soal, dan istrumen soal, secara keseluruhan siswa dapat mengisi tes uji rumpang yang diberikan dengan baik. Artinya wacana teks bacaan yang ada di dalam Buku Sekolah Elektronik tersebut memili keterbacaan wacananya tinggi.
Hasil uji tingkat keterbacaan Buku Sekolah Elektronik kelas VIII, dengan menggunakan Teknik Tes Klose terhadap uraian materi, teks bacaan, instruksi soal, serta istrumen soal memiliki tingkat kesulitan yang sama. Dari hasil analisis keterbacaan wacana Buku Sekolah Elektronik karangan Asep Yudha Wirajaya dan Sudarmawati untuk uraian materi, teks bacaan, dan isntrumen soal setelah diplotkan terhadap jenjang kesukaran Teknik Tes Klose rata-rata jatuh pada jenjang >50% “Mudah” (independen level) dalam arti pembaca mengerti isi bacaan.
Berdasarkan hasil analisis terhadap Buku Sekolah Elektronik kelas IX Karangan Atikah Anindyarini, Suwono, dan Suhartanto, keterbacaan wacana yang ada pada uaraian materi, jatuh pada jenjang jenjang >50% “Mudah” (independen level) dalam arti pembaca mengerti isi bacaan. Selanjutnya, wacana teks bacaan yang dihitung keterbacaan wacananya menggunakan Teknik Tes Klose, rata-rata jatuh pada jenjang >35%-50% “Agak Sukar” (instrucsional level) dalam arti pembaca memerlukan bantuan untuk mengerti isi bacaan. Berdasarkan hasil analisis tersebut, untuk uraian materi pada Buku Sekolah Elektronik karangan Atikah anindyarini sudah dapat dipahami dengan baik oleh siswa, artinya wacana uraian materi pada buku ini, memiliki tingkat keterbacaan wacana yang tinggi. Namun, untuk wacana teks bacaan yang jatuh pada jenjang >35%-50% “Agak Sukar” (instrucsional level), pembaca atau siswa masih memerlukan bantuan untuk mengerti isi bacaan, sehingga dirasa memiliki keterbacaan wacana yang rendah.

PEMBAHASAN
Berdasarkan data keterbacaan wacana yang diperoleh dengan menggunakan Formula Grafik Fry, pada Buku Sekolah Elektronik kelas VII Karangan Maryati Soetopo ditemukan hasil keterbacaan wacana pada uraian materi, teks bacaan, serta instrumen soal secara keseluruhan wacana yang digunakan dalam setiap pelajaran cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VII. Hal ini didasari oleh rata-rata keterbacaan wacana pada setiap aspek di dalam buku ini, jatuh pada kelas 7. Selanjutnya, keterbacaan wacana uraian materi, teks bacaan, dan instrumen soal dengan menggunakan Grafik Fry pada Buku Sekolah Elektronik kelas VIII karangan Asep Yudha Wirajaya dan Sudarmawati, setelah dihitung rata-rata jatuh pada kelas 8. Berdasarkan hal tersebut, rata-rata keterbacaan wacana uraian materi, teks bacaan, serta instrument soal pada buku ini sudah cocok digunakan untuk siswa kelas VIII. Sementara itu, Buku Sekolah Elektronik karangan Atikah Anindyarini kelas IX, dihitung dengan menggunakan Grafik Fry setelah diplotkan untuk wacana uraian materi dan teks bacaan jatuh pada kelas 9. Berdasarkan hal tersebut, keterbacaan wacana pada Buku Sekolah Elektronik ini sudah cocok digunakan untuk siswa kelas IX dan memiliki
keterbacaan wacana yang tinggi. Dilihat dari hasil analisis berdasarakan formula keterbacaan Grafik Fry, wacana-wacana yang ada pada Buku Sekolah Elektronik jenjang SMP kelas VII memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi.
Dari hasil analisis keterbacaan Buku Sekolah Elektronik kelas VII karangan Maryati Soetopo menggunakan Formula Grafik Raygor, pada semua keterbacaan wacana yang ada di dalamnya cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VII. Hal ini berdasarkan data analisis yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap teks bacaan, yang ada di dalam Buku Sekolah Elektronik tersebut. Rata-rata keterbacaan wacana uraian materi, teks bacaan serta instrumen jatuh pada kelas 8. Berdasarkan hasil analisis terhadap Buku Sekolah Elektronik kelas VIII karangan Asep Yudha Wirajaya dan Sudarmanti terhadap keterbacaan wacana uraian materi dan serta instrumen dengan menggunakan Grafik Raygor, rata-rata jatuh pada kelas 8. Sementara itu, untuk wacana teks bacaan dirasa memiliki keterbacaan wacana yang rendah karena setelah diplotkan jatuh pada kelas 9,4 dan tidak cocok digunakan untuk siswa kelas VIII. Hal ini di dasari oleh banyaknya jumlah kalimat sulit yang ada pada wacana dalam Buku Sekolah Elektronik kelas VIII karangan Asep Yudha Wirajaya dan Sudarmanti yang jauh lebih banyak pada ketentuan seharusnya. Berdasarkan analisis keterbacaan wacana pada Buku
Sekolah Elektronik kelas IX karangan Atikah Anindyarini, setelah diplotkan rata-rata keterbacaan wacana uraian materi dan teks bacaan sudah cocok digunakan untuk siswa kelas IX.
Dari hasil analisis Buku Sekolah Elektronik kelas VII karangan Maryati Soetopo dengan menggunakan Teknik Tes Klose yang diujikan terhadap beberapa Sekolah Menengah Pertama di kota Bandung, didapat hasil keterbacaan wacana pada teks uraian materi,teks bacaan, dan instrumen soal sudah dapat dipahami siswa dengan baik. Namun, pada keterbacaan wacana instruksi soal setelah dihitung menggunakan Teknik Tes Klose masuk pada jenjang agak sukar atau instrucsional level, artinya siswa masih memerlukan bantuan untuk memahami isi bacaan. Hasil uji tingkat keterbacaan Buku Sekolah Elektronik kelas VIII, dengan menggunakan Teknik Tes Klose terhadap uraian materi dan istrumen soal memiliki tingkat kesulitan yang sama. Dari hasil analisis kedua aspek tersebut, siswa sudah dapat memahami wacana dengan baik. Namun, pada teks bacaan setelah dihitung menggunakan Teknik Tes Klose masuk pada jenjang agak sukar
atau instrucsional level, artinya siswa masih memerlukan bantuan untuk memahami isi bacaan. Berdasarkan hasil analisis terhadap Buku Sekolah Elektronik kelas IX Karangan Atikah Anindyarini, Suwono, dan Suhartanto, keterbacaan wacana pada uraian materi rata-rata sudah mudah dipahami siswa. Sementara itu, untuk keterbacaan wacana teks bacaan, siswa masih dirasa memerlukan bantuan untuk memahami teks bacaan karena rata-rata wacana teks bacaan berada pada tingkat agak sukar atau instrucsional level.

PENUTUP
Pada simpulan ini akan dipaparkan mengenai hasil keterbacaan wana Buku Sekolah Elektronik kelas VII,VIII, dan IX Sekolah Menegah Pertama. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan keterbacaan wacana pada Buku Sekolah Elektronik bahasa Indonesia jenjang SMP dengan menggunakan 3 formula keterbacaan wacana, didapatkan hasil sebagai berikut.
1)      Pada Keterbacaan wacana Buku Sekolah Elektronik kelas VII karangan Maryati Soetopo, didapatkan hasil analisis keterbacaan wacana uraian materi,teks bacaan,dan instrumen soal dengan menggunakan Formula Grafik Fry 100% cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VII. Selanjutnya,hasil analisis keterbacaan wacana pada Buku Sekolah Elektronik kelas VIII karangan Asep Yudha Wirajaya dan Sudarmawanti dengan menggunakan Formula keterbacaan Grafik Fry setelah diplotkan, 100% cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VIII. Terakhir, keterbacaan wacana pada Buku Sekolah Elektronik kelas IX karangan Atikah Anindyarini, Suwono, dan Suhartanto dihitung dengan menggunakan Grafik Fry, 100% cocok digunakan untuk siswa SMP kelas IX menurut perhitungan Grafik Fry.
2)      Berdasarkan hasil analisis data keterbacaan wacana dengan menggunakan Grafik Raygor pada Buku Sekolah Elektronik kelas VII karangan Maryati Soetopo, didapatkan hasil dari keterbacaan wacana uraian materi , teks bacaan, dan instrumen soal setelah diplotkan, 100% cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VII. Hasil analisis Buku Sekolah Elektronik kelas VIII karangan Asep Yudha Wirajaya dan Sudarmawanti dengan menggunakan grafik raygor, keterbacaan wacana uraian materi dan isntrumen soal setelah diplotkan jatuh pada kelas 8,5. Sementara itu, pada keterbacaan wacana teks bacaan setelah diplotkan rata-rata jatuh pada kelas 9,4. Berdasarkan hal tersebut, untuk keterbacaan wacana teks bacaan dirasa kurang cocok digunakan untuk siswa SMP kelas VIII. Pada buku Sekolah Elektronik kelas IX karangan Atikah Anindyarini Suwono, dan Suhartanto analisis keterbacaan wacana uaraian materi dan teks bacaan setelah diplotkan, 100% cocok digunakan untuk siswa SMP kelas IX.
3)      Keterbacaan wacana pada Buku Sekolah Elektronik kelas VII karangan Maryati Soetopo berdasarkan uraian materi, teks bacaan,dan instrumen soal setelah dihitung 100% masuk pada tingkat mudah atau independen level. Namun, keterbacaan wacana instruksi soal pada Buku Sekolah Elektronik kelas VII, masuk pada tingkat kesulitan agak sukar atau instructional levelSelanjutnya, pada Buku Sekolah Elektronik kelas VIII karangan Asep Yudha Wirajaya dan Sudarwanti, seteleh dianalisis menggunakan Tes Klose, keterbacaan wacana uraian materi, dan instrumen soal, setelah dihitung masuk pada tingkat mudah atau independen level. Namun, pada keterbacaan wacana teks bacaan masuk pada tingkat kesulitan agak sukar atau instructional level. Sementara itu, keterbacaan wacana pada Buku Sekolah Elektronik kelas IX karangan Atikah Anindyarini, Suwono, dan Suhartanto, pada keterbacaan wacana uraian materi setelah dianalisis jatuh pada tingkat kesulitan mudah atau independen level. Sedangkan keterbacaan wacana teks bacaan setelah dianalisis jatuh pada tingkat kesulitan agak sukar atau instructional level.
Dari penelitian ini, peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut.
1)      Peneliti menyarankan agar penelitian mengenai ananlisis tingkat keterbacaan wacana perlu ditingkatkan dalam rangka meningkatkan keterbacaan wacana pada mata pelajaran bahasa Indonesia dalam berbagai jenjang pendidikan.
2)      Peneliti berharap agar penelitian mengenai tingkat keterbacaan wacana lebih ditindaklanjuti, demi terciptanya kesesuaian antara teks wacana yang disajikan dengan jenjang pensesuai didikan siswa yang membaca wacana tersebut, sehingga keterbacaan wacana pada setiap teks wacana uraian materi, teks bacaan, instruksi soal, dan intrumen soal dapat lebih dipahami siswa
3)      Bagi guru, harus lebih cermat dan teliti memilih buku teks yang digunakan. Dengan sesuainya buku teks yang digunakan maka akan mepermudah proses pembelajaran di kelas.

PUSTAKA RUJUKAN
Anindyarini, Atikah,dkk.2008.Bahasa Indonesia untuk SMP/ MTS kelas IX.Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas.
Harjasujana, A.S dan Yeti Mulyati.1996.Membaca 2.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.









                                                 MEKANISME PEMBENTUK VERBA BERAFIKS                                              DALAM BAHASA MAKASSAR
                                                                                      Johar Amir                                                                                                                                Universitas Negeri Makassar                                                                                               Jalan Daeng Tata Raya, Kampus Parangtambung, Makassar                                             email: johar.amir.unm@gmail.com

Abstract: The Mechanism of Forming Verbs with Affixes in Makassar Languange. This reasearch is the library research by using descrptive approach. This research aimed t describe mechanism of forming erbs in Makassar languange. The technique of collecting the data were: reading technique, taking notes and the technique of listening and speaking. The result of this research showed that there were four affixes that used to form verbs in Makassar language. Those are: prefix, suffix, konfix, and infix. (1) Prefix covers: aK-, aN-, Pa-, pi-, si-, taK-, paka-, appa-, appi-, appaka-, sipaka-, pasaN-, appasi-, nipasiN-, nipa-, nipi-, and sipa-. (2) Suffix covers: suffix –i and suffix –aÅ‹. (3) Konfix covers: konfix aK-i, aN-i, aK-aÅ‹, aN-ang, ni-i, ni-aÅ‹, pi-i, paK-i, si-i, and piti-i. (4) Infix covers: -um-, -im-, -ar-, -ul-, and –al-.

Abstrak: Mekanisme Pembentukan Verba Berafiks dalam Bahasa Makassar. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan mekanisme pembentukan verba dalam bahasa Makassar. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah teknik baca, catat, dan teknik simak libat cakap. Hasil peneltian ini ditemukan ada empat macam afiks atau imbuhan yang digunakan untuk menurunkan verba dalam bahasa Makassar, yaitu prefiks, sufiks, konfiks, dan infiks. (1) Prefiks meliputi: aK-, aN-, Pa-, pi-, si-, taK-, paka-, appa-, appi-, appaka-, sipaka-, pasaN-, appasi-, nipasiN-, nipa-, nipi-, dan sipa-. (2) Sufiks meliputi: sufiks –i dan sufiks –aÅ‹. (3) Konfiks meliputi: konfiks aK-i, aN-i, aK-aÅ‹, aN-aÅ‹, ni-i, ni-aÅ‹, pi-i, paK-i, si-i, dan piti-i. (3) Infiks meliputi: -um-, -im-, -ar-, -ul-, dan –al-.

Kata kunci : pembentukan verba, afiks, bahasa Makassar

            Salah satu bahasa alami yang tetap dipelihara dan dipergunakan oleh penuturnya, baik secara lisan maupun tertulis, adalah bahasa Makassar. Sebagaimana bahasa umumnya, bahasa Makassar juga mengenal aspek morfologis, yaitu struktur bahasa yang secara hierarki dapat mengalami perubahan akibat perkembangan yang dialami bahasa itu sendiri. proses perubahan morfologis itu dapat berupa afiksasi, reduplikasi, pemajemukan, perubahan zero (Kridalaksana,1992:45).
            Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar. Ada proses ini terlihat unsur-unsur: a) dasar atau bentuk dasar, b) afiks, c) makna gramatikal yang dihasilkan (Chaer,2008:177). Ramlan (1985:50) mengemukakan bahwa afiks adalah suatu satuan gramatikal terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesangguan yang melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru.
            Salah satu jenis kata yang dapat dibentuk melalui afiksasi adalah kata kerja (verba). Verba merupakan unsur yang sangat penting dalam kalimat karena dalam kebanyakan hal verba berpengaruh besar terhadap unsur-unsur tersebut. Makna yang terkandung dalam verba dapat pula muncul karena adanya afiksasi. Apabila ada suatu verba dan ditambahkan afiks tertentu, akan muncul makna tambahan.
METODE
            Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dengan menggunakan pendekatan deskriptif dan data yang digunakan untuk menunjang pembahasan dalam makalah ini dikutip dari buku-buku bacaan berbahasa Makassar, dan tuturan lisan masyarakat Makassar. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah teknik baca, catat, dan teknik simak libat cakap.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Proses Penurunan Verba dengan Afiksasi
            Ada empat macam afiks atau imbuhan yang dipakai utuk menurunkan verba dalam bahasa Makassar, yaitu: prefiks, sufiks, konfiks, dan infiks.
Prefiks
            Prefiks (awalan) adalah afiks yang diletakkan di muka dasar. Dalam bahasa Makassar terdapat delapan belas prefiks pembentuk verba yaitu: aK-, aN-, Pa-, pi-, si-, taK-, paka-, appa-, appi-, appaka-, sipaka-, pasaN-, appasi-, nipasiN-, nipa-, nipi-, dan sipa-.
Prefiks aK-
            Prefiks aK- dapat mengalami perubahan bentuk (alomorf) sesuai dengan fonem awal dasar kata yang dilekatinya. Proses berubahnya suatu fonem menjadi fonem lain sesuai dengan fonem awal atau fonem yang mendahuluinya dinamakan morfofonemis. Berikut in adalah kaidah morfofonemik untuk prefiks aK-.
            Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /k/, bentuk aK- menjadi ak-.
Contoh:
(1)   kuta?naÅ‹   à        akkuta?naÅ‹      ‘bertanya’
(2)   kio?          à        akkio?              ‘memanggil’
(3)   kanre        à        akkanre            ‘terbakar’
(4)   kape?        à        akkape?           ‘mengipas’
Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /b/, /j/, /r/, bentuk aK- menjadi a?-.
Contoh:
(5)   boya         à        a?boya             ‘mencari’
(6)   baju          à        a?baju              ‘memakai baju’
(7)   je?ne?       à        a?je?ne?           ‘mandi’
(8)   jappa         à        a?jappa            ‘berjalan’
(9)   rua            à        a?rua                ‘berdua’
Jika ditambahkan pada dasaryang dimulai dengan fonem /c/, /l/, /t/, /s/, dan /p/, fonem awal kata dasar itu mengalami geminasi (penggandaan).
Contoh:
(10)         cokko              à        accokko           ‘bersembunyi’
(11)         cini?                 à        accini?             ‘melihat’
(12)         lappa?              à        allappa?           ‘melipat’
(13)         lonjo?              à        allonjo?            ‘menyusun’
(14)         lole                  à        allole                ‘berteman’
(15)         tayaÅ‹               à        attayaÅ‹            ‘menantu’
(16)         tallu                 à        attallu              ‘bertiga’
(17)         sulu?                à        assulu?             ‘keluar’
(18)         suro                 à        assuro              ‘menyuruh’
(19)         piwali              à        appiwali           ‘menjawab’
(20)         pa?jeko            à        appa?jeko        ‘membajak’
Untuk membentuk kata kerja, prefiks aK- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa: (a) kata kerja sebagai penguatan atau dengan makna tambahan, seperti pada data (1) sampai dengan (5), (8), (10), sampai dengan (13), (15), (17) sampai dengan (20); (b) kata benda, sepert pada data (6), (7), dan (14); dan (c) kata bilangan, seperti pada data (9) dan (16).
Prefiks aK- berfungsi membentuk kata kerja aktif, baik transtif maupun intransitif. Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhannya, antara lain: (a) melakukan perbuatan yang tersebut pada kata dasar seperti pada data (1), (2), (4), (5); (b) menyatakan kumpulan seperti pada data (16); (c) menyatakan keadaan seperti pada data (3); dan (d) menggunakan hal yang tersebut pada kata dasar seperti pada data (6).
Prefiks aN-
            Prefiks aN- dapat mengalami perubahan bentuk sesuai dengan fonem awal dasar kata yang dilekatinya. Alomorf prefiks aN- adalah am-, an-, dan aÅ‹. Untuk membentuk kata kerja aktif prefiks aN- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa: kata kerja, kata benda, dan kata sifat. Berikut ini adalah kaidah morfofonemik untuk prefiks aN-.
Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /b/, /p/, /m/, bentuk aN- menjadi am-. Fonem /b/ dan /p/ di awal kata mengalami peluluhan menjadi fonem /m/. Jadi, fonem /m/ mengalami geminasi (penggandaan).
Contoh:
(21)         biÅ‹kuÅ‹             à        ammiÅ‹kuÅ‹
(22)         bu?bu?             à        ammu?bu?      
(23)         paÅ‹kulu?          à        ammaÅ‹kulu?
(24)         pela?                à        ammela?
(25)         makkala?         à        ammakkala?
(26)         mempo            à        ammempo
Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /n/, /j/, /r/, /n/, /t/, /s/, dan /k/ bentuk aN- tetap menjadi an-. Fonem /t/ di awal kata pada umumnya luluh menjadi fonem /n/, fonem /s/ luluh menjadi fonem /n/, dan fonem /k/ luluh menjadi fonem /Å‹/.
Contoh:
(27)         naba                 à        annaba
(28)         jari                   à        anjari
(29)         jama                 à        anjama
(30)         ronroÅ‹              à        anronroÅ‹
(31)         ri?ba?               à        anri?ba?
(32)         no?ri?              à        anno?ri?
(33)         tama                à        annama
(34)         toto                  à        annoto
(35)         tinrak               à        anninrak
(36)         tunruÅ‹              à        annunruÅ‹
(37)         soso                 à        annoso
(38)         suÅ‹ke               à        annuÅ‹ke
(39)         kokko?            à        anÅ‹okko?
(40)         kanre               à        anÅ‹anre
Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem vokal /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, bentuk aN- berubah menjadi aŋ-.
Contoh:
(41)         alle                   à        aÅ‹alle               ‘mengambil’
(42)         inuÅ‹                 à        aÅ‹inuÅ‹             ‘meminum’
(43)         ulu                   à        aÅ‹ulu               ‘menyundul’
(44)         eraÅ‹                 à        aÅ‹eraÅ‹              ‘membawa’
(45)         ondoÅ‹              à        aÅ‹ondoÅ‹          ‘memburu’
Prefiks aN- berfungsi membentuk kata kerja aktif, baik transtif maupun intransitif. Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhannya, antara lain: (a) melakukan perbuatan yang tersebut pada kata dasar seperti pada data (41), (42), (44), (45); dan (b) membuat jadi seperti pada data (30).
Prefiks ni-
            Prefiks ni- tidak mengalami perubahan bentuk meskipun digabung dengan kata dasar yang dimulai dengan fonem apa saja. Untuk membentuk kata kerja pasif, prefiks ni- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata kerja.
Contoh:
(46)         aÅ‹ka?               à        niaÅ‹ka?            ‘diangkat’
(47)         beso                 à        nibeso              ‘ditarik’
(48)         calla                 à        nicalla              ‘dicela’
(49)         de?de?             à        nide?de?          ‘ditempa’
(50)         eraÅ‹                 à        nieraÅ‹              ‘dibawa’
(51)         gentuÅ‹             à        nigentuÅ‹          ‘digantung’
(52)         kape?               à        nikape?            ‘dikipas’
(53)         sare                  à        nisare               ‘diberi’
(54)         tobo?               à        nitobo?                        ‘ditikam’
Prefiks pa-
            Digabung dengan kata dasar yang dimulai dengan fonem apa pun, prefiks pa- tidak mengalami perubahan bentuk. Untuk membentuk kata kerja, prefiks pa- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa: kata kerja dan kata sifat.
Contoh:
(55)         bella                 à        pabella             ‘jauhkan’
(56)         dulu?               à        padulu?           ‘digulingkan’
(57)         empo               à        paempo            ‘didudukkan’
(58)         lette?               à        palette?            ‘pindahkan’
(59)         nai                   à        panai                ‘naikkan’
(60)         na?na?             à        pana?na?         ‘tenangkan’
(61)         nauÅ‹                à        panauÅ‹             ‘turunkan’
(62)         sepe?               à        pasepe?            ‘selipkan’
(63)         sulu?                à        pasulu?            ‘keluarkan’
Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhannya antara lain: (a) sebabkan jadi, seperti pada data (55), (58), (59), (61); dan (b) sebabkan jadi berada di, seperti pada data (63).
Prefiks pi-
            Prefiks pi- tidak memunyai variasi bentuk meskipun digabung dengan kata dasar yang dimulai dengan fonem apa saja. Untuk membentuk kata kerja aktif intransitif, prefiks pi- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata kerja.
Contoh:
(64)         ara?                  à        piara?               ‘dicium’
(65)         na?na?             à        pina?na?          ‘perhatikan dengan teliti’
(66)         sammaÅ‹           à        pisammaÅ‹        ‘rasakan’
Prefiks si-
            Prefiks si- tidak mengalami perubahan bentuk meskipun digabung dengan kata dasar yang dimulai dengan fonem apa pun. Untuk membentuk kata kerja yang bermakna melakukan perbuatan berbalasan atau kesalingan, prefiks si- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata kerja dan kata sifat.
Contoh:
(67)         beta                 à        sibeta               ‘saling mengalahkan’
(68)         calla                 à        sicalla              ‘saling mencela’’
(69)         deÅ‹ka              à        sideÅ‹ka            ‘berkelahi’
(70)         gea?                 à        sigea?              ‘saling bertengkar’
(71)         imaÅ‹                à        siimaÅ‹              ‘saling mendendam’
(72)         janjaÅ‹               à        sijanjaÅ‹            ‘saling melihati’
(73)         kio?                 à        sikio?               ‘saling memanggil’
Prefiks taK-
            Prefiks taK- memunyai variasi bentuk (alomorf). Prefiks ini mengalami perubahan sesuai dengan fonem awal dasar kata yang dilekatinya. Untuk membentuk kata kerja, prefiks taK- dapat dibubuhkan pada kata  dasar yang berupa: kata kerja dan kata sifat.
            Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /m/ dan /r/, bentuk taK- menjadi ta?-.
Contoh:
(74)         mea                  à        ta?mea             ‘kencing’
(75)         runtu?              à        ta?runtu?         ‘terbentur’
Prefiks taK- berubah menjadi ta- jika bermakna ‘tidak seperti kata dasar’.
Contoh:
(76)         gio?     à        tagio?-gio?                  ‘tak bergerak’
(77)         battu    à        tabattu-battu               ‘tak datang-datang’
Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /c/, /l/, /t/, /s/, dan /p/, prefiks taK- berubah sesuai dengan fonem awal kata dasar itu.
Contoh:
(78)         cini?                 à        taccini?            ‘terlihat’
(79)         lappa?              à        tallappa?          ‘terlipat’
(80)         lonjo?              à        tallonjo?          ‘tersusun’
(81)         tinra?               à        tattinra?           ‘terpancang’
(82)         tai                    à        tattai                ‘berak’
(83)         suÅ‹ke               à        tassuÅ‹ke          ‘terbuka’
(84)         pela                  à        attallu              ‘terbuang’


Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem vokal, prefiks taK- berubah menjadi tar-.
Contoh:
(85)         attu?                à        tarattu?                        ‘kentut’
(86)         alle                   à        taralle              ‘terambil,laku’
(87)         ono?                à        tarono?                        ‘mundur,reda’
Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhannya, antara lain: (a) tidak sengaja, seperti pada data (75), (84); (b) dalam keadaan, seperti pada data (74) dan (82); dan (c) sudah terjadi, seperti pada data (78), (79), dan (80).
Prefiks paka-
            Prefiks paka- tidak memunyai variasi bentuk. Untuk membentuk kata kerja yang bermakna membuat jadi, prefiks paka- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata sifat dan kata bilangan.
Contoh:
(88)         alusu?              à        pakaalusu?       ‘haluskan’
(89)         beru                 à        pakaberu          ‘jadikan baru’
(90)         bodo                à        pakabodo        ‘pendekkan’
(91)         ca?di                à        pakaca?di        ‘kecilkan’
(92)         jai                    à        pakajai             ‘perbanyak’
(93)         nassu               à        pakanassu        ‘jadikan marah’
(94)         rannu               à        pakarannu        ‘gembirakan’
(95)         rua                   à        pakarua            ‘jadikan dua’
(96)         siÅ‹ara               à        pakasiÅ‹ara       ‘perjelas’
(97)         tiÅ‹gi                 à        pakatiÅ‹gi         ‘tinggikan’
Prefiks appa-
            Prefiks appa- tidak mengalami perubahan bentuk meskipun digabung dengan kata dasar yang dimulai dengan fonem apa pun. Untuk membentuk kata kerja transitif, prefiks appa- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata kerja dan kata sifat.
Contoh:
(98)         inuÅ‹                 à        appainuÅ‹          ‘meminumkan’
(99)         kanre               à        appakanre        ‘memakankan’
(100)     nai?                  à        appanai?          ‘menaikkan’
(101)     nauÅ‹                à        appanauÅ‹         ‘menurunkan’
(102)     sau                   à        appasau           ‘melegakan’
(103)     sa?ri                 à        appasa?ri         ‘menyampingkan’
(104)     tama                à        appatama         ‘memasukkan’
Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhan appa, antara lain: (a) membuat jadi, seperti pada data (100) sampai dengan (104); (b) melakukan untuk orang lain, seperti pada data (98) dan (99).
Prefiks appi-
            Prefiks appi- memunyai variasi bentuk walaupun digabung dengan kata dasar yang dimulai dengan fonem apa saja. Untuk membentuk kata kerja yang bermakna memperhatikan hal yang disebut pada kata dasar, prefiks appi- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata sifat, kata benda dan kata kerja.
Contoh:
(105)     na?na?             à        appina?na?      ‘memperhatikan’
(106)     sa?bi                à        appisa?bi         ‘menyampaikan’
(107)     sa?ra                à        appisa?ra         ‘memperhatikan suara’
(108)     sipa?                à        appisipa?         ‘memperhatikan sifat’
Prefiks appaka-
            Prefiks appaka- tidak memunyai variasi bentuk. Untuk membentuk kata kerja aktif transitif yang bermakna membuat jadi, prefiks appaka- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata sifat.
Contoh:
(109)     bodo                à        appakabodo                 ‘memendekkan’
(110)     ca?di                à        appakaca?di                ‘mengecilkan’
(111)     gassiÅ‹              à        appakagassiÅ‹   ‘membuat jadi kuat’
(112)     jai                    à        appakajai                     ‘memperbanyak’
(113)     la?biri?             à        appakala?biri?             ‘memuliakan’
(114)     la?bu                à        appakala?bu                ‘memanjangkan’
(115)     nassu               à        appakanassu    ‘membuat jadi marah’
(116)     sannaÅ‹             à        appakasannaÅ‹              ‘menyenangkan’
(117)     seppa?             à        appakaseppa                ‘menyempitkan’
(118)     tolo                  à        appakatolo       ‘membuat jadi bodoh’
Prefiks sipaka-
            Prefiks sipaka- tidak mengalami variasi bentuk meskipun bertemu kata dasar apapun. Untuk membentuk kata kerja yang bermakna melakukan perbuatan berbalasan atau kesalingan, prefiks sipaka- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata sifat.
Contoh:
(119)     iÅ‹a?                  à        sipakaiÅ‹a?        ‘saling mengingatkan’
(120)     la?biri?             à        sipakala?biri?   ‘saling memuliakan’
(121)     sannaÅ‹             à        sipakasannaÅ‹   ‘saling menyenangkan’
(122)     tolo                  à        sipakatolo        ‘saling membodohi’
(123)     tuna                 à        sipakatuna       ‘saling merendahkan’

Prefiks pasiN-
            Prefiks pasiN- memunyai variasi bentuk (alomorf). Prefiks ini mengalami perubahan sesuai dengan fonem awal dasar kata yang dilekatinya. Untuk membentuk kata kerja aktif, prefiks pasiN- dapat dibubuhkan pada kata  dasar yang berupa kata kerja dan kata sifat. Berikut ini adalah kaidah morfofonemik untuk prefiks pasiN-.
            Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /j/ dan /t/, bentuk pasiN - menjadi pasin-. Fonem /t/ di awal kata tidak luluh.
Contoh:
(124)     jai                    à        pasinjai            ‘menyamakan banyaknya’
(125)     tiÅ‹gi                 à        pasintiÅ‹gi         ‘menyamakan tingginya’
Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /b/ dan /p/, bentuk pasiN- berubah menjadi pasim-. Fonem /p/ diawal kata tidak luluh.
Contoh:
(126)     battala?            àpasimbattala?          ‘menyamakan beratnya’
(127)     pappa?             àpasimpappa?            ‘menyamakan ratanya’
Prefiks rangkap pasiN- daat berubah menjadi pasi- jka menimbulkan makna ‘membuat jadi saling seperti kata dasar’.
Contoh:
(128)     cini?                 à        pasicini?‘membuat jadi saling melihat’
(129)     kokko?            àpasikokko?‘membuat jadi saling menggigit’
(130)     te?ba?              à        pasite?ba?’membuat jadi saling menetak’
(131)     tobo                 à        pasitobo‘membuat jadi saling menikam’

Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /l/, prefiks rangkap pasiN- berubah menjadi pasil-.
Contoh:
(132)     loppo               à        pasilloppo?      ‘menyamakan besarnya’
(133)     la?bu                à        pasilla?bu ‘menyamakan panjangnya’
Prefiks pasiN- berfungsi membentuk kata kerja aktif. Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhannya, antara lain: (a) menyamakan keadaan, seperti pada data (124), (125), (132), (133); dan (b) membuat jadi saling, seperti pada data (128) sampai dengan (131).
Prefiks appasi-
            Prefiks appasi- tidak mengalami variasi bentuk. Jadi dalam kondisi dan situasi apa pun, bentuknya sama. Untuk membentuk kata kerja aktif yang bermakna menjadikan saling, prefiks appasi- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata kerja dan kata sifat.


Contoh:
(134)     alleàappasialle‘menjadikan saling mengambil, menjodohkan’
(135)     ampi?   àappasiampi? ‘menjadikan saling mendekat’
(136)     kokko? àappasikokko?‘menjadikan saling menggigit’
(137)     ondaÅ‹  àappasiondaÅ‹ ‘menjadikan saling memburu’
(138)     poke    àappasipoke  ‘menjadikan saling menombak’
(139)     tobo?   àappasitobo? ‘menjadikan saling menikam’
(140)     turu?    àappasituru?  ‘menjadikan saling mencocokkan’
Prefiks nipasiN-
            Prefiks nipasiN- memunyai variasi bentuk (alomorf). Prefiks ini mengalami perubahan sesuai dengan fonem awal dasar kata yang dilekatinya. Untuk membentuk kata kerja pasif, prefiks nipasiN- dapat dibubuhkan pada kata  dasar yang berupa kata kerja dan kata sifat. Berikut ini adalah kaidah morfofonemik untuk prefiks nipasiN-.
            Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /j/ dan /t/, bentuk nipasiN- tetap menjadi nipasin-. Fonem /t/ di awal kata tidak luluh.
Contoh:
(141)     jai                    à        nipasinjai         ‘disamakan banyaknya’
(142)     tiÅ‹gi                 à        nipasintiÅ‹gi      ‘disamakan tingginya’
Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /b/ dan /p/, bentuk nipasiN- berubah menjadi nipasim-. Fonem /p/ diawal kata tidak luluh. Kaidah tersebut dapat dilihat pada bentukan kata berikut.
Contoh:
(143)     battala?            ànipasimbattala?       ‘disamakan beratnya’
(144)     pappa?             ànipasimpappa?         ‘disamakan ratanya’
Prefiks rangkap nipasiN- dapat berubah menjadi nipasi- jka menimbulkan makna ‘dibuat jadi saling seperti kata dasar’.
Contoh:
(145)     cini?                 à        nipasicini?‘dibuat jadi saling melihat’
(146)     kokko?            ànipasikokko?‘dibuat jadi saling menggigit’
(147)     te?ba?              à        nipasite?ba?’dibuat jadi saling menetak’
(148)     tobo                 à        nipasitobo‘dibuat jadi saling menikam’
Jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /l/, prefiks rangkap nipasiN- berubah menjadi nipasil-.
Contoh:
(149)     loppo               à        nipasilloppo?   ‘disamakan besarnya’
(150)     la?bu                à        nipasilla?bu ‘disamakan panjangnya’
Prefiks pasiN- berfungsi membentuk kata kerja pasif. Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhannya adalah bentuk pasif dari prefiks pasiN-, antara lain: (a) disamakan keadaan, seperti pada data (143), (144), (149), (150); dan (b) dibuat jadi saling, seperti pada data (145) sampai dengan (148).
Prefiks nipa-
Prefiks nipa- tidak mengalami perubahan bentuk meskipun digabung dengan kata dasar yang dimulai dengan fonem apa pun. Untuk membentuk kata kerja pasif, prefiks nipa- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata kerja dan kata sifat.
Contoh:
(151)     enteÅ‹               à        nipaenteÅ‹         ‘didirikan’
(152)     inuÅ‹                 à        nipainuÅ‹          ‘diberi minum’
(153)     kanre               à        nipakanre         ‘diberi makan’
(154)     lolo?                à        nipalolo?          ‘dijalankan’
(155)     nai?                  à        nipanai?           ‘dinaikkan’
(156)     nauÅ‹                à        nipanauÅ‹          ‘diturunkan’
(157)     sa?ri                 à        nipasa?ri          ‘disampingkan’
(158)     tinro                 à        nipatiro            ‘ditidurkan’
Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhan nipa-, antara lain: (a) dibuat jadi, seperti pada data (155)-(158); (b) melakukan pernuatan untuk orang lain, seperti pada data (152) dan (153).

Prefiks nipi-
            Prefiks nipi- tidak memunyai variasi bentuk. Jadi, dalam kondisi dan situasi apa pun, bentuknya sama. Untuk membentuk kata kerja pasif yang bermakna diperhatikan hal yang disebut pada kata dasar, prefiks nipi- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata sifat, kata benda dan kata kerja.
Contoh:
(159)     na?na?             à        nipina?na?       ‘diperhatikan’
(160)     sa?bi                à        nipisa?bi          ‘disampaikan’
(161)     sa?ra                à        nipisa?ra          ‘diperhatikan suara’
Prefiks sipa-
            Prefiks sipa- juga tidak memunyai variasi bentuk. Jadi, dalam kondisi dan situasi apa pun, bentuknya sama. Untuk membentuk kata kerja aktif yang bermakna saling atau sama-sama seperti yang tersebut pada kata dasar, prefiks sipa- dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata kerja.
Contoh:
(162)     empo               à        sipaempo         ‘saling/sama-sama duduk’
(163)     enteÅ‹               à        sipaenteÅ‹       ‘saling/sama-sama berdiri’
(164)     kana                 à        sipakana        ‘saling memberi pendapat’
(165)     kanre               à        sipakanre         ‘saling memberi makan’
(166)     rutusu              à        siparutusu  ‘saling mengawasi/mengurus’
(167)     tinro                 à        sipatinro          ‘saling/sama-sama tidur’
Sufiks
            Dalam bahasa Makassar terdapat dua sufiks pembentuk verba, yaitu:  -i dan –aÅ‹.
Sufiks –i
            Sufiks –i tidak memunyai variasi bentuk. Jadi, dalam kondisi dan situasi apa pun, bentuknya sama. Untuk membentuk kata kerja aktif transitif, sufiks –i dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata benda, kata kerja, dan kata sifat.
Contoh:
(168)     batu                 à        batui                ‘beri batu,lempari batu’
(169)     bissa                à        bissai               ‘cuci’
(170)     jarre?               à        jarre?i              ‘eratkan’
(171)     jappa                à        jappai               ‘jalani’
(172)     la?bu                à        la?bui               ‘panjangkan’
(173)     maÅ‹e                à        maÅ‹ei               ‘kunjungi’
(174)     sambila            à        sambilai           ‘lempari’
Perlu dipahami bahwa kata dasar yang bersuku akhir berfonem awal /l/ serta berfonem akhir /?/ hanya akan mempertahankan fonem /l/ saja, seperti pada data (175) dan (176) berikut.
(175)     sombala                       à        sombali            ‘layari’
(176)     paÅ‹kulu                       à        paÅ‹kuli            ‘kapaki’
Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhan sufiks -i, antara lain: (a) memberikan atau membubuhi, seperti pada data (168); (b) berkali-kali, seperti pada data (174) dan (176); (c) membuat jadi, seperti pada data (170) dan (172); (d) memerintahkan melakukan perbuatan yang tersebut pada kata dasar, seperti pada data (169), (171), (173), dan (175).
Sufiks –aÅ‹
            Seperti halnya sufiks –i, sufiks –aÅ‹ tidak mengalami perubahan jika ditambahkan pada dasar kata apa pun. Untuk membentuk kata kerja transitif yang bermakna lakukan perbuatan untuk orang lain, sufiks –aÅ‹ dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata kerja.
Contoh:
(177)     alle                   à        alleaÅ‹               ‘ambilkan’
(178)     bembeÅ‹            à        bembeÅ‹aÅ‹        ‘antarkan’
(179)     bu?bu?             à        bu?bu?aÅ‹         ‘cabutkan’
(180)     eraÅ‹                 à        eraÅ‹aÅ‹              ‘bawakan’
(181)     keke                 à        kekeaÅ‹             ‘galikan’
(182)     kio                   à        kioaÅ‹               ‘panggilkan’
(183)     lari                   à        lariaÅ‹               ‘larikan’
(184)     sare                  à        sareaÅ‹              ‘berikan’
(185)     suÅ‹ke               à        suÅ‹keaÅ‹           ‘bukakan’
Konfiks
            Konfiks adalah gabungan prefiks dan sufiks yang mengapit dasar dan membentuk satu kesatuan. Dalam bahasa Makassar terdapat sepuluh konfiks pembentuk verba, yaitu:  aK-i, aN-i, aK-ang, aN-ang, ni-i, ni-ang, pi-i, paK-i, si-i, dan piti-i.
Konfiks aK-i
            Konfiks aK-i adalah prefiks aK- dan sufiks –i yang secara bersama-sama digunakan pada sebuah kata dasar. Kaidah morfofonemik yang berlaku pada prefiks aK- dan sufiks –i berlaku pula pada konfiks aK-i. Pengimbuhannya dilakukan secara bertahap. Ada yang diberi awalan aK- baru diberi akhiran –i, namun ada ula sebaliknya. Untuk membentuk kata kerja aktif yang bermakna selalu melakukan hal yang disebut kata dasar, konfiks aK-i dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata kerja.
Contoh:
(186)     cini?                 à        acciniki            ‘selalu melihat’
(187)     kana                 à        akkanai            ‘selalu berbicara’
(188)     kio?                 à        akkioki            ‘selalu memanggil’
(189)     sare                  à        assarei              ‘selalu memberi’
(190)     seÅ‹ka               à        asseÅ‹kai           ‘menyinggahi’
Konfiks aN-i
            Konfiks aN-i adalah prefiks aN- dan sufiks –i yang secara bersama-sama digunakan pada sebuah kata dasar. Kaidah morfofonemik yang berlaku pada prefiks aN- dan sufiks –i berlaku pula pada konfiks aN-i. Pengimbuhannya dilakukan secara bertahap. Ada yang diberi awalan aN- baru diberi akhiran –i, namun ada ula sebaliknya.
Contoh:
(191)     alle                   à        anngallei          ‘meleraikan’
(192)     baji                  à        ambajii             ‘memperbaiki’
(193)     battu                à        ambattui          ‘mendatangi’
(194)     boko                à        ambokoi          ‘membelakangi’
(195)     panra               à        ammanraki       ‘merusaki’
(196)     maÅ‹e                à        ammaÅ‹ei          ‘mengunjungi’
Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhan aN-i, antara lain: (a) membuat jadi, seperti pada data (191), (192) dan (195); (b) lokatif, seperti pada data (193) dan (196).

Konfiks aK-aŋ
            Konfiks aK-aÅ‹ adalah prefiks aK- dan sufiks –aÅ‹ yang secara bersama-sama digunakan pada sebuah kata dasar. Kaidah morfofonemik yang berlaku pada prefiks aK- dan sufiks –aÅ‹ berlaku pula pada konfiks aK-aÅ‹. Pengimbuhannya dilakukan secara bertahap, yaitu diberi awalan aK- baru diberi akhiran –aÅ‹. Untuk membentuk kata kerja aktif yang bermakna sama-sama terjadi pada kedua belah pihak, konfiks aK-aÅ‹ dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata kerja dan kata sifat.
Contoh:
(197)     bali                  à        a?baliaÅ‹        ‘bersamaan pada dua pihak’
(198)     baji?                 à        a?bajikaÅ‹  ‘kedua pihak berbaik kembali’
(199)     la?bu                à        a?la?buaÅ‹        ‘sama-sama memanjang’
(200)     rurung              à        akrurungaaÅ‹    ‘beriringan’
(201)     ra?bu?              à        akra?bukaÅ‹      ‘berampasan’
Konfiks aN-aŋ
            Konfiks aN-aÅ‹ adalah prefiks aN- dan sufiks –aÅ‹ yang secara bersama-sama digunakan pada sebuah kata dasar. Kaidah morfofonemik yang berlaku pada prefiks aN- berlaku pula pada konfiks aN-aÅ‹. Pengimbuhannya dilakukan secara bertahap, yaitu diberi awalan aN- baru diberi akhiran –aÅ‹. Untuk membentuk kata kerja aktif  yang bermakna membuat jadi atau melakukan perbuatan untuk orang lain, konfiks aN-aÅ‹ dapat dibubuhkan pada kata dasar yang berupa kata kerja dan kata bilangan.
Contoh:
(202)     eraÅ‹                 à        angeraÅ‹aÅ‹        ‘membawakan’
(203)     lari                   à        allariaÅ‹             ‘melarikan’
(204)     sambe              à        annambeaÅ‹      ‘menggantikan’
(205)     se?re                à        anne?reaÅ‹        ‘menyatukan’
(206)     sombala           à        annombalaÅ‹     ‘melayarkan’
(207)     suÅ‹ke               à        annuÅ‹keaÅ‹       ‘membukakan’
Konfiks ni-i
            Konfiks ni-i adalah prefiks ni- dan sufiks –i yang secara bersama-sama digunakan pada sebuah kata dasar. Pengimbuhannya dilakukan secara bertahap. Ada yang diberi awalan ni- baru diberi akhiran –i, ada pula sebaliknya.
Contoh:
(208)     allo                  à        nialloi              ‘dijemur’
(209)     bodo                à        nibodoi            ‘dipendekkan’
(210)     bu?bu?             à        nibu?buki        ‘dicabuti’
(211)     eja                    à        niejai                ‘dimerahkan’
(212)     jappa                à        nijappai            ‘dijalani’
(213)     la?bu                à        nila?bui            ‘dipanjangkan’
(214)     maÅ‹e                à        nimaÅ‹ei            ‘dikunjungi’
Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhan ni-i, antara lain: (a) dibuat jadi, seperti pada data (209), (211) dan (213); (b) lokatif, seperti pada data (214); (c) dikenai perbuatan (berulang-ulang), seperti pada data (208) dan (210).
Konfiks ni-aŋ
            Konfiks ni-aÅ‹ adalah prefiks ni- dan sufiks –aÅ‹ yang secara bersama-sama digunakan pada sebuah kata dasar. Pengimbuhannya dilakukan secara bertahap. Ada yang diberi awalan ni- baru diberi akhiran –aÅ‹, ada pula sebaliknya. Makna yang dihasilkan oleh pembubuhan konfiks ni-aÅ‹ adalah dilakukan perbuatan untuk orang lain.
Contoh:
(215)     bali                  à        nibaliaÅ‹            ‘dilawan’
(216)     balli                 à        niballiaÅ‹           ‘dibelikan’
(217)     bembeÅ‹            à        nibembeÅ‹aÅ‹     ‘dibawakan, diantarkan’
(218)     boli                  à        nibolikaÅ‹         ‘disimpankan’
(219)     pala?                à        nipalakaÅ‹         ‘dimintakan’
(220)     sare                  à        nisareaÅ‹           ‘diberikan’
(221)     soso                 à        nisosoaÅ‹          ‘dikupaskan’
Konfiks pi-i
            Konfiks pi-i adalah prefiks pi- dan sufiks –i yang secara bersama-sama digunakan pada sebuah kata dasar. Pengimbuhannya dilakukan secara bertahap. Ada yang diberi awalan pi- baru diberi akhiran –i, namun ada pula sebaliknya.
Contoh:
(222)     alle                   à        piallei             ‘usahakan supaya terambil’
(223)     assa                  à        piassai              ‘perhatikan baik-baik’
(224)     baju                 à        pibajui             ‘pakaikan baju’
(225)     onjo?               à        pionjoki         ‘usahakan supaya terinjaki’
(226)     ondaÅ‹              à        piondaÅ‹i          ‘usahakan supaya diburu’
(227)     ponto               à        pipontoi           ‘pakaikan gelang’
(228)     sa?riÅ‹               à        pisa?riÅ‹i           ‘rasakan’
Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhan pi-i, antara lain: (a) pakaikan, seperti pada data (224) dan (227); (b) usahakan supaya, seperti pada data (222), (225), dan (226);  (c) memerintahkan melakukan perbuatan yang tersebut pada kata dasar, seperti pada data (224) dan (228).
Konfiks paK-i
            Konfiks paK-i adalah prefiks paK- dan sufiks –i yang secara bersama-sama digunakan pada sebuah kata dasar. Kaidah morfofonemik yang berlaku pada prefiks paK- dan sufiks –i berlaku pula bagi konfiks paK-i.

Contoh:
(229)     baju                 à        pabajui             ‘pakaikan baju’
(230)     jeko                 à        pa?jekoi           ‘bajaki’
(231)     kama                à        pakkamai         ‘katai’
(232)     mantaÅ‹            à        pamantaÅ‹i        ‘tinggali’
(233)     mone               à        pammonei        ‘isikan’
(234)     nai?                  à        panaiki             ‘naiki’
(235)     nauÅ‹                à        panauÅ‹i            ‘turuni’
(236)     ponto               à        papontoi          ‘pakaikan gelang’
(237)     seÅ‹ka               à        paseÅ‹kai          ‘singgahi’
(238)     suluk                à        passuluki‘keluarkan untuk suatu maksud’
(239)     tama                à        pantamai          ‘masukkan’
Makna yang diperoleh sebagai hasil pengimbuhan paK-i, antara lain: (a) pakaikan, seperti pada data (229) dan (236); (b) lokokatif, seperti pada data (232), (234), dan (235);  (c) memerintahkan melakukan perbuatan yang tersebut pada kata dasar, seperti pada data (230) dan (233).
Konfiks si-i
            Konfiks si-i adalah prefiks si- dan sufiks –i yang secara bersama-sama digunakan pada sebuah kata dasar. Pengimbuhannya dilakukan secara bertahap. Untuk membentuk kata kerja aktif yang bermakna perbuatan saling berbalasan, konfiks si-i dapat dibubuhkan pada kata dasar berupa kata dan kata benda.
Contoh:
(240)     baji?                 à        sibajiki             ‘saling berbaik’
(241)     batu                 à        sibatui              ‘saling melempar batu’
(242)     battu                à        sibattui             ‘saling mendatangi’
(243)     boko                à        sibokoi             ‘saling membelakangi’
(244)     maÅ‹e                à        simaÅ‹ei            ‘saling mengunjungi’
(245)     sambila            à        sisambilai         ‘saling melempar’
(246)     tarima              à        sitarimai           ‘saling menerima’
Konfiks piti-i
            Konfiks piti-i adalah prefiks piti- dan sufiks –i yang secara bersama-sama digunakan pada sebuah kata dasar. Konfiks piti-i digunakan pada kata dasar kata kerja yang diulang. Makna yang dihasilkan oleh pengimbuhan  piti-i adalah sembarang di....
Contoh:
(247)     alle                   àpitialle-allei  ‘sembarang yang diambil’
(248)     ani                   àpitiani-ani‘sembarang yang disngka miliknya’
(249)     kana                 àpitikana-kanai‘sembarang yang diucapkan’
(250)     kanre               àptikanre-kanrei‘sembarang yang dimakan’
(251)     olo                   àpitiolo-oloi   ‘sembarang yang dijalani’

Infiks
            Infiks (sisipan) adalah bentuk afiks yang ditempatkan di tengah dasar. Dalam bahasa Makassar terdapat lima infiks pembentuk verba, yaitu:   -um-, -im-, -ar-, -ul-, san –al-. Kelima infiks ini adalah imbuhan yang tidak produktif karena frekuensi penggunaannya sangat rendah (hanya terbatas pada beberapa kata saja)
Infiks –um-
Contoh:
(252)     seÅ‹ka               à        sumeÅ‹ka          ‘singgah’
(253)     saya?               à        sumaya?          ‘terbang menurun’
(254)     selaÅ‹                à        sumelaÅ‹           ‘menyelam’
Infiks –im-
(255)     sombala?         à        simombala?     ‘berlayar’
Infiks –ar-
(256)     kaÅ‹kaÅ‹             à        karaÅ‹kaÅ‹?        ‘genggam’
Infiks –ul-
(257)     sampe              à        sulampe           ‘sandang’
Infiks –al-
(258)     ga?ru?              à        gala?ru?           ‘berbunyi gaduh’

SIMPULAN
            Verba turunan bahasa Makassar dapat dibentuk melalui afiksasi. Embubuhan afiks pada kata dasar, dapat dilakukan pada kata dasar kata benda, kata kerja, kata sifat, maupun kata bilangan.
Ada empat macam afiks yang dipakai untuk menurunkan verba dalam bahasa Makassar, yaitu: prefiks, sufiks, konfiks dan infiks.
Prefiks (awalan) pembentuk verba dalam bahasa Makassar ada delapan belas, yaitu: aK-, aN-, Pa-, pi-, si-, taK-, paka-, appa-, appi-, appaka-, sipaka-, pasaN-, appasi-, nipasiN-, nipa-, nipi-, dan sipa-. Sufiks (akhiran) pembentuk verba dalam bahasa Makassar ada dua, yaitu: –i dan –aÅ‹. (3) Konfiks pembentuk verba dalam bahasa Makassar ada sepuluh, yaitu: aK-i, aN-i, aK-ang, aN-ang, ni-i, ni-ang, pi-i, paK-i, si-i, dan piti-i. Infiks (sisipan) pembentuk verba dalam bahasa Makassar ada lima, yaitu: -um-, -im-,     -ar-, -ul-, dan –al-.


DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul.2008.Linguistik Umum.Jakarta:Rineka Cipta
Daniel Parera, Jos.1988.Morfologi.Jakarta:Gramedia
Greenberg’s, Joseph H..1966.Universal of Grammar.(2 Ed).Mit Press, Cambridge Mass.
Kridalaksana, Harmurti.1992.Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia:Sintaksis.Jakarta:Gramedia.
Nida, Eugene.1976.Morphology.Michigan:The University of Michigan Press.


Sumber: Retorika, UNM, Februari 2012. Halaman 17-27



KRITIK SOSIAL DALAM NASKAH DRAMA
JANGAN MENANGIS INDONESIA KARYA PUTU WIJAYA

Zaenal Arifin
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, UPI
zaenaldelapan@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini berjudul “Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Jangan Menangis Indonesia Karya Putu Wijaya”. Penelitian ini dilatarbelakangi untuk (1) memperoleh gambaran mengenai struktur drama Jangan Mennagis Indonesia, dan (2) mengetahui kritik sosial yang ada dalam naskah drama Jangan Menangis Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis atau metode kualitatif, yaitu mendeskripsikan data-data yang terkumpul untuk kemudian disusun dengan menganalisis naskah drama Jangan Menangis Indonesia karya Putu Wijaya secara struktural semiotik agar terlihat unsur-unsur sosiologisnya.Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dalam analisis struktur yang ada di dalam naskah drama Jangan Menangis Indonesia ditemukan 11 buah aktan yang terdiri dari 7 aktan pokok dan 4 aktan pendukung. Dari hasil analisis terdapat alur, tokoh, dan latar diperoleh gambaran mengenai tema dan amanat. Tema yang diangkat adalah mengenai keadaan negara Indonesia dipenghujung era presiden Soeharto lengser dan memasuki era reformasi (Presiden BJ Habibi-Abdurahman Wahid-Megawati Soekarno Putri) menuju era demokrasi (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono). Sedangkan dalam menganalisis kritik sosial penulis memperoleh tiga aspek pokok sebagai bentuk kritik sosial dalam naskah drama ini di antaranya, pertama, segala bentuk permasalahan yang terjadi di Indonesia berupa krisis Keadilan, keamanan, dan tanggung jawab pada masyarakat Indonesia, kedua, permasalahan yang terjadi pada pemerintahan di era reformasi menuju era demokrasi, dan ketiga, budaya korupsi dikalangan pejabat negara. ketiganya menjadi fokus penulis untuk menemukan kritik sosial dalam penelitian ini.

Kata Kunci: Drama; Struktur drama, Sosiologi sastra, dan Kritik sosial.

PENDAHULUAN
Sebagai salah satu bagian dari genre sastra, drama memiliki keunikan tersendiri bila dibandingkan dengan genre sastra lainnya yakni puisi dan prosa.Jika puisi maupun prosa (cerpen, novel, novolet, dan sebagainya) hanya ditulis oleh pengarang untuk dibaca tanpa harus dipertunjukan atau dipentaskan di atas panggung pertunjukan sebagaimana dalam drama maupun teater (meski tidak menutup kemungkinan ada karya-karya dari para penyair maupun prosais yang dipertunjukan di atas panggung maupun difilmkan). Drama memiliki apresiasi yang lebih dari sekedar ditulis pengarang, kemudian dibaca oleh masyarakat (pembaca), tapi lebih dari itu, pengarang naskah drama ingin lebih memvisualisasikan apa yang menjadi keresahan, keinginan maupun harapannya untuk lingkungan, masyarakat, juga tanah airnya, terlebih bisa menjadi referensi bagi bangsa-bangsa lain.
Sebagai sebuah karya, drama mempunyai karakteristik khusus, yaitu berdimensi sastra pada satu sisi dan berdimensi seni pertunjukan pada sisi yang lain. Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis pengarangnya tidak hanya berhenti sampai tahap pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan untuk kemungkinan dapat dipertontonkan dalam suatu penampilan gerak dan prilaku konkret yang dapat disaksikan (Hasanuddin, 1996:1).
Sastra menjadi sebuah media subjektif yang mencoba mengangkat persoalan-persoalan realitas yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra dan masyarakat akan terjadi hubungan yang saling mempengaruhi. Sementara itu, Ratna (2004: 334) menyatakan bahwa hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan.Meskipun demikian, di Indonesia tata hubungan itu masih sering dianggap ambigu, bahkan diingkari.Pada gilirannya karya sastra dianggap tidak berperan dalam meningkatkan kualitas kehidupan. Masih banyak masyarakat yang mengukur manfaat karya sastra atas penelitian berdasarkan aspek-aspek praktisnya.Karya sastra semata-mata hanya sebagai khayalan. Misalnya, masih mewarnai pemilihan masyarakat sepanjag abad, penilaian negatif yang secara terus-menerus membawa karya sastra di luar kehidupan yang sesungguhnya.

METODE PENELITIAN
Metode yang dilakukan penulis adalah metode kulitatif, yakni metode analisis data yang dipaparkan secara terperinci berdasarkan tahap-tahap analisis yang dilakukan untuk data dari setiap teknik pengumpulan data yang sesuai dengan tema-tema penelitan. Objek penelitian yang dilakukan penulis ini adalah naskah drama Jangan Menangis Indonesia karya Putu Wijaya.Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode pengumpulan data dan metode analisis data. Untuk pengumpulkan data penulis akan menggunakan apa yang disebut dengan “studi pustaka” yaitu menemuan segala sumber yang terkait dengan objek penelitian, diantaranya, naskah drama Jangan Menangis Indonesia sebagai objek utama, buku-buku yang berkaitan dengan analisis drama, strktur drama, kritik sosial, sosiologi sastra dan sumber referensi lainnya yang menunjang penulis untuk melakukan penelitian ini. Sedangkan untuk metode analisis data penulis memulainya dengan mendeskripsikan data-data yang terkumpul untuk kemudian disusun dan dianalisis menggunakan pendekatan sosiologi sastra sebagai cara untuk menemukan dan mengetahui kritik sosial dan unsur-unsur sosiologis yang ada pada naskah drama Jangan Menangis Indonesia.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAAN
Naskah drama yang akan diteliti penulis naskah drama karya Putu Wijaya yang berjudul Jangan Menangis Indonesia. Naskah drama ini akan di analisis mulai dari struktur yang ada di dalam naskah drama tersebut; Analisis aspek sintaksis diantaranya berhubungan dengan alur dan pengaluran; pada analisis alur akan di analisis menggunakan skema aktan dan model fungsional menurut (A.J Greimas dalam Suwondo: 2003). Di sini penulis akan mengurai inti dari analisis skema aktan dan model fungsional dari naskah drama Jangan Menangis Indonesia. Berikut ini uraiannya.


Aktan Pusat Secara Keseluruhan Aktan

Berawal dari kekacawan (Pengirim) yang beragam terjadi di Indonesia mulai dari krisis ekonomi, suhu politik meninggi, huru-hara, teror bom, tsunami, gempa bumi, sar, flu burung, demam berdarah, kebejatan moral, narkoba, judi, korupsi, ketidakberdayaan hukum, kebejatan para pemimpin, kasus-kasus yang mencederai hak azasi manusia. Risau, bingung, was-was, hingga semua orang (Subjek) mendambakan kehidupan yang lebih baik. Mereka berjuang dan mencoba bertahan agar tak terjadi kebangkrutan apalagi kemusnahan.Mereka masih memiliki sisa asa untuk membalikkan keadaan menjadi sebuah kemenangan untuk merdeka (Objek). Semuanya berupanya saling tolong-menolong demi membalikkan keadaan Indonesia dari segala bentuk kekacauan baik karena ulah para pemimpin negara yang sewenang-wenang dengan kekuasaannya,moral sebagian besar rakyatnya yang bejat, juga musibah dari takdir tuhan yang terus menimpa Indonesia (penentang). Hal ini dimulai dengan keluhkan tokoh Seseorang (tokoh seseorang disimbolkan sebagai siapapun yang menjadi korban dari dampak kekacauan yang terjadi di Indonesia) yang entah harus berbuat apa melihat polah-tingkah para pemimpin Indonesia, sebagian besar rakyatnya bobrok moralnya, mungkin juga ia termasuk salah satunya. Juga ada tokoh Munir yang menuntut haknya karena pengabdiannya pada negara telah mengantarkannya pada kematian akibat ulah orang-orang yang tidak senang padanya sampai keluarganya pun ditindas.Juga ada Marsinah yang menjadi simbol para wanita yang juga disalahgunakan pengabdian dan kodratnya hanya untuk pemuas nafsu belaka.
Demikianlah pembahasan mengenai aktan pusat. Dari aktan pusat ini akan dilanjutkan dengan penguraian tentang model fungsionalnya. Adapun model fungsional dari aktan pusatnya dapat dilihat dari deskripsi berikut.
Situsi awal: Suasana Indonesia pada waktu itu sedang kacau-balau. Mulai dari krisis ekonomi, suhu politik meninggi, huru-hara, teror bom, tsunami, gempa bumi, sar, flu burung, demam berdarah, kebejatan moral, narkoba, judi, korupsi, ketidakberdayaan hukum, kebejatan para pemimpin, kasus-kasus yang mencederai hak azasi manusia. Risau, bingung, was-was, hingga semua orang mendambakan kehidupan yang lebih baik.
Tahap transformasi:Pertama, Seluruh rakyat Indonesia yang mengaku mencita-citakan perubahan yang lebih baik bagi negerinya mulai mengatur siasat untuk membalikan kekacauan itu.
Kedua,Tahap inti: Munculnya banyak keluhan dari para korban, mulai dari Munir yang sudah mulai bosan melihat kondisi Indonesia yang sudah semakin parah.Dimana-mana ada ketidakadilan.Di mana-mana berserakan ketidakbenaran.Di mana-mana rakyat ditindas semena-mena.Penguasa sudah merajalela, menindas rakyat yang memiliki negeri ini.Harusnya mereka menjadi abdi, tapi malah mereka yang kenyang sendiri, memperbudak dan menjahanami rakyat.Di mana letak kebenaran.Di mana letak demokrasi.Mana itu kerakyatan dan keadilan sosial serta perikemanusiaan yang digembar-gemborkan.
Munir juga memprotes sekaligus memberitahukan bahwa sekarang bukan waktunya tidur.Semua orang harus bangun dan melihat segala kecurangan, ketimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan ini.Tidak boleh ada dispensasi.Rakyat sudah terlalu menderita, mereka harus melawan bersama. Sebagai salah satu contoh korupsi yang sekarang sudah diterima sebagai budaya, sebagai kiat, bahkan diajarkan bagaimana cara melakukan korupsi sebagai pengetahuan. Kita harus melawan penyalahgunaan kekuasaan.Kita harus melawan kecurangan, bencana alam, demam berdarah, busung lapar, Money politic, kemerosotan pendidikan, kehancuran rohani, kebangkrutan pada kebangsaan dan solidaritas.Kita harus menghentikan perbuatan sewenang-wenang yang kebablasan janganmau merdeka seenak perut sendiri.
Akibat kesewenang-wenangan itulah yang membuat nilai kemanusiaan sudah rendah sekali martabatnya di negeri ini.Nyawa manusia terlalu murah.Kita sudah bangkrut sebagai makhluk beradab.Para pemimpin tidak bisa dipercayai.Para intelektual berkhianat.Semua oprang mencari enak perutnya sendiri.Hukum sudah kalah.Pembunuhan spiritual setiap hari berlangsung dengan keji.Pendidikan merosot.Anak-anak memble, kena narkoba dan keblinger.
Lalu muncul lagi keluhan berikutnya kali ini datang dari Marsinah sebagai sombol dari para perempuan yang menderita akibat disalahgunakan perannya.Marsinah adalah seorang ibu rumah tangga yang juga berjuang seperti para lelaki, hanya saja tidak kelihatan karena tempatnya hanya di dapur dan tempat tidur.Pengabdian dan kesetiaannya kepada suami yang berbakti pada suami tapi disalahgunakanhanya sebatas untuk kepuasan nafsu belaka, karena setelah itu ia di bunuh.
Kemudian munculnya keluhan dari para perempuan tunasusila.Pekerjaan mereka semata-mata bukan hanya sekedar menjual nafsu belaka namun mereka terpakasa melakukan pekerjaan tersebut karena mereka tidak tahu harus bekerja apauntuk mencukupi kebutuhan anak-anak mereka sedangkan suami-suami mereka dibunuh karena menegakkan keadilan bagi negara.
Ketiga,Tahap kegemilangan: Memiliki hasrat untuk merdeka dari segala ketidakadilan,kekacauan, dan musibah membuat mereka semua yang menginginkan cita-cita kemerdekaan itu memiliki setitik harapan untuk merupaya membenahi kekacauan, ketidakadilan, dan musibah yang melanda indonesia walaupun hal itu akan terasa percuma jika tidak ada semangat dan kesadaran pada diri masing-masing jiwa dan raga rakyat Indonesia untuk membenahinya.
Tahap akhir: Suasana masih tak menentu karena antara perjuangan dan kekacauan terus bergolak saling beradu.Semuanya masih belum pasti.Namun dari ketidakpastian tersebut masih terbersit setitik harapan bagi mereka yang menginginkan perubahan bagi Indonesia.
Analisis aspek semantik diantaranya berhubungan dengan tokoh, latar, tema, dan amanat; pada analisis ini penulis menggunakan beberapa teori (Hasanuddin :1996, Dewojati:2010, dan Laelasari:2008), dan Analisis aspek pragmatik diantaranya berhubungan dengan ragam bahasa, fungsi bahasa: pada analisis ini penulis menggunakan teori Jacobson (dalam Selden:1991)
Sedangkan kritik sosial yang terdapat dalam naskah drama Jangan Menangis Indonesia ini akan diuraikan menjadi beberapa analisis sebagai berikut. Pertama, analisis krisis keadilan, keamanan, dan tanggung jawab pada masyarakat Indonesia. Hal ini sebagai bentuk protes, teguran, juga pesan kepada siapa saja yang mengaku sebagai warga negara Indonesia yang tidak rela negerinya kacau-balau atau dinilai buruk oleh negara lain. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan prolog tokoh Dalang berikut.
DALANG (Digumamkan dengan tembang) Berbagai hal beruntun menerpa tak putus-putus. Krisis ekonomi, suhu politik meninggi, huru-hara, teror bom, tsunami, gempa bumi, sar, flu burung, demam berdarah, kebejatan moral, narkoba, judi, korupsi, ketidakberdayaan hukum, kebejatan para pemimpin, kasus-kasus yang mencederai hak azasi manusia. Risau, bingung, was-was, semua mendambakan kehidupan yang lebih baik. Tangan gelagapan berpegangan mencoba bertahan agar tak terjadi kebangkrutan apalagi kemusnahan. Tapi di celah yang kecil, masih terlihat, terdengar dan terasa sebuah harapan apabila kita bersedia untuk menerima, belajar, ngeh, kemudian membalikkan kekalahan menjadi kemenangan masih ada sebuah janji (Wijaya, 2005:1)
Dari kutipan diatas terlihat bahwa pengarang mencoba mengungkapkan kegundahannya melalui monolog tokoh Dalang mengenai beragam kesusahan yang terjadi di Indonesia pada waktu itu.Namun beliau masih menyimpan harapan jika saja kita selaku masyarakat Indonesia bersedia menerima segala yang telah terjadi, belajar dan sadar lalu berjuang membalikan segala kekacauan yang terjadi menjadi sebuah kemenangan yang mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, permasalahan yang terjadi pada pemerintahan era Reformasi–Demokrasi. Kejadian dan permasalahan yang terjadi di Indonesia ini diwakili dalam monolog dan dialog yang diucapkan oleh tokoh-tokoh dalam naskah drama Jangan Menangis Indoneia. Di antaranya ketika tokoh Jendral marah-marah dan memaki ke arah penonton, yang bisa di tafsirkan bahwa ia (tokoh Jendral) marah pada kondisi negaranya (Indonesia). Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
JENDRAL: Brengsek! Konyol! Pemalas! Bodo kebo! Dasar pribumi! Gelo sia! (Berlari mendekati layar sambil memukul dengan pecutnya) Begitu saja tidak becus! Mengangkat kardus seperti mengangkat langit. Semprul! Ayo jangan digondeli. Kerja bukan cari untung! Angkat! Dasar budak! Gotongroyong! Maunya kok menelan. Dasar kemaruk! Otak udang! Angkat bangsat! Kuntilanak. (Memaki-maki kotor.Kepada penonton) Lihat sendiri ini negeri kacau.Manusia-manusia tidak memenuhi syarat.Begini mau merdeka?Berdiri saja tidak bisa. Ini mau mendirikan negara Tahi kerbau! Nggak usah merdeka, belajar jadi budak dulu! (Wijaya,2005:3)
Dari kutipan di atas dapat diurai bahwa pernyataan tokoh Jendral dengan ekspresi kemarahannya yang sebenarnya terdengar melecehkan Indonesia namun, jika direnungkan dengan kesadaran yang jujur, pernyaatan tokoh Jendral itu meang benar adanya. Kita bisa lihat fenomena atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia terutama ketika lengsernya presiden Soeharto sampai kini di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Permaslahan itu bukannya terselesaikan, tapi malah semakin parah, kita bisa lihat ketika presiden Soeharto akan lengser, gedung MPRRI diserbu puluhan ribu mahasiswa Indonesia yang menuntut segera mundurnya Soeharto dari kursi presiden Indonesia. Setelah Soeharto lengser dan berganti pada era presiden BJ. Habibi, muncul masalah baru yakni krisis moneter yang mengakibatkan harga-harga naik drastis dari biasanya, terutama untuk kebutuhan pokok rumah tangga. Lepas dari era presiden BJ. Habibi yang masa kepresidenannya kurang dari 2 tahun di era kepemimpinan presiden Megawati Soekarno Puteri dan Abdurahman Wahid pun tidak mampu menanggulagi permasalahan yang terjadi di Indonesia. Hingga sekarang ini di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah dua periode kepemimpinannya pun permaslahan yang terjadi di Indonesia malah semakin parah.
Namun dari segala kekacauan, ketidakbenaran, kesemerawutan, dan bencana yang terjadi di Indonesia, penulis mengambil pemahaman bahwa pengarang (Putu Wijaya) menaruh sebuah harapan yang juga mungkin diamini oleh pihak-pikak yang benar-benar peduli dengan kesejahteraan Indonesia lainnya bahwasannya bagaimana pun kondisi, masalah, kesemerawutan yang terjadi di Indonesia rakyat Indonesia jangan pernah berhenti berjuang, jangan pernah berhenti mencari kebenaran, dan jangan pernah menangis. Karena itu membuktikan bahwa kita lemah. Dan saat kita lemah siapa pun leluasa semena-mena pada kita.
Ketiga, maraknya budaya korupsi di kalangan pejabat negara. Berbicara korupsi yang terjadi di Indonesia seolah sudah menjadi makanan sehari-hari dan menjadi budaya untuk mengukuhkan status sosial mereka. Putu Wijaya dalam naskah drama Jangan Menangis Indonesia mencoba menguraikan tindak-tanduk pelaku korupsi (Koruptor) yang disimbolkan oleh peran tokoh Dalang ketika ia membacakan esai korupsi. Berikut kutipannya.
DALANG:
Terimakasih korupsi.Aku begitu mencintaimu.Kau adalah bagian dari takdirku. Hidupku tak akan terang-benderang dengan puluhan rembulan, tanpa korupsi. Siangku tidak akan sejuk walau matahari mengigit dengan ganas di seluruh permukaan bumi, tanpa pertolonganmu Kau adalah badai perubahan yang paling radikal, yang menyelamatkan kecoak bengek ini, tampil bergengsi sebagai manusia kelas satu (Wijaya, 2005 : 17).
DALANG KETAWA NGAKAK
DALANG:
Jadi inilah suaraku saudara, kesaksianku, provokasiku, doktrinku, semoga tetap tercatat dalam sejarah, di lubuk nurani setiap orang. Hanya kebejatan yang akan mampu menyucikan noda-noda yang belepotan di Indonesia. Hanya korupsi yang akan membuat bangsa dan negeri ini bangkit kembali untuk meyakini bahwa kebajikan, agama, hukum, kepatutan, kelayakan, keadilan dan kebenaran sudah diterbengkalaikan dengan sangat biadab. Karena itulah, hari ini mari semuanya mensyukuri korupsi. Horas korupsi! Mari semuanya korupsi! (Wijaya, 2005: 20)
Dari kutipan di atas jika dikaitkan dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia sekarang tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh tokoh Koruptor dalam naskah drama Jangan Menangis Indonesia karya Putu Wijaya. Karena kondisi masyarakat terutama para pejabat negara kita sekarang yang seolah berlomba-lomba melakukan tindak korupsi.Ketika mereka memegang suatu jabatan yang memiliki pengaruh besar bagi bangsa dan rakyatnya mereka rela menukar amanat dari rakyat untuk mensejahterakan dan berlaku adil pada rakyatnya dengan materi berupa uang maupun harta lainnya.baik yang di suap maupun dari ambisi pribadi.
Dari semua analisis di atas mulai dari skema aktan sebagai analisis alur cerita para tokoh-tokohnya kemudian ragam bahasa yang digunakan sebagai bentuk komunikasi antar tokoh satu dengan tokoh lainnnya, juga perwujudan bentuk kritik sosal dari naskah drama tersebut (Jangan Menangis Indonesia). Penulis menangkap pemahaman bahwa pengarang yakni Putu Wijaya mencoba menyuarakan aspirasinya tentang segala permasalahan yang terjadi di Indonesia yang beliau lihat, dengar, rasakan, dengan mengapresiasikannya melalui naskah drama Jangan Menangis Indonesia ini.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis terhadap teks naskah drama Jangan Menangis Indonesia karya Putu Wijaya dapat diambil kesimpulan bahwa analisis terhadap struktur atau aspek cerita dalam naskah drama ini meliputi tiga aspek tekstual yakni aspek sintaksis, aspek semantik, dan aspek pragmatik.
Dari analisis pada aspek sintaksis dengan menggunakan skema aktan dan model fungsional A. J Greimas. Penulis mendapati jumblah keseluruhan aktan yang ada pada naskah drama Jangan Menangis Indonesia, yakni berjumlah 11 buah aktan, terdapat 7 buah aktan pokok, dan 4 buah aktan pendukung yang membentuk sebuah aktan utama sebagai struktur cerita utama. Dalam aspek semanitik, terdapat alur, tokoh, dan latar diperoleh gambaran mengenai tema dan amanat yang ada dalam teks. Tema yang diangkat dalam naskah drama Jangan Menangis Indonesia adalah mengenai hasrat dan perjuangan untuk menuntut serta berupaya memperbaiki segala kesemerawutan yang terjadi di Indonesia mulai dari krisis ekonomi, suhu politik meninggi, huru-hara, teror bom, tsunami, gempa bumi, sar, flu burung, demam berdarah, kebejatan moral, narkoba, judi, korupsi, ketidakberdayaan hukum, kebejatan para pemimpin, kasus-kasus yang mencederai hak azasi manusia. Risau, bingung, was-was, semua mendambakan kehidupan yang lebih baik. Sementara amanat yang didapat yakni bentuk tanggung jawab, seberat apapun tanggung jawab yang di bebankan kepada kita khususnya para pejabat negara jadikanlah sebuah ibadah kepada tuhan karena kita dipercaya oleh rakyat sebagai orang yang mampu mengemban amanah. Dalam aspek pragmatik, ditemukan adanya komunikasi antara pengarang dalam hal ini para pemain dalam naskah drama Jangan Menangis Indonesia dengan pembaca, juga terdapat fungsi bahasa yang terdiri dari fungsi ekspresif, fungsi konatif, fungsi referensial, fungsi fatik, fungsi puitik, dan fungsi metalingusitik. Fungsi bahasa yang paling dominan mencakup keseluruhan fungsi bahasa karena kesemuanya saling mendukung.
Berdasarkan hasil analisis keseluruhan aspek cerita dalam naskah drama Jangan Menangis Indonesia, maka ditemukan sikap perjuangan ingin memperbaiki segala permasalahan yang menimpa Indonesia berupa kritik sosial dalam naskah drama tersebut karena segala permasalahan yang terjadi itu sudah sangat menyengsarakan rakyat Indonesia terutama bagi kalangan bawah. Dari sinilah muncul beberapa kritik. Mulai dari kritik sosial tentang krisis Keadilan, Keamanan, dan Tanggung Jawab pada Masyarakat Indonesia, kritik berupa sindiran-sindiran pada era reformasi menuju era demokrasi dimana ketika terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden, berbagai permasalahan mulai muncul. Seperti tsunami di Aceh pada 2004 dan gempa di Yogyakarta pada 2006, dan terakhir adalah kritik mengenai korupsi yang kian hari menjadi budaya di kalangan pejabat negara.

DAFTAR PUSTAKA
Dewojati, Cahyaningrum. 2010.Drama: Sejarah, Teori, dan Penerapannya.Yogyakarta: UGM Press.
Hasanuddin. 1996. Drama (Karya dalam Dua Dimensi). Bandung: Angkasa Bandung.
Laelasari dkk.2008. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia.
Ratna, Nyoman Khuta. 2004. Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra (Beberapa Alternatif). Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Wijaya, Putu. 2005. Jangan Menangis Indonesia. Jakarta: teatermandiri@hotmail.com.



  

GENDER DALAM SYAIR KELONG MAKASSAR

Kembong Daeng                                                                                                           Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar                                                  Jalan Daeng Tata Raya, Kampus Parangtambung, Makassar                                                email: kembong.daeng@gmail.com

Abstract: Gender in The Poetry Kelong Makassar. This study aimed to descrbe the expression and the meaning of gender in the poem that describes in kelong Makassar. The research data is derived fromoral and written data. The oral data obtained from information and written data obtained from collection of kelong Makassar. The data obtained in this study were analyzed using the techniques of gender analysis. The results of this study indicated that the poem of Makassar Kelong contained symbolism of men and women. The folwer ejaya, kebok flower, bine, bulaeng, jamarrok, intang, and high hair style. A phrase that symbolizes the man are the jangang-jangang, bombang, sombalak, and Tope. The expression in Makassar Kelong poem illustrated that men and women have their own respective roles, and both of them are complementary.
Abstrak: Gender dalam Syair Kelong Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ungkapan dan makna yang menggambarkan gender dalam syair kelong Makassar. Data penelitian ini bersumber dari data lisan dan data tertulis. Data lisan diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik analisis gender. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam syair kelong Makassar terdapat ungkapan yang menyimbolkan perempuan, yakni bunga ejaya, bunga kebok, benih, bulaeng, jamarrok, intang, dan kodek tinggi. Ungkapan yang menyimbolkan laki-laki, yakni jangang-jangang, bombang, sombalak, dan tope. Ungkapan dalam syair kelong Makassar menggambarkan bahwa laki-laki dan wanita memiliki peran masing-masing yang saling melengkapi.
Kata kunci: kelong, gender, budaya Makassar
            Masyrakat Makassar dikenal sangat teguh dalam mempertahankan kehormatan dan harga diri yang disebut dengan ungkapan “sirik na pacce”. Selain itu, masyarakat Makassar juga dikenal pekerja keras dan memiliki karakter yang tegas dan keras. Karakter tersebut dapat dijumpai dalam ungkapan yang dilantunkan oleh masyarakat Makassar.
Ungkapan tradisional sebagai salah satu wujud kebudayaan daerah dipandang perlu untuk diteliti sebab ungkapan tradisional mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan adat-istiadat. Penelitian tentang ungkapan tradisional masyrakat Makassar, seperti adat perkawinan, khitanan, dan acara ritual lainnya sudah sering dilakukan, namun penelitian tentang gender dalam ungkapan tradisional masyarakat Makassar jarang dilakukan. Penelitian yang dilakukan Iswary (2010) mengkaji tentang relasi gender dalam foklor Makassar. Wahid (1997) mengkaji metafora dalam bahasa Makassar. Penelitian terhadap kelong dengan kajian gender belum pernah dilakukan.
            Dalam budaya dan persepsi masyarakat Makassar, berbagai rekaman kebahasaan yang ditemukan menunjukkan bahwa konsep gender telah diterima secara resmi dalam tatanan kelembagaan sejak pemerintahan raja Gowa I, yakni Tumanurungga yang memerintah pada tahun 1330 dengan gelar Karaeng Bainea. Raja inilah yang berhasil meletakkan dasar demokrasi persatuan yang sebelumnya terus menerus bertikai (Daeng Patunru dalam Wahid, (1994:4)).
            Dewasa ini, kenyataan menunjukkan bahwa laki-laki memiliki dan mendapatkan keistimewaan, yakni mereka mendominasi pembicaraan di depan umum. Keistmewaan seperti ini sudah dimilikinya sejak pada masyarakat tradisional sampai dengan saat ini. Hal yang sama dijumpai pula dalam masyrakat Makassar yang membedakan antara peran laki-laki dan peran perempuan dalam kehidupan. Salah satu cara untuk mengetahui dikotomi ini adalah dengan mengkaji bahasanya, terutama ungkapan tradisional masyarakat Makassar.
            Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan ungkapan yang bersimbolisasi gender yang terdapat dalam kelong Makassar. Hasil penelitan diharapkan memberikan gambaran tentang ungkapan dan makna yang menunjukkan gender. Dengan demkian, konsepsi masyarakat tentang gender dalam perspektif budaya masyarakat akan terpahami dengan baik.

METODE
            Penelitian ini tergolong jenis penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitan bersumber dari data lisan dan data tertulis. Data lisan diperoleh dari informan dan data tertulis diperoleh dari kumpulan kelong Makassar. Pemilihan informan didasarkan atas pertimbangan jenis kelamin, kefasihan, memahami ungkapan, dan berpendidikan. Data tertulis diperoleh dari naskah kelong Makassar yang dipublikasikan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis gender.

HASIL
Simbolisasi Perempuan dalam Kelong Makassar
Bunga Ejaya
            Bunga ejaya secara harfiah berarti ‘bunga yang merah’. Kata bunga ‘kembang’ menurut budaya Makassar merupakan simbol seorang wanita dan eja ‘merah’ sebagai simbol kecerahan. Dengan demikian, ungkapan bunga ejaya merupakan simbol seorang gadis yang cantik dan memiliki sifat yang ceria seperti tergambar dalam syair dalam syair kelong berikut.
Andik pammopporangmamak                                                                               Erokak anne kutaknang                                                                                          Bunga ejaya                                                                                                            Niakmo kutedeng patanna
Terjemahan:
Maafkan saya Dik                                                                                                     Aku ingin bertanya                                                                                                Apakah si bunga merah                                                                                               Sudah ada yang punya
            Kelong tersebut dilantunkan oleh seorang pemuda sebagai ungkapan perkenalan kepada seorang gadis untuk menanyakan apakah sang gadis telah dipinang atau belum. Dari sisi budaya, kelong tersebut menggambarkan adanya sikap penghormatan yang ditandai dengan penggunaan kata andik. Dengan demikian, dalam budaya Makassar, perempuan ditempatkan pada posisi terhormat. Dari sisi peran pria dan perempuan, tergambar bahwa pria meminta pertimbangan kepada perempuan sebelum memberikan keputusan. Sebaliknya, perempuan hendaknya memberikan jawaban yang tegas dan bijaksana bila dimintai pendapat atau saran.
            Melalui kelong ini, tergambar bahwa pria maupun wanita membutuhkan kejujuran dan keterbukaan dalam memilih pasangan hidup. Seorang wanita harus jujur mengatakan yang sesungguhnya.
Bunga Kebok
            Kata bunga dalam budaya Makassar disimbolkan dengan wanita atau gadis dan kebok adalah simbol kesucian. Jadi, ungkapan bunga kebok bermakna ‘wanita yang masih suci atau gadis perawan’ Ungkapan itu dapat dilihat pada syair berikut.
Kakdek nakke bunga kebok                                                                            Teamak timbo ri butta                                                                                                                                                           Ri langik tompak                                                                                                                 Ri matannapak alloa
Terjemahan:
Seandainya aku si bunga putih                                                                                       Aku tidak mau tumbuh di tanah                                                                                   Nanti di langit                                                                                                                   Di matahari baru aku tumbuh
Kelong tersebut menggambarkan penyesalan seorang wanita yang sudah terlanjur memilih pasangan hidup, tetapi mereka tidak bahagia karena suaminya tidak sanggup memberikan nafkah yang cukup. Dengan demikian, kelong tersebut dapat menjadi nasihat bagi seorang gadis bahwa berhati-hatilah dalam memilih pasangan hidup agar tidak mengalami penyesalan di kemudian hari.
Dilihat dari segi gender, ungkapan bunga kebok merupakan simbol bagi gadis yang masih perawan. Seorang gads harus pandai-pandai menjaga diri, baik dari segi perkataan, sikap, maupun perbuatan agar dapat mengharumkan nama baik keluarga.
Bulang
            Kata bulang dalam budaya Makassar bermakna terang yang menjadi simbol seorang wanita. Ungkapan tersebut dapat dilihat pada kelong berikut.
Nakana kalenna bulang                                                                                                 Singarak takalapakkang                                                                                     Tanaassenna                                                                                                           Allo mammumba i raya
Terjemahan:
Dia menganggap dirinya bulan                                                                                 Terang benderang tanpa                                                                                                       ada yang menghalanginya                                                                                                  Dia tidak mengetahui bahwa                                                                                     matahari sudah terbit di ufuk timur
Pada syair kelong tersebut terdapat ungkapan nakana kalenna bulang yang secara harafih berarti ‘dia menganggap dirinya bulan’. Ungkapan allo mammumba i raya yang secara harafih berarti ‘matahari sudah terbit di ufuk timur’. Kata allo merupakan simbol seorang pria.
Kelong tersebut menggambarkan kritik terhadap seorang wanita yang selalu menganggap bahwa dirinyalah yang paling berjasa. Padahal, selain dia masih ada orang yang lebih berjasa, namun dia tidak pernah menyombongkan diri. Oleh karena itu, kelong tersebut merupakan sebuah pembelajaran agar jangan terlalu sombong atau menganggap diri paling hebat karena apa yang kita peroleh tidak pernah terlepas dari pertolongan Tuhan dan bantuan orang lain.
Dari segi gender, kelong tersebut menggambarkan bahwa pada umumnya wanita itu senang dipuji dan disanjung. Namun demikian, sanjungan dan pujian itu harus dimaknai sebagai anugrah dari Allah yang harus diwujudkan dalam sikap dan perbuatan. Bukan sebaliknya, sanjungan dan pujian menjadikan sang wanita menjadi tinggi hati atau sombong, bahkan melupakan Tuhan sebagai pemilik kecantikan.
Jeknek
            Jeknek secara harfiah berarti air. Dalam budaya Makassar jeknek menyimbolkan wanita. Penggunaan istilah tersebut dalam kelong Makassar dapat dilihat syair berikut.
Bolikmak jammeng ri jeknek                                                                                     Lingka i lalang dolangang                                                                                     Kalabalatuk                                                                                                                 Erok lakupakkuburi
Terjemahan:
Biarlah aku mati di dalam air                                                                              Tenggelam di dasar laut                                                                                          Daripada bongkahan tanah                                                                                               akan kutempati sebagai kubur
            Pada syair kelong tersebut terdapat ungkapan bolikmak jammeng ri jeknek yang secara harafihh berarti ‘biarlah aku meninggal di dalam air’. Kata jammeng berarti ‘meninggal’. Kata jeknek dan dolangang merupakan simbol seorang laki-laki atau pemuda. Sedangkan kata balatuk merupakan simbol seorang wanita.
            Ungkapan tersebut bermakna ikrar atau janji seorang pemuda yang memilih mati tenggelam daripada ia tidak mendapatkan gadis idamannya. Ungkapan tersebut menggambarkan sikap setia, menepati janji, dan mampu mempertanggung jawabkan segala perkataan dan perbuatannya.
            Kelong tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah pembelajaran. Jika berjanji haruslah ditepati; jika dipercaya janganlah ingkar; dan jika diberi amanah janganlah disia-siakan. Demikian pula dalam keluarga, seorang istri/suami harus saling menjaga kehormatan  dan kesetiaan agar tidak mudah dihasut oleh orang lain.
Bine
            Bine dalam bahasa Makassar berarti benih. Kata bine merupakan simbol seorang wanita yang telah memberikan harapan dalam hidup seperti dalam syair kelong berikut.
Lekbak kurapammi bine                                                                                                        Ka passarenu ri nakke                                                                                            Kuantalai                                                                                                                      Laccuklak ri atingku
Terjemahan:
Aku tetapkan sebagai benih                                                                              Pemberianmu kepadaku                                                                                                  Dengan harapan                                                                                                                              Engkau tumbuh di hatiku
Pada syair kelong tersebut terdapat ungkapan kurapang bine yang secara harafihh berarti ‘kujadikan sebagai benih’ dan ungkapan kupacuklak ri atingku ‘kubiarkan tumbuh di hatiku’. Kelong tersebut memberikan gambaran bahwa seorang pemuda sangat mengharapkan agar cinta yang mereka bina selama ini dapat memberikan kebahagiaan dan ketentraman dalam hidupnya. Jadi, kelong tersebut dapat dijadikan sebagai pembelajaran agar jangan mudah putus asa. Jalanilah hidup ini dengan penuh keyakinan bahwa apa yang dicita-citakan itu dapat dikabulkan jika disertai dengan usaha, kerja keras, dan doa.
Kontu Bulaeng, Kontu Intang, dan Kontu Jamarrok
            Ungkapan kontu intang, jamarrok, kontu bulaeng yang secara harafih berarti ‘bagai intan, jamrud, bagai emas’. Kata intang, jamrrok, dan bulaeng merupakan simbol wanita yang sangat dicintai dan disayangi.
Kontu intang kungainnu                                                                                         Jamarrok kulebanganna                                                                                                   Kontu bulaeng                                                                                                        Koboliknu ri pakmaik
Terjemahan:
Bagai intan kucintaimu                                                                                                     Jamrud kusayangimu                                                                                                     Bagai emas                                                                                                                   Kusimpan di dalam hati
            Kelong tersebut merupakan ungkapan cinta seorang pemuda kepada gadis yang dikasihinya. Wanita yang dikasihinya diibaratkan intan, jamrud, dan emas. Benda ini merupakan permata pilihan yang bernilai tinggi. Dengan demikian, wanita adalah makhluk bernilai tinggi. Wanita adalah makhluk yang memiliki perasaan yang halus. Oleh karena itu, seorang wanita harus menjaga harga dirinya agar teap bernilai tinggi di sisi Tuhan.
Tope
            Kata tope ‘pakaian’ menurut budaya Makassar adalah simbol seorang wanita. Penggunaan ungkapan tersebut terlihat pada syair kelong berikut.
Andik teaki larroi                                                                                                     Erokak anne kutaknang                                                                                                Anjo topea                                                                                                                         Niakmo kutadeng patanna
Terjemahan:
Wahai adikku                                                                                                      Janganlah engkau marah                                                                                                                                                                  Saya ingin bertanya                                                                                                     Apakah pakaian itu sudah ada yang punya
            Kelong tersebut dilantunkan oleh seorang pemuda yang bermaksud untuk menanyakan status seorang gadis apakah sudah dipinang atau belum. Kelong tersebut didahului pula dengan ungkapan andik teaki larroi ‘dinda, janganlah marah’. Dalam budaya Makassar terdapat ungkapan antu akkutaknanga adakji ‘bertanya itu adalah sebuah adat atau kebiasaan yang baik’ sehingga pertanyaan itu harus dijawab apakah ya atau tidak, diterima atau tidak.

Simbolisasi Laki-laki dalam Kelong Makassar
Jangang-jangang
            Secara harfiah, jangang-jangan berarti ‘burung’. Kata jangang-jangang dalam budaya Makassar disimbolkan terhadap laki-laki. Ungkapan tersebut terlihat dalam syair kelong berikut ini.
Kakdekji kujangang-jangang                                                                                             Niak kaknyik pumbaliku                                                                                                     Borik bellaya                                                                                                  Kupakasialomami
            Terjemahan:
Seandainya aku burung                                                                                           Memiliki dua sayap                                                                                                        Negeri yang jauh                                                                                                           Akan kutempuh dalam waktu satu hari
            Kelong tersebut dilantunkan oleh pemuda yang mengungkapkan seandainya dia memiliki kemampuan dan kesanggupan baik dari segi fisik maupun materi, maka dia akan menjelajahi samudera yang luas. Hal ini menggambarkan bahwa pria itu mempunyai naluri atau jiwa pengembara untuk mengarungi samudera yang luas, baik untuk mencari nafkah maupun untuk menuntut ilmu.
            Ungkapan tersebut mengandung makna bahwa seorang pemuda mempunyai keinginan untuk menjelajahi samudera yang luas. Oleh karena itu, dia selalu mengumpamakan dirinya burung yang dalam bahasa Makassar disimbolkan dengan ungkapan kakdekji kujangang-jangang. Seorang pria ingin bebas  dan senang mengembara. Dilihat dari segi gender, kelong tersebut menggambarkan bahwa laki-laki itu bebas mencari nafkah yang halal demi tanggung jawabnya terhadap istri dan keluarganya.
Bombang
Bombang secara harfiah ombak. Kata ombak dapat bermakna laki-laki. Penggunaan kaa bombang dalam syair kelong Makassar terlihat pada contoh berikut.
Bombang erammak kalauk                                                                                              Ayukang ri mabellaya                                                                                                 Boyami gusung                                                                                                     Amparampei kalengku
            Terjemahan:
Wahai ombak, antarlah aku ke barat                                                                   Hanyutkanlah jauh-jauh                                                                                              Carilah dermaga                                                                                                           Untuk mendamparkan diriku
            Pada syair tersebut terdapat ungkapan bombang erammak kalauk dan boyami gusung amparampei kalengku yang secara harafiah berarti ‘wahai ombak, antarlah aku ke barat’ dan ‘carilah  dermaga untuk mendamparkan diriku’. Kata ombak dapat bermakna laki-laki dan gusung dapat bermakna kehidupan. Dalam kelong tersebut, digambarkan lelaki yang hendak merantau meninggalkan kampung halamannya. Merantau menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan baginya.
            Kelong tersebut mengungkapkan perasaan sedih, kecewa, dan putus asa karena tidak pernah merasakan kebahagiaan dan kedamaian di tanah kelahirannya. Oleh karena itu, ia pasrah meninggalkan tanah kelahirannya untuk merantau ke negeri lain dengan harapan mereka memperoleh kebahagiaan dan kedamaian di tempatnya yang baru.
Sombalak
            Sombalak secara harfiah bermakna layar. Sombalak dalam budaya Makassar disimbolkan sebagai laki-laki. Penggunaan ungkapan tersebut dapat dilihat pada syair kelong berikut.
Manna makkannyang i lauk                                                                                Takupelak sombalakku                                                                                           Kualleanna                                                                                                                 Tailanga na towalia
Terjemahan:
Biarpun badai di laut                                                                                                   Layarku tak akan kubalut                                                                                                 Lebih baik aku memilih                                                                                           Tenggelam daripada balik haluan
            Pada syair kelong tersebut terdapat ungkapan takupelak sombalakku yang secara harfiah berarti ‘layarku tidak akan kubalut’ dan kualleanna tailanga na towalia ‘lebih baik aku memilih tenggelam daripada balik haluan’. Ungkapan tersebut bermakna bahwa pemuda tersebut pantang menyerah pada alam, lebih baik mati di kalang tanah daripada kembali tanpa membawa hasil.
            Kelong tersebut merupakan falsafah suku Makassar yang pantang menyerah. Ungkapan ini dijadikan motivasi dalam perjuangan agar dalam dirinya selalu berkobar dan berusaha terus hingga meraih cita-citanya. Semboyan ini bukan hanya diucapkan oleh laki-laki tetapi juga perempuan agar berhati-hat dan berjuang terus hingga mencapai cita-cita, baik sukses dalam pendidikan maupun sukses dalam usaha. Mereka merasa malu jika kembali ke kampung halaman tanpa meraih cita-cita.
Tope
            Secara harfiah tope berarti sarung. Ungkapan tope dapat diperuntukkan bagi laki-laki dan wanita, seperti pada syair berikut.
Sikatutuiko tope                                                                                                   Numassassa mole-mole                                                                                                 Tenamo antu                                                                                                             Parekanna maloloa
Terjemahan:
Jagalah masing-masing sarungmu                                                                             Supaya engkau mencuci berulang-ulang                                                               Karena masa muda                                                                                                               tidak akan kembali
Kelong tersebut berisi nasihat kepada pengantin laki-laki dan wanita agar saling menjaga dan saling mengasihi supaya langgeng dalam pernikahannya. Hal ini senada dengan petuah Makassar yang mengatakan antu baineya pakeyannai buraknea na antu burakneya pakeyannai bainea ‘istri adalah pakaian bagi suami dan suami adalah pakaian bagi istri’. Dengan demikian, ungkapan tope termasuk ungkapan yang netral gender karena pada situasi dan kondisi tertentu ungkapan tersebut dapat diperuntukkan bagi laki-laki dan wanita.

PEMBAHASAN
            Kelong Makassar merupakan karya sastra yang bernilai tinggi karena baik isi maupun bentuk pengungkapannya memilki ciri tersendiri yang berbeda dengan karya sastra lainnya. Kelong pun mengandung pesan atau amanat yang dapat dijadikan pembelajaran bagi penikmatnya. Dari data penelitian, ditemukan beberapa ungkapan dalam syair kelong Makassar. Ungkapan tersebut perlu dipahami isinya, maknanya maupun nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam syair kelong Makassar, ditemukan ungkapan simbolik tertentu yang menggambarkan gender.
            Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa dalam ungkapan syair kelong Makassar terdapat ungkapan yang melambangkan karakter pria dan wanita. Perempuan dalam budaya Makassar disimbolkan dengan ungkapan: bunga ejaya, bunga kebok, bulang, borik, bine, kontu bulaeng, kontu intang, kontu jamarrok. Laki-laki dalam budaya Makassar disimbolkan dengan ungkapan jangang-jangang, bombang, sombalak, tamparang. Selain itu, terdapat juga ungkapan tope yang dapat diartikan sebagai pakaian yang menyimbolkan laki-laki dan perempuan.
            Ada beberapa hal yang menarik dari penelitian ini ditinjau dari kajian gender seperti dipaparkan berikut ini. Pertama, wanita diibaratkan sebagai bunga. Ungkapan ini bermakna bahwa wanita itu seyogyanya disayangi, dicintai, dan dihargai. Oleh karena itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara wanit itu dipandang sebagai makhluk yang memiliki kharisma yang tinggi. Wanita tidak layak mendapat perlakuan yang kasar dari kaum pria.
            Kedua, wanita diibaratkan sebagai bulan. Ungkapan ini bermakna bahwa wanita itu dapat menjadi penerang dalam kegelapan. Oleh karena itu, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara wanita senantiasa memberikan manfaat dan kebaikan kepada orang lain.
            Ketiga, wanita itu diibaratkan sebuah negeri. Ungkapan ini bermakna bahwa mempunyai pengaruh besar dalam sebuah negera. Jika wanitanya baik, maka baiklah atau majulah negeri itu. Sebaliknya, jika wanita itu tidak memiliki moral atau karakter yang baik maka rusaklah negara itu. Oleh karena itu, wanita harus dapat menjaga nama baik dan kehormatannya agar negara menjadi aman, tenteram, dan makmur.
            Keempat, wanita itu diibaratkan sebagai emas, jamrud, dan intan. Ungkapan ini bermakna bahwa wanita itu mempunyai budi pekerti yang luhur, tutur kata yang santun, dan sikap yang baik, serta perbuatan yang patut diteladani. Oleh karena itu, seorang wanita harus mempertahankan harga dirinya agar tetap menjadi permata yang bernilai tinggi.
            Kelima, wanita itu disimbolkan sebagai benih, dimaksudkan bahwa wanita itu menentukan nasib generasi penerus karena ibulah yang melahirkan anak masa depan. Jika kaum ibu melahirkan anak yang baik-baik dan saleh maka baik pulalah generasi yang akan datang.
            Keenam, wanita itu memiliki sanggul yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa wanita pun diharapkan memiliki pendidikan yang tinggi. Dengan pendidikan yang baik, wanita dapat memberikan pendidikan yang baik kepada generasi muda. Jadi, wanita harus cerdas karena wanita yang cerdaslah yang dapat memahami tugas, hak, dan kewajibannya.
            Dalam syair kelong Makassar ditemukan pula ungkapan yang menyimbolkan sifat dan karakter laki-laki. Pertama, laki-laki itu diibaratkan dengan burung. Ungkapan ini bermakna bahwa laki-laki itu dapat menjelajahi dunia untuk mencari nafkah dengan harapan untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
            Kedua, laki-laki itu diibaratkan matahari. Matahari adalah lambang kebaikan karena dapat menyinari jagat raya. Ungkapan ini bermakna bahwa laki-laki dapat menjadi pengayom bagi wanita. Oleh karena itu, laki-laki harus senantiasa berlaku adil dan bijaksana di dalam pengambilan keputusan agar segala sikap dan perbuatannya dapat bermanfaat bagi orang lain.
            Ketiga, laki-laki disimbolkan dengan bombang ‘ombak’. Ombak adalah simbol kreativitas. Ungkapan ini bermakna bahwa laki-laki itu diharapkan senantiasa mengembangkan ide, gagasan, dan kreativitasnya. Oleh karena itu, laki-laki tidak boleh hanya diam dan berpangku tangan menunggu takdir. Mereka harus mengembangkan kreativitasnya agar dapat menciptakan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi masyrakat luas.
            Keempat, laki-laki dan perempuan diibaratkan dengan tope ‘sarung, pakaian’. Ungkapan ini mengandung makna bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan di bumi ini saling melengkapi. Oleh karena itu, mereka memiliki peran dan tanggung jawab di bumi ini. Baik laki-laki maupun perempuan harus menyadar fungsi dan perannya masing-masing agar dapat menjalani kehidupan ini secara serasi dan penuh tanggung jawab.

SIMPULAN
            Kelong Makassar merupakan salah satu jenis karya sastra Makassar yang diungkapkan dengan bahasa yang estetis dan mengandung nilai-nilai budaya yang bernilai tinggi. Ungkapan dalam syair kelong Makassar dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bagi generasi muda sebab jika tidak diajarkan maka ungkapan ini lambat laut akan ditinggalkan oleh masyarakat Makassar pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
            Analisis gender membuktikan bahwa dalam syair kelong Makassar ditemukan adanya ungkapan yang menggambarkan peran laki-laki dan perempuan sebagai simbol budaya masyarakat Makassar. Ungkapan ini menggambarkan bahwa peran laki-laki dan perempuan dalam budaya masyrakat Makassar sangat jelas dan teridentifikasi dengan baik sehingga mereka dapat menjalankan fungsi dan peran itu dengan baik.
            Ungkapan dalam syair kelong Makassar merupakan pencerminan masyarakat Makassar yang senantiasa menggambarkan sikap saling menghargai, saling menghormati, saling menyayangi, saling merindukan, dan saling mempercayai sehingga peran yang diemban oleh laki-laki dan perempuan dapat dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan.

DAFTAR PUSTAKA
Daeng, Kembong.2005.Peribahasa Makassar.Makassar:UD Mandiri.
Iswary, Ey.Perempuan Makassar: Relasi Gender dalam Folklor.Yogyakarta:Ombak.
Tarbot, M. Mary.1998.Language and Gender.Cambridge:Polity Press.
Wahid, Sugira.1994.“Metafora Bahasa Makassar”.Disertasi.Ujungpandang:PPs Universitas Hasanuddin.


Sumber: Retorika, UNM, Februari 2012. Halaman 37-43



III.            Penutup
Artikel ilmiah adalah karya tulis yang menyajikan data dan fakta yang sahih dan dirancang untuk dimuat dalam jurnal atau buku kumpulan artikel yang ditulis dengan tata cara ilmiah dan mengikuti pedoman atau konvensi ilmiah yang telah disepakati atau ditetapkan. Artikel ilmiah berisi informasi yang merupakan hasil penelitian penulis. Namun, tidak seperti buku ilmiah atau karya tulis ilmiah, artikel ilmiah memiliki cara penulisan sistematika yang berbeda. Selain itu, penulisan karya tulis ilmiah mengandung uraian atau pembahasan yang panjang dan lebih rinci.




DAFTAR PUSTAKA

Anshari, dkk.2012.Retorika:Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya.Makassar:Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNM
Tim Penyusun.2014.Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Bahasa Indonesia.Makassar:Badan Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, FBS,UNM
TN.. Analisis Keterbacaan Wacana Buku Sekolah Elektronik Bahasa Indonesia Jenjang SMP.http://ejournal.upi.edu/index.php/PSPBSI/article/view/471.diakses pada tanggal 1 November 2014
TN.. Kritik Sosial Dalam Naskah Drama Jangan Menangis Indonesia Karya Putu Wijaya.http://ejournal.upi.edu/index.php/PSPBSI/article/view/471.diakses pada tanggal 1 November 2014

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bahasa Daerah Makassar

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia

Apresiasi Puisi Indonesia